Oleh: Abdurrahman Syafrianto, M.H., Ketua Umum PW GPII Jawa Tengah, Pengajar di Pesantren-Sekolah Alam Planet Nufo Rembang, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Unissula
Gelombang aksi gerakan rakyat Indonesia yang menuntut untuk mengadili mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali mencuat dan semakin meluas di berbagai kota di Indonesia. Aksi-aksi ini menyerukan agar aparat penegak hukum mengambil langkah tegas terhadap Jokowi. Sebab, selama masa kepemimpinan Jokowi banyak janji yang tidak ditepati dan banyak kebijakannya yang menyeleweng dan merugikan rakyat kecil yang kemudian dirasakan hingga sekarang.
Beberapa isu yang menjadi sorotan antara lain proyek mobil Esemka, janji penciptaan jutaan lapangan pekerjaan, pemelahan KPK, proyek pagar laut, penunjukan Gibran sebagai Wakil Presiden, pembangunan Ibu Kota Negara (IKN), serta cawe-cawenya dalam penunjukan menteri dan pejabat lainnya yang kemudian juga berimplikasi pada kebijakan yang dikeluarkannya.
Adapun aksi tersebut di antara terjadi di Surabaya, ratusan massa dari berbagai elemen yang tergabung dalam Gerakan Arek Surabaya (GAS) menggelar demonstrasi di depan Polda Jawa Timur. Mereka menuntut pengusutan tuntas dugaan kasus korupsi yang melibatkan Jokowi dan keluarganya. Dalam aksi tersebut, massa membentangkan spanduk dengan tulisan “Adili Jokowi” dan menyerukan agar penegak hukum segera mengambil tindakan.
Di Bandung, kelompok yang menamakan diri Masyarakat Tertindas (Matin) Jawa Barat melakukan aksi serupa di depan Mapolda Jabar. Mereka menuntut pengusutan dan penuntasan kasus proyek reklamasi Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2) yang diduga melibatkan Jokowi. Aksi ini menarik perhatian publik dan menunjukkan bahwa gerakan ini tidak hanya terjadi di satu daerah, tetapi telah menyebar ke berbagai wilayah.
Kemudian di Surakarta, sekelompok mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi merencanakan aksi konvoi dengan tema “Rakyat Surakarta Menuntut Adili Jokowi dan Kroni-Kroninya”. Mereka juga menyerukan untuk melengserkan Gibran dari jabatannya dan menyita harta kekayaan keluarga Jokowi. Aksi ini menunjukkan bahwa tuntutan tidak hanya ditujukan kepada Jokowi, tetapi juga kepada anggota keluarganya yang kini menduduki posisi strategis di pemerintahan.
Selain itu, di Semarang puluhan mahasiswa dan pemuda yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Semarang Mengadili (ARSM) melakukan aksi agar penegak hukum bertindak tegas terhadap mantan presiden dua periode itu. Dalam aksi tersebut, massa aksi membentangkan spanduk yang bertuliskan “NKRI HARGA MATI, MARI ADILI JOKOWI!”
Gerakan rakyat ini tidak muncul secara tiba-tiba. Sebelumnya, telah ada berbagai aksi dan petisi yang menuntut pemakzulan Jokowi saat masih menjabat sebagai presiden. Salah satunya adalah Petisi 100 yang menyoroti dugaan pelanggaran hukum dan etika oleh Jokowi, termasuk politik dinasti yang dianggap mencederai prinsip demokrasi. Meskipun pemakzulan tidak berhasil, tekanan untuk mengadili Jokowi pasca lengser terus menguat, terutama setelah Jokowi ditetapkan sebagai salah tokoh terkorup sedunia yang dirilis dirilis oleh Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) dan terkuaknya dugaan keras keterlibatan Jokowi terhadap pagar laut yang dipasang oleh pengembang proyek PIK 2. Karena itu, masuknya nama Jokowi sebagai Tokoh Terkorup Tahun 2024 harusnya ditindaklanjuti oleh penegak hukum secara tegas. Sebab, ini akan menjadikan ajang pembuktian bahwa Penegak Hukum Indonesia sebenarnya berpihak pada rakyat atau oligarki?
Sebagaimana yang dijelaskan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, bentuk-bentuk korupsi tidak hanya mencuri uang negara saja, tapi lebih dari itu. Secara etimologi, korupsi berasal dari Bahasa Latin “corruptus” dan “corruptio” yang berarti kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, dan penyimpangan dari kesucian. Sedangkan secara terminologi, korupsi adalah tindakan penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan untuk keuntungan pribadi atau kelompok, yang dapat merugikan negara atau masyarakat.
