Dewi Sartika: Lentera Priangan yang Tak Padam
Oleh: Gunawan Trihantoro, Sekretaris Komunitas Puisi Esai Jawa Tengah.
Seorang perempuan muda menjadi salah satu kontributor untuk suatu komisi tentang perbaikan derajat perempuan pada 1912. Melalui esainya, ia mengkritik kolotnya pandangan kaum feodal Sunda terhadap perempuan. Ia juga menyinggung pentingnya pendidikan bagi perempuan. [1]
*
Di tanah Parahyangan yang sarat harmoni,
Berdiri seorang perempuan melawan arus tradisi.
Ia bukan sekadar nama di lembar sejarah,
Namun jiwa yang menyala dalam gelapnya waktu.
Dewi Sartika, sang putri dari bumi Sunda,
Tumbuh dalam bayang adat yang melilit.
Di balik senyumnya yang teduh,
Ada impian yang melangit,
Untuk kaum perempuan yang terpasung,
Dalam sunyi tanpa pengetahuan.
Ayahnya, Raden Rangga Somanagara,
Seorang priyayi dengan jiwa merdeka.
Namun rintangan datang kala tirani menguasa,
Kehilangan ayah tak memadamkan bara.
Dari ibunya, Raden Ayu Rajapermas,
Ia belajar ketangguhan wanita Priangan,
Yang memeluk kearifan namun melawan kebisuan.
Di rumah pamannya, ia menempa diri,
Bukan sekadar menjadi bunga penghias.
Namun menjadi lentera yang bercahaya,
Menggapai impian bagi mereka yang terlupa.
Ia belajar menulis, membaca, dan bicara,
Dalam bahasa ibu dan bahasa penjajah.
Baginya, ilmu adalah senjata,
Untuk memecah rantai ketidaktahuan.
-000-
Pada 16 Januari 1904,
Di bawah langit Bandung yang megah,
Berdirilah Sakola Istri, harapan bagi kaum hawa.
Bukan sekadar ruang untuk belajar,
Namun tempat bagi perempuan Priangan,
Membuka mata dan hati,
Menggenggam masa depan yang tak hanya jadi bayang.
Dewi Sartika mengajarkan kehidupan,
Bukan hanya dalam wujud aksara,
Namun bagaimana bertahan di tengah badai.
Menganyam keterampilan,
Membentuk karakter dalam etika luhur,
Menolak tunduk pada adat yang kolot.
“Perempuan harus berdiri sejajar,”
Ucapnya di tengah hembusan angin malam.
“Karena cahaya tak pernah memilih,
Siapa yang pantas untuk disinari.”
Namun jalan yang ia tempuh tak pernah mudah,
Cercaan datang dari adat yang terluka.
Bagaimana mungkin seorang perempuan,
Menentang garis leluhur yang sakral?
Namun Dewi Sartika tahu,
Cahaya tak bisa dipadamkan oleh bayangan.
Ia berdiri teguh, berani, dan yakin,
Bahwa masa depan harus diperjuangkan,
Meski tangan harus terluka memegang obor.
-000-
Di bawah langit Sunda yang biru,
Ada luka yang menggantung di hati.
Poligami yang diterima adat,
Bagi Dewi Sartika adalah duri.
Bagaimana mungkin cinta menjadi belenggu,
Yang membagi hati tanpa pengertian?
Namun ia tak hanya diam,
Ia lawan melalui kata dan tindakan.
“Perempuan bukan pelengkap kehidupan,”
Katanya pada mereka yang tuli.
“Namun adalah jiwa yang setara,
Dengan hak untuk bermimpi dan memilih.”
Di tengah badai patriarki,
Ia membawa payung keberanian.
Bagi Dewi Sartika,
Perempuan harus mampu berjalan,
Bukan di belakang, namun di sisi,
Menatap dunia dengan mata terbuka.
-000-
Dewi Sartika tak pernah berhenti,
Hingga akhir hayatnya di Tasikmalaya,
Ia adalah lentera yang terus menyala.
Meskipun tubuhnya terkubur dalam tanah,
Namun jiwanya hidup dalam langkah perempuan Priangan,
Yang melangkah ke depan tanpa gentar.
Kini, namanya menjadi cerita,
Dari bibir ke bibir, dari buku ke buku.
Ia adalah simbol bahwa perempuan,
Bisa menjadi penentu perubahan.
*
Rumah Kayu Cepu, 27 Januari 2025
CATATAN:
[1] Puisi esai ini diinspirasi dari kisah Dewi Sartika, pelopor pendidikan bagi perempuan di tanah Sunda, dengan mendirikan Sakola Istri pada 16 Januari 1904.
https://tirto.id/dewi-sartika-pendidik-dari-priangan-melawan-adat-kolot-poligami-cH1v