Oleh: Gunawan Trihantoro
Sekretaris Kreator Era AI Jawa Tengah dan Ketua Satupena Kabupaten Blora
Di tengah gegap gempita teknologi dan kecerdasan buatan (AI), anak-anak Blora memberikan pertunjukan yang membekas di hati, yakni pantomim. Dalam Festival Anak Blora (Fablo) yang digelar sebagai puncak Hari Anak Nasional 2025 di GOR Mustika Blora, Sabtu 26 Juli, gerak tanpa suara justru bersuara lantang tentang kreativitas dan ekspresi manusia.
Pantomim adalah seni yang mendahului kata. Di balik diamnya, ia berbicara lewat tubuh, raut, dan gerakan. Anak-anak Blora menyuguhkan ini dengan tulus, membawa pesan kuat, bahwa manusia tetap punya cara unik untuk mengungkapkan perasaan, bahkan tanpa teknologi.
Di era AI, ketika robot bisa berbicara dan wajah bisa dibuat tersenyum oleh algoritma, pantomim mengingatkan kita akan pentingnya ekspresi alami. Anak-anak tidak hanya belajar meniru gerak, tapi juga belajar empati, imajinasi, dan membaca bahasa tubuh, sesuatu yang belum bisa sepenuhnya dimiliki mesin.
Kehadiran teknologi jangan sampai mematikan ruang-ruang seni tradisional dan pertunjukan tubuh seperti pantomim. Justru, di tengah arus digital, seni ini bisa menjadi penyeimbang agar anak-anak tidak hanya terpaku pada layar, tetapi juga mampu merasakan dan menyampaikan emosi secara langsung.
Pertunjukan pantomim di Fablo menunjukkan bahwa seni bukan sekadar hiburan. Ia menjadi ruang edukasi, terapi ekspresi, dan sarana pembentukan karakter. Dalam gerakan pelan hingga ledakan emosi, anak-anak belajar tentang kontrol diri, keberanian tampil, dan kerja sama dalam tim.
Anak-anak yang tampil dalam pantomim bukan hanya artis panggung. Mereka adalah pelaku pendidikan karakter. Dengan gestur tanpa kata, mereka mengisyaratkan bahwa perasaan dan nilai bisa ditransmisikan dengan cara sederhana namun mendalam.
AI mungkin bisa menulis puisi, menciptakan lagu, bahkan menggambar wajah. Namun, memahami kesedihan di balik senyum yang tertahan, atau rasa takut yang terselip dalam langkah kecil, masih merupakan wilayah manusia. Pantomim memperlihatkan itu dengan jujur.
Festival Anak Blora adalah contoh bahwa ruang publik harus menjadi panggung bagi ekspresi anak-anak. Mereka bukan hanya penonton masa depan, tapi juga pencipta dunia hari ini. Lewat pantomim, mereka menyampaikan mimpi, kegelisahan, dan harapan mereka dalam bentuk yang murni dan tak terbantahkan.
Melibatkan anak-anak dalam kegiatan seni seperti pantomim juga membantu mereka mengembangkan kecerdasan emosional. Di tengah derasnya pembelajaran digital, kecakapan ini justru semakin langka dan mahal. Gerakan kecil bisa melatih kepekaan besar.
Pantomim adalah ruang belajar yang menyeimbangkan logika dan perasaan. Ketika dunia dikuasai perhitungan algoritma, seni ini menghidupkan kembali nilai intuisi dan spontanitas, kemampuan manusia yang tak tergantikan oleh teknologi secanggih apa pun.
Blora patut berbangga karena telah memberi panggung bagi anak-anak untuk mengeksplorasi jati diri mereka melalui pantomim. Langkah ini bukan nostalgia, melainkan strategi cerdas membangun generasi yang peka, tangguh, dan manusiawi.
Di masa depan, bisa jadi AI akan mampu membuat pertunjukan virtual pantomim. Tapi yang tak bisa dicipta adalah ketulusan. Gerak anak-anak Blora di Fablo membuktikan bahwa seni bukan tentang kesempurnaan teknis, tapi ketulusan niat.
Menjaga ruang seni bagi anak-anak di tengah era digital bukan tugas kecil. Ini adalah ikhtiar besar menanamkan nilai-nilai yang tak bisa digantikan mesin. Pantomim menjadi salah satu jembatan antara imajinasi masa lalu dan tantangan masa depan.
Kita semua, sebagai orang dewasa, punya peran penting untuk tetap menghadirkan ruang-ruang kreativitas non-digital di tengah kecanggihan zaman. Bukan untuk melawan teknologi, tetapi agar anak-anak tumbuh seimbang, pintar secara digital, dan matang secara emosional.
Pantomim di era kecerdasan artifisial bukanlah anomali. Ia adalah pengingat bahwa dalam diam, manusia tetap bisa bicara; dan dalam dunia serba cepat, kita masih bisa belajar menafsirkan makna dari gerak yang pelan. (*)