Oleh: Maulidia Tsaniyatul Latifah, Santri-Murid Kecil (Sancil) Planet Nufo Rembang
Senin, 12 Februari 1802
Namaku Kusyani Afrian. Ya… namanya memang agak aneh, tapi biarlah. Yang jelas, hari ini adalah hari yang tidak akan pernah aku lupakan. Bagaimana mungkin bisa dilupakan, jika semuanya terasa begitu sial?
Bencana melanda desaku. Ibuku meninggal, temanku kritis, aku terluka parah, dan sekarang aku terpaksa hidup di pengungsian.
Sial.
<>
Senin, 5 Februari 1802
“Teman-teman, kemarilah!” teriakku sambil melambai.
“Tunggu aku!!” sahut seorang anak bernama Kisna.
Aneh. Aku bahkan tidak pernah tahu nama panjangnya, tapi entah kenapa aku tidak pernah benar-benar peduli.
Kami berada di hutan. Orang-orang suku biasa menyebut tempat ini Jungle Fama. Aku, Tia, dan Kisna—itulah geng kecil kami. Tapi… sejak kapan ada anak bernama Kisna di desa ini? Jumlah anak di desa kami sangat sedikit, dan aku hapal betul semuanya. Jadi… siapa sebenarnya dia?
“Eh, Yani!” panggilnya.
“Kenapa?” jawabku cuek. Aku memang terkenal paling tenang di antara kami.
“Kamu kok bengong?” tanyanya sambil menggoyangkan lenganku.
“Tidak apa-apa. Bukan urusanmu,” jawabku ketus.
Dia menatapku, seolah menyimpan sesuatu. Aneh. Biasanya dia cerewet, tapi sekarang mendadak diam.
“Ayo kita pergi saja,” ajakku akhirnya.
“Baiklah,” jawabnya singkat.
Tiba-tiba terdengar suara gaduh dari arah semak. Orang-orang berlari panik.
“Hei, kita mau ke mana?” tanyaku.
“Kamu lupa, Yan?” suaranya terdengar tergesa.
“Lupa apa?”
“Ini… hari Lutrean!” jawabnya panik.
Belum sempat aku bertanya lagi, tiba-tiba tanah di bawah kami ambruk.
“Buk!”
Kami jatuh ke dalam sebuah lubang gelap yang sepertinya memang sudah dipasang sebagai jebakan.
“Kisna? Kau di mana?” tanyaku cemas.
“Apa kau masih ingat jalan pulang?” suara asing tiba-tiba terdengar.
“Jalan pulang? Maksudmu apa?” tanyaku bingung.
“Tentu aku ingat,” jawabku akhirnya, berusaha tegar.
“Bagus. Kalau begitu, tugasmu sudah selesai. Teruslah melangkah,” suara itu kembali bergema.
Aku menunduk, mengucapkan terima kasih, lalu berjalan lurus ke depan. Tapi… sesuatu berubah. Tubuhku, bahkan seluruh diriku, seakan tidak lagi sama.
Pertempuran
Ketika aku tersadar, aku sudah berada di dalam sebuah pesawat asing bertuliskan LOV-04 No.88.
“Kisna!!” teriakku marah.
Dia berdiri di hadapanku, wajahnya dingin. Dan tanpa banyak bicara, dia mengangkat senjatanya.
“Dor! Dor! Dor!”
Ledakan cahaya memekakkan telinga.
“Arrghhh!!” teriakku saat tubuhku terkena tembakan.
Lalu aku melihat… bumi di bawah sana. Kisna menekan tombol di hadapannya.
“DUARRR!!” Suara ledakan menggelegar.
Dan akhirnya, bumi selamat dari serangan alien. Tapi, untuk itu… aku harus menjadi korbannya.


















