Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
HukumOpini

Bencana Bukan Taqdir, tapi Sunnatullah

×

Bencana Bukan Taqdir, tapi Sunnatullah

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Oleh: Abdurrahman Syafrianto, M.H.

Ketua Umum PW GPII Jawa Tengah, Advokat Noer’s Law Office, Guru Pendidikan Pancasila SMP Alam Nurul Furqon

Example 300x600

Setiap kali kabar duka bencana melanda bumi pertiwi, entah itu banjir bandang yang menyeret rumah, tanah longsor yang menimbun desa, atau kabut asap yang mencekik napas jutaan jiwa, respons yang paling umum kita dengar dan lihat adalah seruan untuk “menerima takdir” dan “mengikhlaskan kehendak Tuhan”. Normalisasi bencana sebagai takdir ilahi telah menjadi mantra yang meninabobokan, sebuah narasi kolektif yang secara perlahan namun pasti mematikan daya kritis masyarakat. Narasi ini berbahaya, bukan karena menolak keimanan, melainkan karena ia berfungsi sebagai tirai tebal yang menutupi akar masalah yang jauh lebih nyata, membumi, dan mengandung unsur kesengajaan, yaitu keserakahan yang dilembagakan oleh ulah pengusaha dan penguasa zalim.

Penting untuk menarik garis demarkasi yang jelas antara konsep takdir dan sunnatullah. Takdir sering kali disalahpahami sebagai peristiwa acak yang tidak dapat diprediksi atau dihindari. Namun, dalam kerangka pemikiran ekologis dan teologis yang mendalam, bencana alam yang intens dan frekuensinya meningkat ini lebih tepat dipandang sebagai manifestasi dari sunnatullah, yaitu hukum sebab-akibat Tuhan yang berlaku universal dan absolut di alam semesta. Jadi, bencana bukanlah takdir, melainkan sunnatullah yang harus berakhir. Jika kita menanam benih kerusakan, maka kita akan menuai buah kehancuran. Hukum ini tidak pandang bulu dan berlaku pada setiap tindakan yang merusak keseimbangan ekosistem. Bencana yang terjadi di Sumatera dan wilayah lain adalah jeritan alam yang merespons perlakuan brutal manusia, sebuah balasan yang adil dan logis dari sistem semesta yang telah kita koyak-koyak demi keuntungan segelintir elite.

Kerusakan lingkungan hidup di Indonesia berada pada skala yang masif dan terstruktur. Ia bukan lagi sekadar tindakan individual menebang satu dua pohon, melainkan kejahatan korporasi dan kebijakan yang disetujui secara politis. Hutan-hutan primer, yang berfungsi vital sebagai paru-paru bumi, reservoir air alami, dan benteng penahan erosi dan banjir, kini dibabat habis tanpa ampun. Ekspansi perkebunan monokultur, terutama sawit, dan izin Hutan Tanaman Industri (HTI) yang serakah, telah mengubah bentang alam hijau menjadi padang gersang yang rentan. Air hujan yang seharusnya diserap oleh akar pepohonan di perbukitan kini langsung meluncur deras membawa serta lumpur dan material, menyebabkan banjir bandang yang destruktif di hilir. Ini adalah kalkulasi ekologis yang sederhana, hilangnya serapan air sama dengan percepatan bencana hidrologis.

Selain pembabatan hutan, praktik pertambangan yang brutal menjadi kontributor utama kedua dalam instabilitas geologi dan ekologi Indonesia. Pertambangan batubara, nikel, emas, dan mineral lainnya sering kali beroperasi tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan. Mereka meninggalkan lubang-lubang raksasa bekas galian yang mematikan, mencemari sungai dan sumber air dengan limbah beracun, serta mengikis lapisan tanah penahan di kawasan sensitif. Eksploitasi ini tidak hanya memicu longsor dan sedimentasi parah, tetapi juga merusak kesehatan masyarakat jangka panjang melalui kontaminasi lingkungan. Seluruh proses ini sering kali dilegalisasi melalui kebijakan yang permisif, disokong oleh izin-izin yang dikeluarkan dengan cepat tanpa pengawasan ketat, menunjukkan betapa kuatnya cengkeraman kolusi antara kekuatan modal dan kekuatan regulasi.

Ironisnya, instrumen perlindungan lingkungan yang seharusnya menjadi pagar terakhir, seperti Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), sering kali hanya menjadi formalitas belaka. Proyek-proyek pembangunan, baik infrastruktur maupun industri, banyak yang dijalankan tanpa AMDAL yang matang atau bahkan mengabaikan rekomendasi kritis di dalamnya. Dokumen AMDAL sering kali dimanipulasi untuk meloloskan proyek, seolah-olah fungsi perlindungan lingkungan telah direduksi menjadi sekadar biaya administrasi yang harus dipenuhi. Ketika AMDAL dilangkahi, lingkungan dan masyarakat sekitarnya langsung terekspos pada risiko tertinggi. Kegagalan ini menunjukkan bahwa bencana bukan terjadi karena takdir, melainkan karena sistem tata kelola dan etika kekuasaan yang telah busuk dan mengkhianati amanat untuk melindungi rakyat dan bumi, sebagaimana amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Perusakan lingkungan yang sistematis dan terstruktur ini tidak hanya melanggar etika dan moralitas publik, tetapi juga merupakan tindak pidana yang jelas tertera dalam undang-undang negara Indonesia. Kezaliman pengusaha dan penguasa ini memiliki payung hukum yang seharusnya menjerat mereka, namun sayangnya, penegakan hukum sering kali tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Jika menggunakan analisis hukum, maka disimpulkan bahwa peristiwa bencana hidrologis, seperti banjir bandang dan longsor yang kini marak, adalah hasil dari pelanggaran serius terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).

