Oleh: Zidanka Ngaina Saky, Mahasiswa Psikologi Islam UIN Salatiga
Kebaikan ataupun keburukan manusia bersumber dari hati. Andai hatinya buruk dan rusak, maka segala perbuatannya akan jahat. Selalu mengikuti kehendak hati dan hawa nafsu yang mengabaikan akal sehatnya. Hati ibarat seorang presiden bagi seluruh rakyatnya, tidak ada yang bisa menolak perintah presiden. Jika hatinya baik maka akan memerintahkan kebaikan, begitu pula sebaliknya, kebaikan dan keburukan hati selalu ditunjukan dalam perilaku baik sadar atau tidak sadar.
Hati tidak bisa berbohong, meskipun pada saat yang sama ucapan dan perilaku sedang melakukan kebohongan. Itulah kenapa hati dapat menjadi salah satu tolak ukur kualitas seseorang. Maka dari itu, melatih diri untuk berperilaku ikhlas dapat memelihara hati dari penyebab rusaknya hati, sekaligus menjadi obat pencegahan kerusakan hati.
Perbuatan dapat dinilai baik atau buruk, dan baik buruknya perbuatan itu bukan tergantumg dari perbuatan itu sendiri, melainkan dari cara kita menafsirkan perbuatan itu sendiri. Karena itu, bersifat netral, tidak baik dan tidak buruk juga. Tapi akan jadi buruk saat persepsi kita menerjemahkan itu sebagai hal yang buruk. Bisa jadi teman kita nggak bermaksud jahat, tapi karena kita salah menangkap pesan, mood kita jadi memburuk. Itu justru merugikan kita sendiri.
Lalu bagaimana, sih, rasanya hidup dalam kehidupan yang selalu mendapatkan kebaikan?
Hidup dalam kebaikan tentu saja mudah, tetapi hidup dalam keburukan belum tentu sulit. Setiap orang pasti mengalami hal baik dan hal buruk siapapun itu, raja dan presiden sekalipun. Terserah percaya atau tidak, semua orang pasti pernah merasakan hal buruk di hidupnya. Akan tetapi mereka tidak pernah putus asa. Mereka bangkit lagi, dan juga tidak meratapi apa sedang terjadi apalagi meyalahkan diri sendiri. Jadi dapat dipahami bahwa sesuatu yang disebut baik atau buruk itu sangat relatif. Tergantung pada pandangan, persepsi masing-masing orang mengartikannya. Oleh karena itu, baik buruk tergantung tolok ukur apa yang digunakan yang menyebabkan cara pandang tentang baik dan buruk itu berbeda-beda.
Bagaimana sih ukuran baik atau buruk itu? Untuk menjawab pertanyaan ini dapat dikemukakan dari berbagai sudut pandang seperti: menurut ajaran islam dapat diukur dari niatnya, menurut aliran vitalisme dalam memahami kebaikan itu sebagai sumber kekuatan dalam diri manusia, dan sebagainya. Sebenarnya tolak ukur baik buruk itu kembali lagi kepada orang yang menilai, jadi kesimpulan ini dikemukakan sebab baik atau buruk itu terkait ruang dan waktu, sehingga dia tidak berlaku universal.
Apakah kita mendapatkan masalah yang sama dengan masalah orang lain? Tentu saja iya. Tanpa disadari kita pernah mendapatkan masalah yang sama dalam hidup kita dengan masalah orang lain. Bedanya di cara kita mengatasi masalah itu menggunakan cara yang bagaimana?
Lalu bagaimana cara mengatasi hal buruk yang hadir berubah menjadi sumber kebahagiaan yang baru? Sebenarnya gampang, tapi yang membuat sulit itu pada apa yang kita pikirkan. Kita terlalu fokus kepada permasalahan yang ada. Dari pada kita memikirkan keburukan yang datang, lebih baik kita fokus kepada hal-hal yang baik saja.
Misalnya dengan membantu orang yang menyebalkan dalam hidup kita, memberi senyuman yang ramah kepada orang yang menyenggol kita dengan sengaja. Kebanyakan orang lebih sering fokus pada hal-hal yang diluar jangkauan mereka dibandingkan dengan fokus pada hal-hal yang bisa mereka kendalikan. Padahal, kunci memiliki hidup yang bahagia adalah dengan cara memusatkan diri pada hal-hal yang ada di dalam kendali kita, bukan malah sebaliknya.
Ketika kita terlalu khawatir dan memikirkannya akan menimbulkan stress, padahal stress dapat merusak kesehatan tubuh kita. Bukan stresnya yang membunuh kita, tapi reaksi kita terhadap suatu masalah.Setiap keburukan yang datang pada kita bisa merubah itu menjadi kesempatan untuk melatih karakter dan kita dapat belajar bahwa hal buruk itu gak selalu hal yang negatif, tapi hikmah apa yang kita dapat ambil, juga dapat mengembangkan kebajikan kita dalam menyelesaikan masalah.
Jadi melihat baik buruknya itu bukan dari niatnya saja tapi juga dari perbuatan yang nyata, juga mengukur baik buruknya perbuatan itu berdasarkan cara melakukan perbuatan itu. Misalnya, seseorang mempunyai niatan yang baik, namun apabila dilakukan dengan cara yang salah, maka perbuatannya dianggap tercela.
Contohnya bersedekah dengan harta yang baik, bisa menjadi tidak baik karena cara kita memberi sedekah. itu tapi dibuat konten yang secara tidak langsung ingin mendapatkan pujian dan tidak sadar saat konten berucap yang menyakiti hati penerima sedekah. Sebenarnya baik buruk itu sampai kapan pun tidak dapat dikatakan itu benar-benar baik atau buruk.
Bahkan yang baik menurut pandangan seseorang bisa jadi buruk, sebaliknya buruk menurut pandangan seseorang bisa jadi baik menurut pandangan orang lain.Pasti kita pengen hidup kita mendapatkan kebaikan, tapi apa kita sudah memberikan kebaikan bagi orang lain? Nahh pasti belum, kan.
Kebaikan merupakan sesuatu hal yang kita ciptakan sendiri, jadi jangan hanya sekedar menunggu kebaikan datang tapi kita sendiri tidak menghapari kebaikan itu. Jadi sekarang kita tau apa baik dan buruk itu. Kita sebagai remaja milenial pasti lebih gampang memahaminya, dan sekarang lebih tau bagaimana cara menyikapinya.