Dalam konteks hukum di Indonesia, korupsi diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Berikut adalah beberapa bentuk korupsi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dan sanksinya:
1. Merugikan Keuangan Negara
Dalam Pasal 2 UU 31/1999 dijelaskan bahwa siapa pun yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan negara bisa dipidana. Sedangkan di Pasal 3 lebih spesifik pada penyalahgunaan kewenangan jabatan yang dimaksud untuk keuntungan pribadi yang merugikan negara. Contoh kasusnya seperti pejabat yang menggunakan anggaran negara untuk kepentingan pribadi. Kemudian bisa juga korupsi dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Selain itu, dalam Pasal 2 UU Tipikor dijelaskan bahwa selain merugikan negara secara langsung, korupsi juga dapat berdampak pada kepentingan masyarakat luas, seperti proyek infrastruktur yang mangkrak akibat penyalahgunaan dana. Contoh kasusnya seperti proyek jalan tol atau bendungan yang terbengkalai akibat dana yang dikorupsi. Kemudian program bantuan sosial yang tidak sampai ke masyarakat miskin karena dana dikorupsi..
Adapun sanksi bagi yang memenuhi unsur Pasal 2 UU 31/1999 jo. Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 dapat dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara 4 – 20 tahun, dan denda Rp200 juta – Rp1 miliar. Sedangkan yang memenuhi unsur Pasal 3 UU 31/1999 jo. Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 dapat dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara 1 – 20 tahun, dan/atau denda Rp50 juta – Rp1 miliar.
2. Suap dan Gratifikasi
Dalam Pasal 5, 6, 11, dan 12 UU Tipikor dijelaskan bahwa suap terjadi ketika seseorang memberikan atau menerima sesuatu untuk memengaruhi keputusan pejabat publik. Kemudian gratifikasi adalah pemberian yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara yang berhubungan dengan jabatannya dan dapat dianggap sebagai bentuk suap jika tidak dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Contoh kasusnya seperti pejabat publik yang menerima uang dari pengusaha agar memenangkan tender proyek tertentu. Kemudian bisa juga hakim yang menerima hadiah dari terdakwa untuk memberikan putusan yang lebih ringan.
Adapun sanksi bagi yang memenuhi unsur Pasal 5 ayat (1) UU 20/2001 adalah pidana penjara 1 – 5 tahun dan/atau pidana denda Rp50 – Rp 250 juta. Sedangkan bagi yang memenuhi unsur Pasal 13 UU 31/1999 dapat dipidana penjara maksimal 3 tahun dan/atau denda maksimal Rp150 juta. Kemudian sanksi pidana bagi yang memenuhi unsur Pasal 12B ayat (1) UU 20/2001 adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara 4 – 20 tahun, dan pidana denda Rp200 juta – Rp1 miliar.
3. Penggelapan dalam Jabatan
Dalam Pasal 8, 9, dan 10 UU Tipikor dijelaskan bahwa penggelapan dalam jabatan terjadi ketika seseorang yang diberi kewenangan mengelola aset negara justru menyalahgunakannya untuk kepentingan pribadi. Contoh kasusnya, misalnya Kepala Dinas Kesehatan menggelapkan dana bantuan COVID-19. Kemudian Bendahara instansi pemerintah mencuri uang anggaran. Adapun yang memenuhi unsur Pasal 8 UU 20/2001 bisa dipidana penjara 3 – 15 tahun dan pidana denda Rp150 – Rp750 juta.
4. Perbuatan Curang (Fraud) dalam Jabatan
Dalam Pasal 7 UU 20/2001 dijelaskan bahwa perbuatan curang terjadi ketika seseorang memalsukan dokumen atau melakukan manipulasi untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok. Contoh kasusnya seperti pemalsuan laporan keuangan proyek pemerintah untuk mengambil keuntungan pribadi. Kemudian kasus SHGB dan SHM Pagar Laut. Adapun yang memenuhi unsur Pasal 7 UU 20/2001 diancam pidana penjara 2 – 7 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp100 – Rp350 juta.
Jadi, korupsi itu merupakan kejahatan serius yang memiliki banyak bentuk, mulai dari penyalahgunaan anggaran negara, suap, gratifikasi, hingga penggelapan jabatan. UU Tipikor di Indonesia telah menetapkan berbagai sanksi tegas bagi para pelaku. Tinggal bagaimana penegak hukum memainkan perannya untuk melakukan serangkaian proses hukum supaya pelaku bisa mendapat hukuman yang setimpal, termasuk dalam hal ini kepada mantan Presiden Jokowi dan kroni-kroninya. Sebab, dari sekian bentuk korupsi tersebut, ada dugaan kuat terjadi pada mantan Presiden Jokowi dan kroni-kroninya. Karena itu, marwah penegak hukum dipertaruhkan dalam mengusut tuntas kasus dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh mantan Presiden Jokowi dan kroni-kroninya tersebut.