Oleh: Hadyan Mumtaz, Mahasiswa UIN Salatiga
Tragedi meninggalnya Argo Ericko Achfandi (19), mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), di Jalan Palagan Tentara Pelajar, Sleman, menjadi peristiwa yang menyayat hati sekaligus menggugah keprihatinan publik. Lebih tragis lagi, pelaku penabrakan, Christiano Pengarapenta Pengidahen Tarigan (21), yang juga mahasiswa UGM dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB), telah ditetapkan sebagai tersangka dan kini ditahan di Mapolresta Sleman.
Dalam kasus ini, Christiano dijerat dengan Pasal 310 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal tersebut mengatur bahwa setiap orang yang karena kelalaiannya menyebabkan orang lain meninggal dunia dapat dipidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda maksimal Rp12 juta. Penerapan pasal ini menjadi bukti bahwa negara memiliki landasan hukum yang jelas dalam menindak perbuatan lalai yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang di jalan raya.
Meski demikian, publik memiliki harapan besar agar proses hukum berjalan transparan, adil, dan tidak tebang pilih. Kasus ini menjadi ujian bagi aparat penegak hukum agar tidak memandang status sosial, ekonomi, maupun latar belakang pelaku. Hukum harus ditegakkan secara objektif, sesuai asas keadilan yang sesungguhnya—tajam ke atas maupun ke bawah.
Kepergian Argo adalah kehilangan besar, bukan hanya bagi keluarganya, tetapi juga bagi dunia pendidikan hukum di Indonesia. Sebagai mahasiswa Fakultas Hukum, Argo merepresentasikan generasi muda yang diharapkan kelak menjadi penegak hukum berintegritas. Keadilan untuk Argo bukan hanya soal penghukuman, tetapi juga refleksi atas tanggung jawab moral sistem hukum terhadap warganya.
Masyarakat mendesak agar penegak hukum tidak berhenti pada penetapan tersangka. Proses peradilan harus dilakukan secara menyeluruh dan terbuka, termasuk mengungkap seluruh fakta penting seperti kronologi kecelakaan, kondisi pelaku saat mengemudi, serta kecepatan kendaraan. Jika terbukti ada unsur kelalaian berat—misalnya pengaruh alkohol, kecepatan berlebih, atau penggunaan ponsel—maka hal tersebut harus menjadi pertimbangan yang memberatkan dalam putusan pengadilan.
Keadilan dalam kasus ini memang tidak akan mengembalikan nyawa Argo. Namun, ketegasan hukum yang dijatuhkan kepada pelaku akan menjadi bentuk penghormatan terhadap nilai kemanusiaan dan peringatan keras bagi pengendara lain agar lebih bertanggung jawab di jalan. Sudah saatnya hukum di Indonesia benar-benar ditegakkan tanpa pandang bulu, demi menjaga rasa keadilan masyarakat dan mencegah tragedi serupa terulang kembali.


















