Oleh: Abdurrahman Syafrianto, M.H., Sekretaris Majelis Hukum dan HAM PDM Rembang, Guru Pendidikan Pancasila SMP Alam Nurul Furqon.
Tanggal 1 Juli menjadi hari bersejerah bagi institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Sebab, pasca kemerdekaan tepatnya pada 1 Juli 1946 Polri resmi dibentuk di bawah Presiden langsung dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor II Tahun 1946. Tanggal 1 Juli kemudian diperingati sebagai hari lahir Polri dengan sebutan nama Hari Bhayangkara. Bhayangkara mempunyai makna perlndungan, kesetiaan, dan keberanian. Nama Bhayangkara ini diambil dari sebutan nama pasukan khusus pengamanan yang dibentuk oleh Patih Gajah Mada yang bertugas untuk melindungi raja dan kerajaan Maja Pahit.
Namun, dalam konteks Indonesia yang bukan Negara kerajaan harusnya Polri tidak menjadikan Pemerintah sebagai raja dan rakyat sebagai musuh. Hal ini bertentangan dengan amanat Pasal 2 dan 13 Undang-Undang (UU) Nomor 2 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyebutkan dengan jelas bahwa fungsi dan tugas pokok Kepolisian adalah untuk memelihara keamanan dan ketertiban Masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada Masyarakat.
Beberapa waktu terakhir, citra Polri kembali tercoreng oleh serangkaian kasus yang melibatkan oknum anggotanya. Alih-alih menjadi pelindung dan pengayom masyarakat, Polri justru kerap kali menjadi sorotan negatif akibat tindakan-tindakan represif yang bertentangan dengan hukum dan etika ketika menghadapi Masyarakat yang sedang menyampaikan aspirasi. Polri sangat jarang menggunakan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) ketika berhadapan dengan masyarakat. Rentetan peristiwa ini menimbulkan pertanyaan mendasar: ke manakah arah reformasi Polri yang telah digagas sejak era reformasi?
Kasus-kasus seperti penyalahgunaan wewenang, kekerasan berlebihan, korupsi, hingga keterlibatan dalam jaringan narkoba seolah menjadi potret buram wajah kepolisian kita. Kondisi ini diperparah dengan lambatnya penanganan kasus-kasus tersebut, yang pada akhirnya memicu ketidakpercayaan publik terhadap institusi penegak hukum ini. Masyarakat merasa tidak aman dan tidak terlindungi, bahkan oleh aparat yang seharusnya melindungi mereka.
Krisis kepercayaan publik ini bukan fenomena baru. Sejak era reformasi, Polri telah berupaya melakukan perubahan internal untuk menjadi institusi yang lebih profesional, transparan, dan akuntabel. Namun, upaya tersebut tampaknya belum membuahkan hasil yang signifikan. Budaya koruptif, impunitas, dan kekerasan masih mengakar kuat di tubuh Polri.
Salah satu akar masalahnya adalah lemahnya pengawasan internal. Mekanisme pengawasan yang ada belum mampu mendeteksi dan menindak tegas pelanggaran yang dilakukan oleh oknum anggota Polri. Akibatnya, banyak kasus yang dibiarkan berlarut-larut atau bahkan ditutup-tutupi. Selain itu, sistem rekrutmen dan promosi yang tidak transparan juga menjadi faktor yang berkontribusi terhadap munculnya oknum-oknum bermasalah di dalam institusi Polri.
Reformasi Polri harus dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan. Perubahan tidak hanya terbatas pada aspek struktural, tetapi juga mencakup aspek kultural dan mentalitas anggota Polri. Adapun langkah-langkah yang perlu diambil untuk mewujudkan reformasi Polri yang sesungguhnya adalah pertama: Penguatan Pengawasan Internal dan Eksternal. Artinya, dibutuhkan mekanisme pengawasan yang lebih efektif dan independen untuk memastikan bahwa setiap pelanggaran yang dilakukan oleh anggota Polri ditindak tegas. Pengawasan eksternal dari masyarakat sipil dan media juga perlu diperkuat untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas Polri.
Kedua, Perbaikan Sistem Rekrutmen dan Promosi: Sistem rekrutmen dan promosi harus dilakukan secara transparan dan akuntabel, dengan mengedepankan prinsip meritokrasi. Calon anggota Polri harus dipilih berdasarkan kompetensi dan integritasnya, bukan berdasarkan koneksi atau kekayaan.
Ketiga, Peningkatan Profesionalisme dan Etika: Anggota Polri perlu dibekali dengan pelatihan yang memadai tentang profesionalisme, etika, dan Hak Asasi Manusia (HAM). Penegakan kode etik profesi juga harus dilakukan secara tegas dan konsisten, supaya dalam menjalankan tugas keprofesianya tidak brutal dan tidak melukai masyarakat.
Keempat, Transparansi dan Akuntabilitas: Polri harus membuka diri terhadap kritik dan masukan dari masyarakat. Informasi tentang kinerja dan anggaran Polri harus dapat diakses oleh publik. Sebab, sampai saat ini pungutan liar (pungli) masih terdapat dalam pelayanan publik yang dilakukan oleh Polri.
Kelima, Perubahan Budaya Organisasi: Reformasi Polri harus menyentuh akar budaya organisasi yang koruptif dan represif. Dibutuhkan regulasi dan kepemimpinan yang kuat dan berintegritas untuk mengubah budaya organisasi menjadi lebih profesional dan humanis.
Reformasi Polri adalah suatu keniscayaan, bukan sesuatu yang mustahil untuk diwujudkan. Dibutuhkan komitmen yang kuat dari seluruh elemen, baik Polri, pemerintah, dan masyarakat sipil untuk mewujudkan Polri yang profesional, modern, dan terpercaya. Hanya dengan reformasi yang menyeluruh dan berkelanjutan, Polri dapat mengembalikan kepercayaan publik dan menjadi institusi yang benar-benar mengayomi dan melindungi masyarakat.
Jika dulu pada zaman Maja Pahit, Bhanyangkara bertugas melindungi raja karena merupakan Negara kerajaan, maka dalam konteks Indonesia yang kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, harusnya Bhayangkara menjadikan rakyat sebagai raja yang harus diayomi dan dliindungi. Selamat Hari Ulang Tahun (HUT) ke-79 Bhayangkara. 1 Juli 2025. Semoga segera melakukan evaluasi dan reformasi, sehingga salam presisi benar-benar terjadi.