Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
Opini

Kebebasan Pers di Indonesia: Antara Idealisme Demokrasi dan Tantangan Nyata

×

Kebebasan Pers di Indonesia: Antara Idealisme Demokrasi dan Tantangan Nyata

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Oleh: Imroatun Solekah, S.H, Mahasiswa Pascasarjana UIN Walisongo Semarang, Pengajar di Pesantren-Sekolah Alam Planet NUFO Rembang

Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem demokrasi. Sistem demokrasi ini identik dengan kebebasan untuk menyuarakan pendapat, demikian pula dalam hal kebebasan bagi pihak pers. Sebagai penganut sistem demokrasi, sudah menjadi kewajiban negara untuk menegakkan kebebasan pers. Kebebasan pers merupakan cermin sistem demokrasi yang ideal. Padahal, kebebasan pers memungkinkan publik untuk mengalami berbagai peristiwa, termasuk kerja pemerintah dalam membangun mekanisme kontrol atas kekuasaan dan masyarakat itu sendiri.

Example 300x600

Kebebasan pers di negara demokrasi diperlukan untuk menjalankan pemerintahan. Fungsi kontrol ialah agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Secara umum, kebebasan pers bertujuan untuk meningkatkan kualitas demokrasi. Dengan kebebasan pers, semoga mampu menyampaikan berbagai informasi untuk memberdayakan dan mendukung masyarakat untuk berperan dalam demokrasi.

Hukum pers (kebebasan pers) dijamin sebagai hak asasi warga negara, yaitu mewujudkan kedaulatan rakyat yang berdasarkan prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Artinya, semuanya memiliki status dan perlakuan yang sama di depan hukum. Pers harus hadir karena pers merupakan lembaga kontrol yudisial yang sangat bermanfaat bagi masyarakat secara keseluruhan. Kebebasan pers merupakan elemen penting dalam membentuk sistem negara yang demokratis, terbuka, dan transparan. Pers sebagai media merupakan pilar keempat demokrasi yang berjalan beriringan dengan menjaga ketertiban untuk menciptakan keseimbangan di negeri ini.

Seharusnya ini terjadi ketika pers sebagai alat yang informatif dan sering bersifat korektif, untuk menjamin kebebasan aktivitas jurnalistik. Hal ini penting untuk menjaga objektifitas dan transparansi dalam dunia pers, sehingga pemberitaan dapat dituangkan secara sebenar-benarnya tanpa ada rasa takut atau dibawah ancaman sebagaimana penguasa pada periode Orde Baru.

Mengenai nilai-nilai kebebasan pers sendiri, hal tersebut telah diakomodir di dalam UUD 1945 yang telah diamandemen, yaitu diatur dalam Pasal 28, Pasal 28 E Ayat (2) dan (3) serta Pasal 28 F. Oleh karena itu, jelas negara telah mengakui bahwa kebebasan mengemukakan pendapat dan berpikir merupakan bagian dari perwujudan negara yang demokratis berdasarkan atas hukum.

Jurnalis di indonesia juga menghadapi tantangan hukum dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang berpotensi digunakan untuk mengkriminalisasi jurnalis. Selama pandemi Covid-19 lalu, tekanan pemerintah untuk melaporkan krisis kesehatan dan informasi terhadap presiden atau pemerintah telah diamati. Secara politik, RSF melansir bahwa Presiden Joko Widodo telah mengingkari janjinya terkait kebebasan pers, khususnya di papua. Wilayah papua, yang meliputi provinsi Papua dan Papua Barat dianggap sebagai “lubang hitam” sehingga informasi ini menjadikan jurnalis tidak bisa bekerja secara bebas.

Dalam konteks sosial, pemberitaan tentang topik-topik tertentu, seperti LGBT, kemurtadan, dan pernikahan anak di bawah umur, masih dianggap tabu. Selain itu, dalam konteks keamanan, jurnalis yang menginvestigasi kasus korupsi lokal masih sering menghadapi intimidasi Dari aparat keamanan. Pandemi juga memberikan tekanan ekonomi yang sangat besar pada pers di Indonesia. Banyak jurnalis telah dipecat dan setengah dari media telah memotong gaji karyawan mereka sebesar 20 hingga 30%.

Direktur Jenderal UNESCO Audrey Azoulay mengatakan bahwa kemajuan teknologi tidak hanya mendorong pertukaran informasi yang cepat, akan tetapi juga membuat operator media rentan terhadap serangan dan pelecehan digital. Sebuah studi UNESCO menunjukkan bahwa lebih dari tujuh dari sepuluh jurnalis telah mengalami kekerasan online. Namun, para pelaku seringkali tidak meninggalkan jejak atau menikmati impunitas.

Hingga saat ini, Indeks Kebebasan Pers menurut Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Sasmito Madrim, secara umum kondisi kebebasan pers di negara ini masih belum membaik sepenuhnya. Melihat masih banyaknya kasus ancaman kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia. AJI mengatakan bahwa setidaknya ada 43 kasus kekerasan sepanjang tahun, mulai dari aksi teror atau intimidasi (9 kasus), kekerassan fisik (7 kasus), serta pelanggaran Liputan (7 kasus), serangan digital (8 kasus) hingga penuntutan hukum (4 kasus).

Walaupun dalam menjalankan profesinya sebagai wartawan, dapat memperoleh perlindungan hukum, untuk mencari, memperoleh, memiliki, mengarsipkan, mengolah, dan menyampaikan informasi dalam bentuk tulisan, suara, gambar, dan data grafik serta dalam bentuk melalui dukungan kertas, elektronik dan informatif dari segala jenis saluran yang tersedia sesuai dengan pasal 8 undang-undang no. 40 tahun 1999 dalam pers. Perlindungan hukum yang dimaksud adalah jaminan perlindungan dari pemerintah dan masyarakat yang diberikan kepada wartawan dalam menjalankan fungsi, hak, tugas dan perannya.

Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya, pasal 18 ayat 1 undang-undang pers juga memberikan sanksi bagi mereka dengan sukarela melakukan perbuatan melawan hukum yang menyangkut halangan bagi terwujudnya kebebasan pers sesuai dengan pasal 4 (ayat 2 dan 3) akan dihukum denda Rp. 500 juta dan dijatuhi pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun.

Namun, disisi lain masih perlu adanya perbaikan yang signifikan dari segi regulasi, ekonomi, kesejahteraan, dan impunitas pelaku kekerasan. Guna melindungi hak kebebasan pers di Indonesia saat ini yang kian menurun.

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *