Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
KesehatanKolom

Satu Abad Indonesia: Tantangan Transformasi Sistem Kesehatan Nasional

×

Satu Abad Indonesia: Tantangan Transformasi Sistem Kesehatan Nasional

Sebarkan artikel ini
Example 468x60


Oleh: dr. Muhammad Fadel Yudawa
Direktur LKMI HMI Cabang Semarang Periode 2023-2024

Sudah terhitung 79 tahun Indonesia berdiri, namun kesehatan seringkali masih menjadi isu yang relevan untuk dipersoalkan. Tahun 2045, Indonesia akan merayakan 100 tahun kemerdekaannya namun apakah akan menjadi “Tahun Emas” bagi Indonesia atau sebaliknya. Kesehatan adalah hal fundamental bagi setiap individu yang harus diperjuangkan karena menyangkut hak asasi manusia. Negara sebagai duty bearer mempunyai tanggung jawab untuk melakukan pemenuhan atas hak ini sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar RI 1945 Pasal 28H yang berbunyi “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh layanan kesehatan” dan Undang-Undang Dasar RI 1945 Pasal 34 ayat 3 yang berbunyi “Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”.

Example 300x600

Generasi emas adalah bentuk gagasan untuk menciptakan generasi manusia yang unggul, kompeten, dan berdaya saing yang diharapkan dapat terwujud pada tahun 2045. Untuk mempercepat terciptanya generasi ini sesuai dengan pilar pembangunan Indonesia 2045 diperlukan adanya peningkatan derajat kesehatan dan kualitas hidup rakyat. Sebagai upaya peningkatan ini diperlukan fokus terhadap penyelenggaraan kesehatan pada upaya kesehatan, sumber daya kesehatan, dan pengelolaan kesehatan. Komitmen pemerintah terhadap penyelenggaraan ini harus terus dikawal mengingat dihapusnya alokasi belanja wajib atau mandatory spending sebesar 5% dari APBN dan 10% dari APBD dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang sebelumnya alokasi ini diatur dalam Undang-Undang 36 Tahun 2009.

Secara georafis, Indonesia terbentang dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatatkan jumlah penduduk Indonesia mencapai 281,6 juta jiwa hingga tahun 2024. Perihal pemenuhan layanan kesehatan bagi masyarakat, luasnya wilayah dan besarnya jumlah penduduk seharusnya bukan menjadi alasan bagi Negara untuk tidak bisa menghadirkan pelayanan kesehatan yang layak bagi seluruh rakyat. Percepatan perlu dihadirkan dikarenakan masih terdapat 345 Puskesmas tanpa dokter dan 40% fasilitas pelayanan kesehatan Tingkat primer belum mempunyai 9 jenis tenaga kesehatan yang sesuai standar. Bahkan, rasio ideal dokter berdasarkan standar World Health Organization (WHO) yakni 1:1000 penduduk belum tercapai. Hingga tahun 2025 di Indonesia, rasio dokter umum terhadap penduduk yakni sebesar 0.76 per 1000 penduduk dan rasio dokter spesialis hanya sebesar 0.18 per 1000 penduduk. Hal ini tentunya harus dapat dituntaskan oleh Pemerintah dengan kerja-kerja kolaborasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk menjamin tercapainya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

Persoalan pendanaan kesehatan khususnya sumber pendanaan yang bersumber dari pemerintah daerah seringkali didapatkan masalah adanya keterbatasan keuangan daerah disetai alokasi dana sebagian besar digunakan untuk belanja pegawai dan belanja Pembangunan. Tidak diaturnya mandatory spending dari sumber APBD dalam UU 17/2023 tentang Kesehatan tentu akan menjadi masalah. Bahkan disaat aturan tersebut masih ada di dalam UU 36/2009, di tahun 2021 hanya sebanyak 313 pemerintah daerah (61,74%) yang mematuhi aturan mandatory spending tersebut. Dapat dibayangkan ketiadaan payung hukum untuk aturan tersebut, pemerintah daerah dapat menurunkan alokasi tersebut padahal kesehatan adalah hal yang fundamental.

