Oleh: Ellysa Rossa Maharani, Mahasiswa Prodi Pendidikan Fisika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta
Ada satu momen klasik di ruang kelas perkuliahan ketika dosen bertanya, “Apakah ada yang mau ditanyakan?”
Sekejap, seisi kelas langsung terdiam. Hanya suara AC yang terdengar samar di antara keheningan. Wajah-wajah yang tadinya mengantuk tiba-tiba menunduk, berpura-pura menulis sesuatu di kertas yang sejak tadi masih kosong. Akupun salah satu dari mereka. Bukan karena tidak ingin bertanya, melainkan karena aku sendiri tidak tahu apa yang harus ditanyakan. Materi yang baru saja dijelaskan terasa menguap begitu saja dari kepala, meninggalkan kebingungan dan tanda tanya.
Satu detik terasa sangat panjang, ketika dosen mulai menatap ke seluruh kelas, berharap ada satu tangan yang terangkat. Tapi tidak ada. Yang ada hanya saling pandang, seolah berkomunikasi lewat tatapan “Kamu saja yang bertanya”.
Tidak Paham Tapi Takut Mengaku
Terkadang bukan karena malas melainkan karena kami benar benar tidak paham dengan materi yang dijelaskan. Entah karena slidenya yang terlalu cepat, atau penjelasan dosen yang seperti orang membacakan dongeng. Namun, ketika dosen bertanya, “apakah sudah paham?” Kami serentak menjawab, “sudah pak”. Kami tidak berniat berbohong, tetapi hanya bentuk pertahanan diri.
Kami tahu, menjawab “sudah paham” bukan solusi, tapi setidaknya itu cara tercepat untuk mengakhiri momen menegangkan ini di kelas. Lagipula, ketika mengaku belum paham, malah akan berakhir ditanyai “bagian mana yang belum paham?” Pertanyaan itu mungkin terdengar sederhana, tapi di kepala kami justru menimbulkan kepanikan. Bagian mana yang tidak paham? Semuanya. Tapi tidak mungkin kami menjawab begitu. Akhirnya, kami hanya terdiam sambil tersenyum, berharap dosen segera melanjutkan materi.
Rasa Takut Dipermalukan
Budaya diam bukan hanya karena malas bicara ataupun tidak tahu apa yang akan ditanyakan, melainkan sebuah trauma yang diwariskan. Kita tumbuh di masyarakat, di mana ketika menjawab ataupun bertanya, malah dianggap sok tahu kemudian dipermalukan. Akibatnya, banyak dari kita merasa bahwa diam di kelas merupakan pilihan yang paling aman.
Bertanya di kelas bukan lagi soal materi yang diajarkan, melainkan sebuah keberanian untuk menghadapi stigma masyarakat yang sudah mengakar sejak lama. Lama kelamaan, kita terbiasa memendam kebingungan sendiri. Tidak paham materi bukan lagi menjadi masalah besar, selama tidak terlihat bodoh di depan orang lain.
Masalahnya kita tidak pernah diajarkan bagaimana cara salah dengan benar.
Sejak kecil, kita hanya diajarkan untuk mencari jawaban yang benar, bukan untuk memahami proses menemukan kebenaran itu. Ketika ujian, nilai sempurna dianggap bukti kepintaran, sementara kesalahan dianggap kegagalan. Semuanya hanya dilihat dari nilai yang didapatkan, bukan prosesnya. Itulah mengapa ketika ada dosen yang bertanya, kita hanya diam membeku, bukan karena tidak paham, melainkan karena takut salah dan ditertawakan.
Budaya ini akhirnya menjadi kebiasaan, di mana kita lebih memilih diam dibandingkan bertanya mengenai hal yang sebenarnya tidak kita pahami. Kita lebih memilih menunggu orang lain untuk maju duluan, berharap bisa belajar dari kesalahan mereka tanpa menanggung risikonya sendiri. Sampai akhirnya, kita lulus dengan gelar yang sah tapi masih membawa kebiasaan yang sama “takut terlihat bodoh”. Takut bertanya di rapat kerja, takut menyampaikan ide di forum, takut mengakui kalau kita tidak tahu.
Mungkin Sekarang Waktunya
Mungkin sudah saatnya kita belajar lagi, belajar bagaimana caranya mengakui “saya tidak paham” tanpa merasa bodoh dan malu, serta bagaimana bertanya tanpa takut dihakimi. Karena sejatinya, yang membuat seseorang berkembang bukanlah kesempurnaan, tapi keberanian untuk keliru dan memperbaikinya.
Ruang kelas seharusnya bukan tempat untuk menghakimi mereka yang berani mengungkapkan ketidaktahuannya, melainkan sebuah ruang di mana ketidaktahuan dan ketidakpahaman dihargai. Ruang kelas seharusnya menjadi tempat untuk mengungkapkan ketidaktahuan kita, tempat di mana ada jawaban untuk kebingungan yang kita alami.
Maka mungkin, sekaranglah saatnya kita mengubahnya. Bukan dengan tiba-tiba berani bicara di depan kelas, tapi dengan berani mengakui pada diri sendiri “tidak apa-apa salah”. Karena kalau terus menunggu sempurna baru mau bicara, kita tidak akan pernah benar-benar belajar.


















