Tindak pidana korupsi di Indonesia kian hari makin meraja lela sampai-sampai netizen buatkan Liga Korupsi Indonesia. Sebuah “kompetisi” tidak bermoral yang menempatkan para pelaku korupsi dalam sebuah klasemen “prestasi” yang memilukan. Ironisnya, perusahaan-perusahaan pelat merah yang seharusnya menjadi pilar perekonomian negara, justru mendominasi daftar “pemenang” dalam liga tersebut.
Pertamina, sebagai salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terbesar di Indonesia, menempati posisi puncak dalam klasemen sementara Liga Korupsi Indonesia dengan perolehan “skor’ hampi mencapai 1 kuadriliun . Hal ini sebagaimana dilansir dari Kompas.com (1/3) bahwa korupsi yang terjadi di PT Pertamina pada rahun 2023 menyebabkan negara diduga mengalami kerugian sebesar Rp 193,7 triliun, sementara Kejaksaan Agung menyebut tempus delicti atau waktu terjadinya tindak pidana korupsi di Pertamina adalah pada 2018-2023, sehingga jika dihitung secara kasar jumlahnya mencapai Rp 968,5 triliun.
Kasus ini tentu sangat memprihatinkan, mengingat Pertamina adalah perusahaan yang mengelola sumber daya energi vital bagi negara. Kasus korupsi yang melibatkan perusahaan sebesar Pertamina tentu menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi negara dan masyarakat. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, mengapa korupsi begitu merajalela di Indonesia? Apakah sistem hukum yang ada kurang tegas, ataukah penegakan hukum yang lemah?
Salah satu faktor yang menjadi penyebab utama merajalelanya korupsi di Indonesia adalah hukuman yang tidak memberikan efek jera. Para pelaku korupsi, meskipun telah terbukti bersalah, sering kali hanya mendapatkan hukuman penjara yang relatif ringan. Bahkan, beberapa di antaranya masih bisa menikmati fasilitas mewah di dalam penjara. Kondisi ini tentu tidak memberikan efek jera bagi para pelaku korupsi, tapi justru bisa menjadi pemicu bagi orang lain untuk melakukan tindakan serupa.
Sebenarnya ada salah satu bentuk hukuman yang bisa memberikan efek jera, yaitu hukuman mati. Hukuman mati bagi koruptor telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) . Namun, hingga saat ini, belum ada satu pun koruptor yang dijatuhi hukuman mati. Padahal, jika melihat syarat-syarat penjatuhan hukuman mati bagi koruptor berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2020, sudah banyak kasus korupsi yang memenuhi syarat tersebut.
Dalam Perma Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor diisebutkan bahwa salah satu syarat penjatuhan hukuman mati bagi koruptor adalah jika tindak pidana korupsi yang dilakukannya menimbulkan kerugian negara yang sangat besar, yaitu lebih dari Rp 100 miliar atau jika tindak pidana korupsi tersebut dilakukan dalam keadaan bencana alam atau krisis ekonomi (Pasal 8 junto Pasal 17). Maka, dalam beberapa tindak korupsi di Indonesia, syarat tersebut sudah terpenuhi, termasuk yang terbaru ini kasus dugaan tindak korupsi PT Pertamina yang dilakukan pada saat pandemi Covid-19 dan kerugian negara berkisar Rp 968,5 triliun.
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah mengalami beberapa kali bencana alam dan krisis ekonomi. Pada saat-saat seperti ini, seharusnya para pejabat negara dan pelaku usaha justru berlomba-lomba untuk membantu masyarakat yang sedang kesulitan. Namun, kenyataannya, justru ada oknum-oknum yang memanfaatkan situasi tersebut untuk melakukan korupsi. Tindakan ini tentu sangat tidak manusiawi dan pantas untuk mendapatkan hukuman yang seberat-beratnya.
Selain itu, banyak kasus korupsi di Indonesia yang menimbulkan kerugian negara yang sangat besar. Kerugian ini tidak hanya berupa kerugian materi, tetapi juga kerugian immateri, seperti hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Oleh karena itu, sudah saatnya bagi pemerintah dan aparat penegak hukum untuk lebih tegas dalam memberantas korupsi yang merupakan kejatahan luar biasa (extraordinary crime). Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah dengan menerapkan hukuman mati bagi para koruptor yang telah memenuhi syarat.
Penerapan hukuman mati bagi koruptor tentu bukan tanpa kontroversi. Ada sebagian pihak yang berpendapat bahwa hukuman mati melanggar hak asasi manusia. Namun, perlu diingat bahwa korupsi juga merupakan pelanggaran hak asasi manusia, karena korupsi merampas hak-hak rakyat untuk mendapatkan kesejahteraan dan keadilan. Selain itu, hukuman mati juga merupakan salah satu bentuk hukuman yang diakui dalam sistem hukum Indonesia dan seorang hakim agung terkenal, yaitu Artidjo Alkostar sebenarnya ingin sekali juga menerapkan hukuman bagi koruptor, tapi saat itu ia terkendala dengan konstruksi hukum yang secara yuridis menyulitkannya untuk menerapkan hukuman mati bagi koruptor.
Oleh karena itu, saat ini penegak hukum jika ingin benar-benar memberantas tindak pidana korupsi, maka salah satu jalannya adalah dengan menerapkan hukuman mati, tentu dengan hati-hati dan selektif. Hukuman mati hanya boleh dijatuhkan kepada para koruptor yang telah melakukan tindak pidana korupsi yang sangat berat dan menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi negara dan masyarakat.
Selain hukuman mati, pemerintah juga perlu melakukan upaya-upaya lain untuk memberantas korupsi. Salah satu upaya yang penting adalah dengan memperkuat sistem pencegahan korupsi. Sistem pencegahan korupsi yang kuat akan mampu mencegah terjadinya tindak pidana korupsi sejak dini. Selain itu, pemerintah juga perlu meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara. Dengan transparansi dan akuntabilitas yang tinggi, maka akan lebih sulit bagi para pelaku korupsi untuk melakukan aksinya.
Oleh: Abdurrahman Syafrianto, M.H., Ketua Umum PW GPII Jawa Tengah, Pengajar di Pesantren-Sekolah Alam Planet Nufo, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Unissula, Advokat di Noer’s Law Office.