Oleh: Abdurrahman Syafrianto, M.H., Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung, Advokat di Noer’s Law Office, Guru Pendidikan Pancasila di Pesantren-Sekolah Alam Planet Nufo Rembang,
Baru-baru ini tepatnya pada Senin (20/01/25) Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nusron Wahid akhirnya mengonfirmasi bahwa pada area pagar laut sepanjang 30 kilometer (km) di Tangerang, Banten yang akhir-akhir ini menghebohkan jagat raya ternnyata memiliki Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM).
Sebenarnya informasi soal kawasan pagar laut Tangerang yang bersertifikat HGB itu sebelumnya sudah diketahui oleh publik lewat penulusuran di aplikasi website Bhumi ATN/BPR. Konfirmasi Menteri ATR/BPN terkait kepemilikan sertifikat atas lahan tersebut oleh sejumlah perusahaan besar menjadi bukti nyata adanya upaya penguasaan ruang laut secara masif. Fakta ini sungguh mengkhawatirkan dan menuntut kita semua untuk bertindak tegas. Terutama Pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab dan berwenang.
Namun, dalam kasus pagar laut ini, ada beberapa keanehan yang muncul dari tubuh Pemerintahan. Pertama, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam hal ini Bapak Sakti Wahyu Trenggono mengaku tidak mengetahui adanya pembangunan pagar laut tersebut. Padahal, sebagai kementerian yang bertanggung jawab atas pengelolaan sumber daya laut, seharusnya KKP memiliki data dan informasi yang akurat mengenai kondisi wilayah pesisirnya. Selain itu, dari segi jarak, lokasi pagar laut dengan kantor KKP berikasar hanya 40 km.
Ketidaktahuan ini mengindikasikan bahwa adanya kelemahan dalam koordinasi antar lembaga dan pengawasan terhadap pemanfaatan ruang laut. Dan hal ini bisa jadi juga terdapat indikasi untuk saling menutupi dan menyembunyi identitas pelaku atas misteri pagar laut ini. Sebab, berdasakan rekam satelit pagar laut sepanjang 30 km ini bukan barang baru, ini sudah ada sejak tahun 2022. Kemudian SHGBnya sudah terbit sejak tahun 2023. Artinya, lagi-lagi Pemerintah Indonesia masih berwatak rezim viral, “no viral no justice”.
Kedua, Menteri ATR/BPN Nusron Wahid mengatakan bahwa keberadaan sejumlah SHGB dan SHM di tempat pagar laut tersebut ilegal. Padahal, yang berwenang mengeluarkan SHGB dan SHM adalah kementeriannya sendiri. Kemudian setelah ada konfirmasi dari Menteri ATR/BPN ini, KKP pun angkat suara dengan juga mengatakan bahwa pemasangan pagar laut ini ilegal.
Selain itu, setelah viral baru ada tindakan dari Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI) untuk membongkarnya. Kemudian KKP menyeselasi tindakan TNI AL yang membongkar pagar laut tanpa koordinasi dengan kementeriannya dan mengatakan bahwa harusnya tidak dibongkar dulu sampai ketemu pelakunya, sehingga bisa jadi barang bukti. Padahal, meskipun sudah dibongkar tetap bisa menjadi barang bukti dan bisa tetap bisa mencari pelakunya.
Keberadaan pagar laut ini memang tidak cukup hanya dibongkar saja, karena Indonesia ini negara hukum sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945. Artinya, dengan dibongkarnya pagar laut tersebut tidak kemudian perkara ini selesai, harus ada langkah hukum yang konkrit supaya kepastian hukum bisa tercapai. Kita tidak tahu sewaktu-waktu pagar laut itu dipasang lagi, sehingga perlu ada putusan hukum yang mengikat.
Dari statemen kedua kementerian tersebut terkesan hanya cari muka dan cuci tangan. Jika mereka serius atau bahkan jika tidak terlibat dalam kasus ini, harusnya melakukan langkah hukum yang tegas dan cepat. Tapi faktanya mereka seolah-olah melindungi korporasi yang terlibat dalam proyek pagar laut ini.
Adapun jumlah SHGB dan SHM di sekitaran pagar laut yang dikonfirmasi oleh Menteri ATNR/BPN adalah SHGB berjumlah 263 bidang dan merupakan milik beberapa perusahaan, yaitu: PT Intan Agung Makmur sebanyak 234 bidang dan PT Cahaya Inti Sentosa sebanyak 20 bidang Perorangan sebanyak 9 bidang. Kemudian SHM yang terbit di kawasan Pagar Laut Tangerang sebanyak 17 bidang.
Terungkapnya kepemilikan sertifikat atas lahan di kawasan pagar laut oleh sejumlah perusahaan besar tersebut semakin menguatkan dugaan adanya kepentingan bisnis yang sangat besar di balik pembangunan mega proyek ini. Jika ditelurusi lebih lanjut, PT Intan Agung Makmur ini terafiliasi dengan Agung Sedayu Group, perusahaan milik Sugianto Kusuma alias Aguan, karena bisa dilihat jabatan direksi dan komisaris di PT Intan Agung Makmur diisi oleh orang-orang dekat Aguan.
Kemudian PT Cahaya Inti Sentosa (CISN) merupakan anak perusahaan dari PT Pantai Indah Kapuk Dua Tbk (PIK 2), emiten properti di bawah Agung Sedayu Group. Artinya, dari segi waktu dan orang-orang yang terlibat dalam bisnis ini sangat erat kaitannya dengan rezim Jokowi. Pertanyaannya, kepentingan bisnis manakah yang lebih diutamakan daripada kepentingan masyarakat banyak dan kelestarian lingkungan? Pertanyaan ini harus benar-benar direnungkan oleh Presiden Prabowo dan kementerian terkait.
Dampak Pagar Laut dan Solusinya
Pagar laut adalah maut, mengapa demikian karena pembangunan pagar laut dengan skala sebesar ini memiliki sejumlah dampak negatif yang sangat serius. Pertama, pagar laut dapat mengancam kedaulatan negara. Dengan adanya klaim kepemilikan atas wilayah laut yang begitu luas, potensi konflik dan sengketa wilayah tidak dapat dihindari.
Kedua, pagar laut dapat merusak ekosistem laut. Pembangunan infrastruktur di kawasan pesisir dapat menyebabkan kerusakan habitat, penurunan kualitas air laut, dan hilangnya keanekaragaman hayati. Ketiga, pagar laut dapat mengancam mata pencaharian nelayan. Dengan adanya pembatasan akses terhadap wilayah laut, nelayan akan kesulitan mencari ikan karena harus muter terlebih dahulu untuk melewati pagar laut dan ini tentu bisa berdampak pada perekonomian masyarakat pesisir.
Melihat kompleksitas masalah yang ditimbulkan oleh keberadaan pagar laut di Tangerang, diperlukan langkah-langkah hukum yang tegas untuk mengatasi masalah ini. Pertama, pemerintah harus melakukan audit menyeluruh terhadap seluruh izin pemanfaatan ruang laut yang telah diterbitkan. Bisa dengan cara membedah warkah tanah yang ada di ruang laut tersebut, sehingga jelas sejarahnya dan siapa saja yang terlibat di dalamnya.
Kedua, pemerintah perlu memperkuat pengawasan terhadap kegiatan pembangunan di kawasan pesisir. Sebab, selama ini kawasan pesisir seolah-olah tidak diawasi, sehingga korporasi bisa sewenang-wenangnya. Ketiga, pemerintah harus melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan terkait pengelolaan ruang laut. Sebab, sadar atau tidak, ruang laut adalah sumber penghidupan bagi masyarakat sekitar dan dalam amanat konstitusi Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Keempat, pemerintah harus meninjau ulang peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengelolaan ruang laut.
Keberadaan pagar laut di Tangerang adalah cerminan dari lemahnya pengawasan dan pengelolaan ruang laut di negara kita. Jika dibiarkan, masalah ini akan semakin kompleks dan berdampak buruk bagi generasi mendatang. Oleh karena itu, kita semua harus bersatu untuk mendesak pemerintah agar mengambil tindakan hukum yang tegas dalam mengatasi masalah ini. Pagar laut bukanlah solusi, melainkan ancaman bagi kedaulatan dan ekosistem laut kita.