Oleh: Muhammad Aufal Fresky*)
Gagasan pendidikan semi militer yang digagas Gubernur Jawa Barat (Jabar) Dedi Mulyadi ternyata bukan sekadar isapan jempol. Tak menunggu waktu lama, dia langsung tancap gas untuk segera merealisasikannya. Hal itu bisa kita lihat di Bandung dan Purwakarta yang mulai menjalankannya. Pendidikan ala milter tersebut menyasar siswa sekolah mulai dari tingkatan SMP hingga SMA yang dinilai bermasalah. Tentu, ide brilian tersebut dibanjiiri dukungan dari publik. Khususnya warga Jabar. Sebab, selama ini, beberapa aksi kejahatan dan kriminal, terutama yang terjadi di luar lingkungan sekolah, itu melibatkan pelajar. Hemat saya, program tersebut juga bisa menjadi terobosan baru untuk membangun karakter pemuda sebagai calon pemimpin masa depan. Apalagi, kita saat ini sedang bekemas-kemas menyongsong Indonesia Emas 2045. Tentu harus mempersiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) pemuda yang cerdas, tangguh, kreatif, dan berkarakter.
Di sisi lain, sebagian guru dan orangtua siswa seolah tidak berkutik melihat aksi brutal sebagian pemuda. Mungkin mereka hanya bisa pasrah dan mengelus dada atas ulah pemuda yang sudah tak terkontrol tersebut. Kita juga bisa mengamati sendiri, betapa tidak terhitung jumlahnya, anak-anak kita yang terlibat tawuran, balapan motor, geng motor, minuman keras, pergaulan bebas, narkoba, prostitusi, judi online (judol), dan semacamnya. Tak heran jika gebrakan dari Kang Dedi Mulyadi (KDM) dianggap sebagai angin segar bagi masyarakat Jabar untuk menekan angka kriminalitas. Selain itu, tentu untuk membangun sikap, mental, dan kepribadian pemuda sebagai penerus estafet kepemimpinan bangsa di kemudian hari.
Sementara itu, seperti yang dilansir Kompas.com (1/5), pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISEES) Khairul Fahmi berpandangan bahwa rencana KDM mengirim siswa bermasalah ke barak militer sangat berisiko secara psikologis. Menurutnya, yang dibutuhkan siswa bermasalah bukan pendekatan militer, melainkan pendekatan dengan masalah masing-masing anak dan pendampingan. Artinya, pendekatan yang digunakan harus bersifat pedagogis dan reflektif, bukan koersif.
Dalam hal ini, saya selaku penulis kurang sependapat dengan pandangan Fahmi. Sebab, barangkali dia hanya melihat persoalan dari atas ketinggian menera. Tidak mengerti betul akar persoalan yang memang mendesak untuk segera diatasi. Jika pendekatannya semacam itu, saya rasa pihak sekolah juga telah memiliki guru Bimbingan Konseling (BK). Pasti sudah sering memberikan bimbingan dan petuah untuk siswa bermasalah. Hanya saja, siswa-siswa bermasalah ini sudah tidak terkendali. Sukar diarahkan dan dinasihati. Terkait hal itu, gagasan pendidikan semi militer dari KDM ini menjadi altenatif solusi untuk menampung dan membina siswa bermasalah agar kembali menjadi pribadi yang berakhlak dan disipin. Kembali menjadi pemuda yang berbakti kepada orangtuanya, menghormati gurunya, dan tidak membuat gaduh lingkungan sekitarnya.
Memang, setiap ide atau program yang out of the box, itu pasti akan menulai pro dan kontra. Pasti ada yang mendukung dan menentang, sehingga keteguhan hati KDM sebagai pemimpin akan diuji.Ternyata, usut punya usut, KDM telah menyebarkan Surat Edaran (SE) yang sudah dikirmkan se-Jabar terkait pendidikan semi militer tersebut. Ada dua kriteria yang wajib dipenuhi. Di antaranya yaitu khusus anak-anak yang sudah mengarah tindakan kriminal dan orangtuanya tidak punya kesanggupan untuk mendidik.
Syarat mutlak yang harus dipenuhi yakni harus ada penyerahan oleh orangtua yang dituangkan dalam surat di atas materai. Terkait durasinya, kegiatan tersebut berkisar 6-12 bulan. Namun, tidak menutup kemungkinan kurang dari 6 bulan jika memang targetnya tercapai. Yaitu ada perubahan yang signifikan dari siswa yang bermasalah tersebut. Semua itu bergantung pada perkembangan siswa selama di barak militer. Sementara itu, berdasarkan informasi yang penulis dapatkan, ternyata di dalam barak militer, para pelajar tidak hanya untuk patuh, tertib dan disiplin. Siswa juga distimulus untuk menjadi lebih produktif dan kreatif melalui pelatihan bertani, berkebun, otomotif, dan elektro. Tentu saja, kegiatan yang melibatkan TNI-Polri sebagai pengelolanya, itu diharapkan bisa menstimulus siswa untuk menemukan dan melejitkan bakat dan potensi dirinya.
Pendidikan semi militer tersebut, hemat saya, perlu didukung oleh segenap komponen warga Jabar. Khususnya, elit-elit politik di pusat. Bukan hanya bisa menyindir tanpa memberikan alternatif solusi lainnya untuk mengentaskan persoalan kenalakan dan kriminalitas yang melibatkan remaja. Sebab, saya rasa geberakan semacam itu perlu segera dieksekusi sebelum generasi muda kita hancur oleh judol, miral, narkoba, geng motor, dan sejenisnya. Sebab itulah, barak militer menjadi wadah penempaan diri dan pembentukan watak bagi pemuda.
Bagaimanapun juga, mereka adalah aset bangsa yang harus kita jaga dan bina. Saya pun berharap nanti ada kontrol dan evaluasi mengenai penyelenggaraan pendidikan semi militer tersebut. Tentu agar lebih sistemik, terencana, terarah, efektif, dan efisien. Dalam hal ini, perlu penguatan sinergi dan kolaborasi Pemprov dan Pemkot/Pemkab. Dan tidak menutup kemungkinan, pendidikan semi militer tersebut bisa diadopsi di tempat lainnya. Sebab, kita semua menginginkan pemuda di negeri ini tumbuh menjadi pribadi yang nasionalis, agamis, produktif, kreatif, dan berdaya saing tinggi. Sebab, sekali lagi, pemuda hari ini adalah harapan kita di masa depan. Maka mari bahu-membahu mempersiapkan Generasi Emas 2045.
*) Magister Administrasi Bisnis Universitas Brawijaya, Penulis buku Empat Titik Lima Dimensi