Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
Cerpen

Sahabat Bumi

×

Sahabat Bumi

Sebarkan artikel ini
Oplus_131072
Example 468x60

Oleh: Nawwaf Absyar Rajabi, Santri-Murid Kelas VIII SMP Alam Nurul Furqon Rembang

Hari itu, langit begitu cerah. Matahari memantul lembut di atas dedaunan yang mulai menguning, seolah bumi sedang tersenyum menyambut sesuatu yang istimewa. Di sebuah desa kecil bernama Sidamulya, suara burung-burung masih riuh menyapa pagi. Namun ada yang berbeda. Di tengah kesibukan warga desa, seorang anak laki-laki bernama Arya terlihat sibuk memunguti sampah plastik di pinggir sungai.

Example 300x600

Arya baru berusia dua belas tahun. Setiap pagi sebelum sekolah, ia menyempatkan diri menyusuri tepi sungai dan memunguti sampah yang hanyut atau tersangkut di antara akar-akar pohon. “Sampah ini nggak akan bisa hancur dalam waktu singkat,” gumamnya sambil memasukkan plastik pembungkus makanan ke dalam kantong daur ulangnya.

Sejak kelas empat, Arya mulai peduli dengan lingkungan. Semua bermula dari pertemuannya dengan seorang lelaki tua misterius yang tinggal di ujung hutan bambu. Namanya Pak Surya. Tidak banyak orang mengenalnya. Ia tinggal di rumah kecil dari kayu, dikelilingi oleh kebun dan pepohonan rindang. Saat pertama kali Arya nyasar ke hutan karena mengejar layangan, Pak Surya menyelamatkannya.

“Bumi ini bukan cuma warisan dari orang tua kita, Arya. Tapi juga titipan untuk anak cucu kita nanti,” ucap Pak Surya waktu itu sambil menatap mata Arya yang polos. Kalimat itu tertanam dalam ingatan Arya, tumbuh subur seperti biji yang disiram setiap hari.

Sejak saat itu, setiap akhir pekan Arya belajar banyak hal dari Pak Surya, seperti cara membuat kompos, menyemai benih, hingga mengenali suara burung hutan. Yang paling disukainya adalah duduk diam di bawah pohon bambu, mendengarkan desir angin yang membawa suara-suara alam. Pak Surya menyebutnya “suara bumi”.

Hari ini adalah Hari Bumi. Arya punya rencana besar, yaitu mengadakan aksi bersih-bersih bersama teman-teman sekolahnya. Meski awalnya banyak yang menolak dan menganggapnya aneh, akhirnya belasan teman ikut serta. Mereka membersihkan lapangan belakang sekolah, menanam pohon di pinggir jalan, dan membuat poster kampanye menjaga lingkungan.

“Kalau kita bukan bagian dari solusi, kita bagian dari masalah,” ucap Arya saat memotivasi teman-temannya.

Setelah kegiatan selesai, Arya berlari ke hutan bambu. Ia ingin menceritakan semuanya pada Pak Surya. Tapi rumah kayu kecil itu kosong. Tak ada jejak kehidupan. Tak ada asap dari cerobong dapur. Arya mengetuk pintu pelan. Tidak ada jawaban.

Di atas meja kayu di teras rumah, ia menemukan secarik kertas. Tulisan tangan itu dikenalnya betul.

“Arya, kelak bumi ini akan benar-benar membutuhkan suara-suara kecil seperti punyamu. Jangan berhenti mencintai alam, karena di situlah kehidupan sesungguhnya berakar. Jika kau rindu, duduklah di bawah bambu. Aku akan selalu ada di sana, dalam bisikan angin.”

Arya tersenyum, meski matanya berkaca-kaca. Ia lalu duduk bersila di bawah rumpun bambu, memejamkan mata. Angin berhembus lembut, membawa aroma daun dan tanah. Di antara desir angin itu, ia seolah mendengar suara Pak Surya — lembut dan penuh harapan.

Hari Bumi itu menjadi hari yang tidak pernah Arya lupakan. Bukan karena acara di sekolah, tapi karena ia menyadari satu hal penting, yaitu mencintai bumi bukan tentang satu hari, tapi tentang kebiasaan kecil yang dilakukan setiap hari, dengan cinta yang besar.

Arya tersenyum hangat. “Tentu boleh. Kamu siapa namanya?”

“Namaku Rara. Aku lihat kakak sering di sini, jadi aku penasaran,” jawabnya.

Sejak hari itu, Arya tidak lagi sendiri. Satu per satu anak-anak lain mulai bergabung. Mereka menyebut kelompoknya “Sahabat Bumi”. Setiap minggu mereka punya jadwal bersih-bersih, menanam bibit, atau sekadar mendengarkan suara angin di hutan bambu. Alam pun terasa semakin akrab, seperti sahabat lama yang kembali dekat.

Arya sadar, meski Pak Surya sudah tak ada, pesannya tetap hidup — mengalir lewat niat-niat kecil yang tulus. Dan suara bumi, kini tak lagi sunyi. Ia tumbuh dalam hati setiap anak yang peduli.

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Cerpen

Oleh: M. Zadittahsin Baracka Abqory, Santri-Murid Kelas VIII…

Cerpen

Tangannya kesemutan diikat dibelakang, kakinya tertekuk dengan darah…

Cerpen

Oleh: Siti Efrilia, Mahasiswa UIN Salatiga “Kayaknya bapak…

Cerpen

Oleh: Anak Pagi Siang hari di tengah ketangguhan…

Cerpen

Di sebuah desa kecil, terdapat hutan yang terkenal…