Anggaran memiliki peran sentral di bidang kesehatan. Pengurangan anggaran tentunya akan berdampak pada turunnya pembangunan fasilitas pelayanan kesehatan. Berdasarkan data dari Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2023, jumlah Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) tercatat sebanyak 10.180 yang terdiri atas 4.210 Puskesmas rawat inap dan 5.970 Puskesmas non-rawat inap. Rasio Puskesmas terhadap kecamatan pada tahun 2021 sebesar 1,4. Idealnya rasio Puskesmas terhadap kecamatan yaitu 1,0, minimal satu Puskesmas satu kecamatan. Namun terdapat kekurangan fasilitas pelayanan kesehatan di Papua Barat yakni dengan rasio 0,29. Meskipun rasio puskesmas sudah terpenuhi secara nasional, namun persebaran puskesmas masih belum merata di Indonesia.

Minimnya distribusi fasilitas pelayanan kesehatan selanjutnya akan menimbulkan masalah baru yakni minimnya ketersediaan tenaga medis dan tenaga kesehatan khususnya di daerah yang non-perkotaan. Bahkan, kalaupun sudah berdiri infrastruktur fasyankes seringkali didapatkan sarana prasana yang tidak memadai untuk berpraktek. Kendala ini akan menimbulkan efek domino bagi pembiayaan kesehatan dimana biaya pelayanan akan meningkat dikarenakan tenaga medis dan tenaga kesehatan yang umumnya harus didatangkan dari daerah lain. Sebagaimana prinsip supply-demand, permintaan terhadap layanan kesehatan yang cenderung meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk dibandingkan dengan keterbatasan ketersediaan tenaga medis, fasilitas pelayanan kesehatan, dan obat akan berakibat pada peningkatan biaya layanan. Hal ini juga dikenal dengan istilah inflasi kesehatan. Selain itu, over-demand pada layanan ini akan mengakibatkan penurunan kualitas layanan dikarenakan menumpuknya antrian pasien sehingga menyebabkan kelelahannya tenaga medis dan tenaga kesehatan.

Berkenaan dengan masalah pembiayaan, pemerintah saat ini telah menghadirkan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Hadirnya BPJS ini tentu memudahkan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dengan biaya yang terjangkau atau bahkan gratis pada Penerima Bantuan Iuran (PBI). Namun, pada implementasi penggunaannya masih saja terdapat masalah seperti keterbatasan obat yang ditanggung oleh BPJS (sesuai Formularium Nasional) dan keterbatasan pemeriksaan yang dilakukan.
Muara dari banyaknya masalah terhadap pelayanan kesehatan di negeri ini yakni warga Indonesia yang berbondong-bondong pergi berobat ke luar negeri. Berdasarkan data dari Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI), alasannya didapatkan antara lain: 70,53% warga Indonesia yang berobat mengganggap komunikasi sumber daya manusia termasuk dokter di Rumah Sakit kurang baik, 61,41% pasien menyatakan waktu konsultasi dokter yang disediakan lebih pendek, 48,96% pasien menilai peralatan medis Rumah Sakit di Indonesia kurang canggih, dan 30,29% pasien menilai diagnosis di Indonesia kurang akurat.

Oleh karena itu, penting bagi para pemangku kebijakan untuk bisa melakukan evaluasi sistemik terhadap kebijakan kesehatan, distribusi fasilitas pelayanan kesehatan, distribusi sumber daya tenaga medis dan tenaga kesehatan, pembiayaan kesehatan, permasalahan supply-demand layanan kesehatan, dan aspek penyelenggaraan jaminan kesehatan nasional. Pemerintah perlu mengkaji lebih lanjut tentang bagaimana alternatif mana yang perlu ditempuh. Juga perlu adanya komunikasi dan kolaborasi yang baik antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah untuk untuk dapat merumuskan strategi dalam pemecahan masalah yang solutif. Kewajiban ini adalah amanat dari UUD 1945 untuk bisa menjamin tersedianya layanan kesehatan yang layak untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Dengan perbaikan pelayanan kesehatan ini diharapkan dapat menjadi investasi strategis untuk mewujudukan generasi emas Indonesia di tahun 2045 mendatang.

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *