Oleh: Ahmad Yusron Chasani, Direktur Eksekutif Pesantren Nggon Ngaji Salatiga.
Pesantren selama ini dikenal sebagai lembaga pendidikan yang sarat nilai moral, religiusitas, dan kemandirian. Dari pesantrenlah banyak lahir ulama, pemimpin masyarakat, dan cendekiawan yang berakhlak. Tradisi penghormatan kepada guru atau takdhim menjadi ciri khas yang melekat, sekaligus menjadi penanda betapa tinggi nilai adab yang dijunjung di lingkungan ini. Namun di balik citra suci itu, kini semakin banyak fakta yang menunjukkan bahwa tidak semua pesantren mampu menjaga marwah dan amanah pendidikannya. Kasus kekerasan, pelecehan, bahkan kematian di lingkungan pesantren menjadi tanda bahwa ada sesuatu yang sangat salah dan perlu dikoreksi bersama.
Dalam beberapa tahun terakhir, publik dikejutkan oleh maraknya kasus kekerasan yang melibatkan oknum di pesantren. Data dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat bahwa sepanjang tahun 2024 saja terdapat lebih dari seratus kasus kekerasan yang terjadi di berbagai pondok pesantren di Indonesia. Bentuk kekerasan itu beragam: mulai dari kekerasan fisik, psikis, pelecehan seksual, hingga perundungan yang dilakukan oleh senior terhadap junior. Kasus-kasus semacam ini tidak hanya terjadi di pesantren kecil yang belum dikenal luas, tetapi juga di lembaga besar yang memiliki ribuan santri dan reputasi baik di masyarakat. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar: mengapa lembaga yang seharusnya menjadi tempat penanaman nilai-nilai luhur justru bisa menjadi ruang terjadinya pelanggaran kemanusiaan?
Kasus akhir-akhir ini menunjukkan betapa rapuhnya sistem pengawasan di pesantren dan lemahnya mekanisme perlindungan terhadap santri. Tidak jarang, para korban justru memilih diam karena takut dianggap durhaka kepada guru atau mencemarkan nama baik pesantren. Relasi kuasa yang timpang antara santri dan pengasuh menciptakan ruang gelap yang mematikan: ketika penghormatan berubah menjadi penaklukan, dan takdhim kehilangan ruhnya sebagai bentuk kasih sayang.
Kekerasan di pesantren tidak hanya berbentuk bullying, tetapi ada juga yang berujung pada kematian. Kasus meninggalnya santri berusia 14 tahun di Kediri akibat penganiayaan menjadi salah satu contoh nyata bagaimana sistem pembinaan di sebagian pesantren masih berorientasi pada hukuman fisik yang ekstrem. Atau bahkan yang terbaru robohnya bangunan masjid pesantren di sidoarjo yang mengkibatkan ratusan santri tertimbun hidup-hidup dan 67 korban jiwa. Ironisnya, pesantren tersebut diketahui belum memiliki izin operasional resmi. Hal ini mengindikasikan bahwa masih banyak lembaga pendidikan keagamaan yang berdiri tanpa pengawasan legal yang memadai. Kementerian Agama sendiri mengakui bahwa dari ribuan pesantren di Indonesia, hanya sebagian kecil yang memiliki izin bangunan sesuai standar keselamatan. Situasi ini menimbulkan risiko besar, tidak hanya dalam aspek kekerasan, tetapi juga dalam hal keamanan fisik santri di lingkungan asrama.
Budaya senioritas dan otoritas absolut turut memperburuk keadaan. Dalam banyak kasus, kekerasan yang dilakukan terhadap santri justru diklaim sebagai bentuk pendidikan disiplin atau hukuman mendidik. Namun batas antara mendidik dan menyiksa sering kali dihapuskan oleh dalih keagamaan dan tradisi. Santri yang menjadi korban tidak memiliki ruang untuk melapor, karena dalam struktur pesantren, kata-kata guru atau pengasuh sering kali dianggap sebagai kebenaran mutlak. Penghormatan berubah menjadi kepatuhan mutlak tanpa pertanyaan maupun kritik, dan takdhim kehilangan maknanya sebagai penghargaan terhadap ilmu. Di sinilah letak persoalan utama: penghormatan yang seharusnya lahir dari cinta dan pengabdian, bergeser menjadi alat pembungkam yang menutup ruang keadilan. Persoalan yang kedua adalah mereka yang sudah menjadi alumni dari pesantren tersebut juga menerapkan hal yang sama di keluarga mereka, ini ibarat lingkaran setan. Pola berpikir sempit dan akhirnya merasa semua yang dilakukannya adalah kebenaran, uang mereka habis tapi ilmu mereka tidak bertambah. Dan mereka tidak mampu untuk menerima kritikan macam apapun, biasanya mereka menanggapi kritik dengan bahasa “tahu apa soal pesantren? “, Wallahu a’lam.
Masalah lainnya muncul dari lemahnya sistem pelaporan dan perlindungan hukum bagi santri. Tidak sedikit kasus kekerasan yang akhirnya tenggelam karena korban memilih bungkam atau bahkan dituduh mencemarkan nama baik kyai maupun lembaga. Banyak laporan kasus di pesantren justru berhenti di tengah jalan karena dianggap merusak citra dunia pendidikan Islam. Padahal, menutup-nutupi kejahatan bukanlah bentuk menjaga kehormatan lembaga, melainkan justru mengkhianati nilai-nilai keislaman itu sendiri, mereka yang mengajarkannya namun mereka sendiri yang menerjangnya. Islam tidak pernah mengajarkan untuk menutupi kebatilan demi menjaga wibawa, melainkan mendorong untuk menegakkan keadilan meskipun harus melawan arus.
Masalah-masalah ini semakin kompleks karena tidak semua pesantren siap secara moral dan administratif untuk mengelola lembaganya sesuai dengan prinsip perlindungan anak. Banyak pengasuh maupun pengajar pesantren yang tidak memiliki latar belakang pendidikan formal tentang psikologi anak, manajemen pendidikan, atau penanganan kasus-kasus khusus. Dengan dalih bahwa akhirat lebih mulia daripada dunia dan menyamakannya dengan pendidikan agama jauh lebih penting daripada pendidikan formal. Hal ini membuat mereka kadang tidak sadar bahwa tindakan yang mereka lakukan justru melanggar hak-hak santri. Dalam konteks ini, Kementerian Agama sebenarnya telah menerbitkan kebijakan mengenai pesantren ramah anak dan peta jalan pengembangan pesantren yang lebih manusiawi. Namun implementasinya masih lemah, dan sebagian besar hanya berhenti pada tataran dokumen administratif tanpa pengawasan nyata di lapangan.
Di sisi lain, penghormatan kepada guru dan kiai sebagai simbol takdhim tetap harus dijaga asal tidak berlebihan (ghuluw). Nilai ini merupakan warisan spiritual pesantren yang tak ternilai. Namun penghormatan tidak boleh menjadi alasan untuk menoleransi kekerasan atau menutup mata terhadap kezaliman. Guru tetaplah manusia yang bisa salah, dan dalam Islam pun tidak ada manusia yang kebal dari evaluasi moral. Menegur kekeliruan seorang guru bukan berarti durhaka, melainkan bentuk kasih sayang agar kebaikan tetap terjaga. Justru dengan menjaga etika dan keadilan, kita menegakkan makna sejati dari takdhim itu sendiri bahwa takdhim adalah penghormatan yang disertai tanggung jawab moral.
Kritik terhadap dunia pesantren bukanlah upaya untuk menjatuhkan, melainkan sebuah bentuk cinta agar lembaga ini kembali kepada marwah aslinya. Pesantren seharusnya menjadi tempat yang aman, di mana setiap santri dapat belajar dan tumbuh tanpa rasa takut. Untuk mencapai hal itu, perbaikan harus dilakukan secara sistemik. Pemerintah perlu memperketat pengawasan terhadap pesantren, terutama dalam hal perizinan dan standar keselamatan. Setiap pesantren harus terdaftar secara resmi dan memenuhi persyaratan minimal baik dari sisi bangunan maupun perlindungan anak. Selain itu, para pengasuh dan guru harus mendapatkan pelatihan tentang hak anak, psikologi perkembangan, serta metode pengajaran non-kekerasan. Tidak kalah penting, harus ada sistem pelaporan yang mudah diakses oleh santri tanpa ancaman atau intimidasi, dengan jaminan perlindungan identitas korban.


















