Oleh: Agam Maulana, Mahasiswa Program Studi KPI UIN Salatiga
Di sebuah kota kecil, terdapat seorang pria bernama Dito. Usianya baru 28 tahun, namun kehidupannya sudah dipenuhi dengan berbagai masalah. Ia bekerja sebagai karyawan di sebuah kantor kecil, di mana ia merasa terjebak dalam rutinitas yang monoton. Tidak ada hal baru yang bisa dia banggakan, dan setiap harinya terasa seperti berjalan dalam lingkaran yang tak berujung.
Teman-temannya sering bilang, “Dito, kamu harus keluar dari zona nyamanmu!”
Tapi baginya, itu tidaklah semudah itu.
Suatu sore, sepulang kerja, Dito duduk di bangku taman kota yang sepi. Hanya ada beberapa orang yang sedang berjalan-jalan dengan anjing mereka atau duduk menikmati udara sore. Dia melihat anak-anak bermain sepak bola dengan ceria, seolah dunia mereka begitu sederhana. Dito terdiam lama, merasa sedikit iri pada kebahagiaan mereka yang tak terbebani.
Sejak beberapa bulan terakhir, Dito merasa seperti ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya. Ia merasa ada kesenjangan besar antara dirinya dan dunia di sekitarnya. Bahkan, dalam hubungan dengan orang-orang terdekatnya, ia merasa semakin jauh. Semua percakapan terasa dangkal. Ia merasa tidak bisa lagi berbicara tentang hal-hal yang penting atau yang membuatnya merasa hidup. Semua berputar pada hal-hal yang tidak berarti.
Hari itu, Dito memutuskan untuk berjalan-jalan tanpa tujuan. Ia ingin mencari sesuatu yang bisa mengisi ruang kosong yang ia rasakan dalam hatinya. Tanpa sadar, ia berjalan menuju pinggir kota, ke daerah yang lebih sepi. Di sana, ia melihat sebuah rumah tua yang tampak terbengkalai. Penasaran, Dito mendekati rumah itu. Mungkin rumah itu dulu pernah dihuni oleh seseorang, tapi kini sepertinya tidak ada yang tinggal di sana. Pintu depan rumah terbuka sedikit, dan tanpa berpikir panjang, Dito masuk.
Di dalam, Dito melihat banyak barang lama yang berdebu. Buku-buku, foto-foto, dan perabotan yang tampaknya sudah lama ditinggalkan. Sambil menelusuri ruangan, ia menemukan sebuah kursi tua di sudut ruangan. Ia duduk, merasakan udara dingin yang menusuk. Dari sini, Dito bisa melihat ke luar jendela, ke kota yang ramai. Namun, ia merasa terasing dari semuanya.
Tiba-tiba, ada suara langkah kaki dari arah pintu depan. Dito terkejut dan berbalik. Seorang pria tua muncul di ambang pintu. Wajahnya sudah keriput, tapi matanya masih tajam dan penuh pengertian. “Kamu siapa?” tanya pria itu pelan, suaranya berat, seakan sudah lama tidak berbicara.
Dito menjelaskan bahwa ia hanya ingin melihat-lihat, tidak bermaksud mengganggu. Pria itu mengangguk, kemudian duduk di kursi sebelah Dito. Mereka terdiam beberapa saat. Suasana hening, hanya ada suara angin yang berhembus pelan. Setelah beberapa menit, pria itu mulai berbicara.
“Anak muda, hidup itu bukan tentang mengejar sesuatu yang tidak pasti. Kamu merasa kosong, kan?”
Dito terkejut, pria itu sepertinya bisa membaca pikirannya. Ia hanya mengangguk.
“Aku dulu juga begitu. Terjebak dalam rutinitas, berlari mengejar waktu, merasa tidak ada yang berarti. Sampai akhirnya, aku berhenti.”
Dito mendengarkan dengan seksama, merasa bahwa kata-kata pria itu menyentuh bagian terdalam dalam dirinya.
“Berhenti?” tanya Dito.
“Ya, berhenti untuk sejenak melihat hidup dengan mata yang berbeda. Berhenti mengejar segala sesuatu yang membuatmu lelah, dan coba lihat apa yang sudah ada di sekitarmu. Kadang, kita terlalu fokus pada apa yang belum kita capai, sehingga lupa untuk menikmati apa yang sudah kita miliki,” jawab pria itu dengan suara lembut.
Dito terdiam, berpikir. Kata-kata pria itu seperti sebuah cahaya yang menerangi kegelapan dalam dirinya. Selama ini, ia merasa seperti sedang berlari mengejar sesuatu yang tidak pasti, tanpa benar-benar memahami apa yang ia cari. Ia sudah terjebak dalam harapan-harapan yang tidak pernah terwujud.
Pria itu melanjutkan, “Ketika aku muda, aku juga berpikir bahwa kebahagiaan ada pada tujuan akhir. Tapi seiring bertambahnya usia, aku sadar, kebahagiaan itu ada pada setiap langkah kecil yang kita ambil. Pada setiap momen yang kita jalani dengan penuh perhatian. Itulah yang membuat hidup ini berharga.”
Dito mulai merasakan perubahan dalam dirinya. Ia merasa seperti ada sebuah beban yang terangkat dari pundaknya. Mungkin, selama ini ia hanya perlu berhenti sejenak, menarik napas, dan melihat hidup dengan cara yang berbeda. Semua yang ia kejar selama ini, sepertinya bukanlah hal yang benar-benar membuatnya bahagia.
Setelah berbicara lebih lama, pria itu berdiri dan melangkah ke pintu.
“Jangan lupa, hidup bukan tentang berlari terus-menerus. Kadang, kita perlu berhenti, dan hanya duduk sejenak untuk merasakan kehadiran hidup ini.”
Dito berdiri, mengucapkan terima kasih, dan keluar dari rumah itu. Ia merasa ringan, seperti ada sesuatu yang baru saja terungkap dalam dirinya. Ia tahu, perjalanan hidupnya tidak akan berhenti di sini, tetapi kini ia tahu bahwa langkah yang lebih bijaksana adalah yang penuh kesadaran, bukan yang terburu-buru mengejar hal-hal yang tidak pasti.Pesan moral pada cerpen.
Kadang, kita terlalu fokus pada tujuan dan impian besar yang kita kejar, sehingga lupa untuk menikmati perjalanan hidup itu sendiri. Kebahagiaan tidak selalu ditemukan di ujung jalan, melainkan dalam setiap langkah yang kita ambil dengan kesadaran dan perhatian. Jangan terjebak dalam rutinitas yang membuat kita lupa untuk berhenti sejenak, menikmati momen, dan menghargai apa yang sudah ada.