Oleh: Tsamara Bunga Syahira, Mahasiswa UIN Salatiga
Bagi sebagian orang, demokrasi dipahami sebagai sistem yang memberi ruang bagi setiap individu untuk berekspresi dan menyampaikan pendapat secara bebas. Hal ini saya rasakan melalui berbagai pengalaman hidup, khususnya ketika aktif dalam organisasi.
Saat memasuki dunia perkuliahan, saya bergabung dengan beberapa organisasi, salah satunya adalah organisasi daerah. Dalam organisasi tersebut, saya dipercaya menjadi pengurus divisi media sosial. Meski saya bersyukur mendapat kepercayaan itu, kenyataannya tidak mudah karena hanya ada tiga anggota dalam divisi ini, sedangkan kami harus mengelola platform seperti TikTok dan Instagram.
Kesulitan muncul ketika ketua organisasi kerap memberikan arahan secara mendadak terkait kebutuhan konten untuk suatu acara. Hal ini menyebabkan saya dan anggota lain sering kewalahan. Dalam rapat divisi, saya mencoba menyampaikan usulan berupa MoU internal bahwa segala arahan sebaiknya disampaikan minimal tiga hari sebelum acara berlangsung. Sayangnya, usulan tersebut tidak benar-benar dijalankan. Bahkan ketika saya mengutarakan pendapat, ketua sering menolak secara langsung namun kemudian menyampaikan hal serupa dengan versinya sendiri. Saya hanya bisa menerima karena posisi saya sebagai bawahan.
Di luar kampus, saya tinggal di desa yang memiliki budaya kekeluargaan yang kuat. Namun, saya merasa kurang mendapatkan ruang untuk berdiskusi ketika terjadi perbedaan pandangan. Misalnya, karena aktivitas organisasi, saya sering pulang larut malam, bahkan melewati pukul 11 atau 12 malam. Hal ini menuai banyak teguran dan bahkan gunjingan dari warga. Meski saya sudah menjelaskan bahwa keterlambatan itu disebabkan rapat organisasi, saya tetap merasa dikucilkan. Akhirnya, saya memilih untuk bermalam di kos teman ketika pulang terlalu malam, demi menghindari konflik.
Di lingkungan kampus, saya juga melihat kurangnya penerapan prinsip demokrasi, terutama dalam hal pelayanan mahasiswa. Banyak hak-hak mahasiswa belum terpenuhi seperti fasilitas kelas yang rusak—kipas angin, proyektor, dan kursi—namun tidak segera diperbaiki. Padahal, kami membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) cukup tinggi, bahkan saya pribadi membayar lebih dari tiga juta rupiah. Sayangnya, benefit yang saya terima tidak sebanding. Misalnya, masih diminta membeli buku tambahan dengan harga cukup mahal, tanpa pemberitahuan sebelumnya dari dosen. Bahkan penilaian dosen yang dilakukan setiap akhir semester tidak berdampak signifikan, karena dosen yang dinilai kurang baik tetap mengajar dengan metode yang lebih memberatkan.
Pengalaman-pengalaman ini menunjukkan bahwa demokrasi tidak hanya penting di tingkat pemerintahan, tetapi juga di lingkungan organisasi, masyarakat, dan kampus. Demokrasi sejati mensyaratkan keterbukaan, penghargaan terhadap pendapat, serta perlindungan terhadap hak-hak individu—sesuatu yang masih perlu terus diperjuangkan dalam kehidupan kita sehari-hari.