Oleh: Gunawan Trihantoro
Sekretaris Forum Kreator Era AI Jawa Tengah
Dalam beberapa waktu terakhir, dunia maya ramai memperbincangkan fenomena joget velocity yang melibatkan para Aparatur Sipil Negara (ASN).
Video-video ASN yang berjoget dengan musik cepat dan penuh semangat itu viral, menuai pujian sekaligus kritik dari publik luas.
Bagi sebagian orang, fenomena ini dinilai sebagai ekspresi kegembiraan dan bentuk promosi positif terhadap citra instansi pemerintah yang lebih terbuka dan menyenangkan.
Namun, sebagian lainnya menilai aksi joget berjamaah di ruang publik, apalagi dilakukan saat jam kerja, sebagai bentuk pemborosan waktu, pelanggaran etika profesi, hingga mengaburkan makna dari integritas ASN itu sendiri.
Pertanyaannya kemudian: sejauh mana joget velocity ini mencerminkan semangat pelayanan publik, dan kapan ia mulai melampaui batas yang seharusnya dijaga?
ASN, sebagai abdi negara dan pelayan masyarakat, memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk menunjukkan profesionalisme dalam setiap tindak-tanduknya.
Bukan berarti mereka harus selalu kaku atau anti hiburan, tetapi ada batas etis yang perlu diperhatikan, terlebih jika aksi itu dilakukan dalam seragam dan atas nama instansi.
Joget velocity, yang pada awalnya populer di kalangan anak muda sebagai hiburan semata, mengalami “transplantasi” ke ranah formal birokrasi tanpa penyesuaian nilai.
Ketika ASN berjoget dalam formasi terstruktur, di halaman kantor, atau bahkan di ruang rapat, publik tidak hanya melihat itu sebagai hiburan, tetapi juga sebagai representasi institusi negara.
Hal ini menjadi problematik ketika publik menangkap kesan bahwa ASN lebih sibuk berjoget daripada bekerja melayani masyarakat.
Dalam konteks ini, persepsi publik memegang peranan penting.
Sebagus apapun niat para ASN berjoget—entah sebagai cara mempererat kekompakan tim atau menyemarakkan perayaan hari besar nasional—jika publik menilai itu sebagai bentuk kemalasan atau pamer gaya, maka kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi bisa terkikis.
Perlu diakui, birokrasi Indonesia sedang dalam proses panjang transformasi budaya kerja.
Berbagai program reformasi birokrasi, termasuk peningkatan kualitas pelayanan dan digitalisasi, menjadi prioritas agar ASN lebih sigap, adaptif, dan profesional.
Namun, bila di tengah proses ini muncul tren yang justru memperkuat stereotip “ASN santai-santai saja”, maka arah perubahan itu bisa kabur dari tujuan awalnya.
Fenomena joget velocity, jika tidak dikritisi secara jernih, bisa menjadi preseden yang menumpulkan semangat perubahan tersebut.
Apalagi ketika aksi itu terekam dalam konten yang seolah diproduksi demi keviralan semata, bukan karena dorongan substansial institusi.
Dari sisi manajemen organisasi, kegiatan non-formal seperti senam, apel kreatif, atau lomba antarpegawai sebenarnya sah-sah saja dan bisa memperkuat teamwork.
Namun, kegiatan itu harus dilakukan pada waktu yang tepat, dengan tujuan yang jelas, dan dengan batasan etis yang tidak mencederai integritas lembaga.
Yang dikhawatirkan adalah ketika ASN merasa bahwa tampil keren dan viral di media sosial lebih penting daripada menyelesaikan pekerjaan mereka.
Apalagi jika budaya kerja akhirnya bergeser menjadi budaya performatif semata.
Bukan tidak boleh bergembira atau berkreasi, tetapi semestinya ASN tetap mengingat bahwa publik menaruh ekspektasi tinggi pada mereka.
Integritas, profesionalisme, dan fokus terhadap pelayanan mesti tetap menjadi dasar gerak langkah, bukan sekadar ikut tren media sosial.
Karena itu, alih-alih terus berlomba menunjukkan aksi viral seperti joget velocity, alangkah baiknya bila ASN fokus membangun kredibilitas melalui karya, inovasi, dan pelayanan yang nyata.
Bila ingin membangun citra instansi yang dinamis dan ramah, lakukanlah dengan pendekatan yang kontekstual dan berbasis nilai kelembagaan.
Joget bisa tetap menjadi bagian dari penguatan semangat kerja, namun perlu diletakkan secara bijak dan proporsional.
Jangan sampai semangat melayani berubah menjadi sekadar ajang pamer gerakan tubuh, sementara pekerjaan utama justru terbengkalai.
Joget velocity di kalangan ASN bukan hal yang salah secara mutlak, tetapi perlu dikaji ulang secara lebih mendalam.
Apakah ia benar-benar menjadi jalan menuju birokrasi yang lebih sehat dan humanis, atau hanya sekadar pengalihan dari substansi kerja yang sesungguhnya?
Itulah yang perlu kita renungkan bersama. (***)