Pelanggaran fundamental yang sering terjadi adalah pencemaran dan perusakan lingkungan hidup yang dilarang secara spesifik dalam UU PPLH. Pasal 99 hingga Pasal 119 UU PPLH menjadi landasan utama untuk menjerat korporasi dan individu yang bertanggung jawab.

Pelanggaran AMDAL dan Izin Lingkungan sebagaimana Pasal 109, 110, dan 111 bahwa setiap orang atau korporasi yang melakukan usaha atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan atau tanpa AMDAL yang disyaratkan secara hukum, telah melanggar Pasal 109. Adapun saksi yang akan didapatkan jika melanggar ketentuan ini adalah pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun serta denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Demikian pula, setiap orang yang sengaja melanggar baku mutu air, udara, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, yang mengakibatkan pencemaran atau kerusakan serius, dijerat dengan sanksi pidana yang berat, termasuk penjara maksimal 10 tahun dan denda maksimal 10 miliar rupiah, sebagaimana diatur dalam Pasal 99 dan Pasal 100.

UU PPLH secara tegas menganut doktrin strict liability (tanggung jawab mutlak) dan tanggung jawab pidana korporasi. Artinya, korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana meskipun tidak ada unsur kesalahan (kesengajaan atau kelalaian). Jika bencana terjadi akibat aktivitas usaha yang merusak, maka korporasi harus menanggung sanksi. Sanksi tersebut dapat berupa denda yang diperberat hingga sepertiga dari denda normal, pencabutan izin usaha, dan bahkan pembubaran badan usaha. Lebih dari itu, Pasal 111-112 mengatur bahwa pidana juga dapat dijatuhkan kepada pejabat pemberi izin dan pengawas usaha kehutanan dalam hal ini Menteri Kehutanan, pejabat pemberi izin dan pengawas usaha pertambangan dalam hal ini Menteri ESDM, dan pejabat pemberi izin dan pengawas lingkungan hidup dalam hal ini Menteri Lingkungan Hidup. Ini penting karena untuk memutus mata rantai impunitas di kalangan elit pengambil keputusan.

Selain itu, terdapat pelanggaran di sektor kehutanan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Penebangan liar dan konversi hutan di luar peruntukan secara masif melanggar Pasal 50 Ayat 3. Sanksinya termasuk pidana penjara dan denda yang sangat signifikan. Pelaku pembabatan hutan yang menyebabkan kerusakan ekosistem dan memicu bencana hidrologis jelas melanggar undang-undang ini, apalagi jika terjadi di kawasan hutan lindung.

Di luar sanksi pidana, UU PPLH sebagaimana Pasal 118 juga memungkinkan penjatuhan sanksi administratif berupa paksaan pemerintahan, yang meliputi penghentian sementara kegiatan, uang paksa, hingga pencabutan izin. Selain itu, gugatan perdata melalui mekanisme class action atau citizen lawsuit dapat diajukan oleh masyarakat yang menjadi korban, menuntut ganti rugi materiil dan imateriil serta biaya pemulihan.

Kegagalan penegakan hukum inilah yang sesungguhnya memungkinkan kezaliman terus berlangsung. Ketika Pengusaha melihat bahwa biaya melanggar hukum (denda atau penjara) jauh lebih kecil dibandingkan dengan keuntungan dari eksploitasi, insentif untuk merusak akan selalu lebih besar. Dan ketika Penguasa yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan izin dan melakukan pengawasan justru berkolusi, hukum seolah-olah hilang maknanya.

Selain sanksi pidana, perdata, dan administratif, yang paling harus ditegakkan adalah sanksi etika dan moral. Para Penguasa yang mengabaikan daya dukung lingkungan demi investasi, yang memanipulasi AMDAL, dan yang melindungi korporasi perusak, harus dicopot dari jabatannya dan dikecam oleh publik. Kegagalan mereka yang menyebabkan kematian dan penderitaan rakyat adalah pengkhianatan terhadap sumpah jabatan dan pelanggaran hak asasi manusia untuk hidup di lingkungan yang baik dan sehat, yang dijamin oleh Konstitusi sebagaimana Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 9 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Karena itu, seruan “Bencana Bukan Takdir” adalah seruan untuk menegakkan supremasi hukum lingkungan. Itu adalah tuntutan agar aparat penegak hukum, mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, hingga Hakim, menggunakan UUD 1945, UU HAM, UU PPLH, UU Kehutanan, dan KUHP secara progresif, berani menjerat korporasi dan elit pembuat keputusan hingga ke akar-akarnya. Rakyat sebagai korban berhak menuntut keadilan, bukan hanya menerima sumbangan mie instan pasca-bencana, melainkan menuntut agar para pelaku kezaliman membayar mahal atas kerusakan yang mereka timbulkan. Hanya dengan akuntabilitas hukum yang tegas, siklus eksploitasi dan bencana ini dapat diputus, dan bumi pertiwi dapat diselamatkan dari ambang kehancuran ekologis yang dibuat oleh tangan-tangan serakah. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *