Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
Mimbar Mahasiswa

Dari Perkaderan ke Pengkhianatan: Kisah Sedih Rumah yang Dibangun Sendiri

×

Dari Perkaderan ke Pengkhianatan: Kisah Sedih Rumah yang Dibangun Sendiri

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Oleh: Dewi Khofifah, Ketua Umum HMI Komisariat Iqbal Walisongo 2023-2024

Dulu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah rumah yang hangat bagi setiap jiwa muda pencari makna. Di dalamnya, kita belajar tentang keikhlasan, tanggung jawab, dan kesetiaan pada nilai. Kita diajari berpikir dengan akal, merasa dengan hati, dan bergerak dengan kesadaran. HMI bukan sekadar organisasi, tapi sekolah kehidupan. Ia melatih kita untuk mengenal Tuhan, menafsirkan realitas, dan mengabdi pada masyarakat dengan idealisme yang nyaris utopis.

Example 300x600

Namun, kini rumah itu mulai retak. Dindingnya masih berdiri, tapi jiwanya rapuh. Di antara slogan perjuangan dan yel-yel yang berapi-api, terselip kepalsuan yang tumbuh diam-diam. Perkaderan yang dulu menjadi jantung himpunan kini seperti nadi yang berdenyut tanpa arah. Kita masih menyebutnya “proses”, tapi sejatinya yang berlangsung hanyalah pengulangan formalitas: pelatihan, sertifikat, laporan, dan foto bersama. Di balik senyum kebersamaan, kita menyembunyikan luka-luka karena kehilangan arah, kehilangan ruh, dan kehilangan kejujuran.

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) memiliki tujuan mulia dan sekaligus sangat berat, yaitu: terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi, yang bernafaskan Islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridlai Allah Swt. Di dalam tujuan HMI ini, terdapat aspek ideologis dan juga praktis. Keduanya ibarat dua sisi dari sekeping mata uang yang harus ada secara bersamaan.

Aspek ideologisnya adalah nafas Islam, yang meniscayakan nilai-nilai yang bersumber dari al-Qur’an dan hadits. Sebab, hanya dengan nilai-nilai itulah, ridla Allah Swt. akan bisa didapatkan. Sedangkan aspek teknisnya adalah mencipta, mengabdi, dan mewujudkan masyarakat adil makmur. Aspek yang kedua ini meniscayakan sesuatu yang bersifat material. Walaupun sesungguhnya di dalam ajaran Islam sendiri, terdapat anjuran untuk juga melakukan hal-hal yang praktis yang disebut dengan amal saleh. Nampaknya, nafas Islam yang dimaksud dalam tujuan HMI tersebut adalah spirit imannya. Dan konsepsi iman Islam memang berbeda dengan kepercayaan-kepercayaan yang lain.

Perkaderan seharusnya menjadi proses yang membentuk karakter, bukan agenda administratif yang berorientasi pada output angka. Dulu, setiap pelatihan adalah ruang kontemplasi; para instruktur dan kader sama-sama berproses, berdialog dengan diri sendiri dan dengan nilai-nilai Islam. Kini, perkaderan lebih mirip pabrik yang mengejar target produksi: berapa banyak peserta, berapa banyak sertifikat, berapa banyak dana keluar.
Kita menilai keberhasilan bukan lagi dari perubahan sikap dan cara berpikir, tapi dari banyaknya kegiatan yang bisa dilaporkan. Perkaderan berubah menjadi proyek, lengkap dengan proposal, anggaran, dan tanda tangan persetujuan. Idealnya, kaderisasi melahirkan kesadaran, tapi yang lahir justru kelicikan dan kepura-puraan.

Tak jarang, kegiatan kaderisasi disusun bukan karena kebutuhan nilai, melainkan demi eksistensi dan legitimasi. Semakin sering menggelar pelatihan, semakin dianggap “aktif”. Padahal di balik itu, banyak yang kehilangan makna. Diskusi dijalankan seadanya, penghayatan nilai nyaris tak tersentuh, dan kader baru diperlakukan sekadar angka di daftar peserta.

Lebih menyedihkan lagi, banyak pelatihan kini dijalankan bukan dengan semangat pengabdian, melainkan demi keuntungan pribadi. Uang menjadi pengikat baru dalam hubungan antar kader, bukan lagi idealisme, tapi kepentingan. Kita tidak lagi bicara tentang transformasi nilai, tapi tentang alokasi dana. Perkaderan menjadi panggung, di mana kita tampil sebagai kader ideal di depan peserta, lalu bernegosiasi di belakang layar.

Dalam situasi seperti ini, pengkhianatan bukan lagi tindakan, melainkan kebiasaan. Ia hadir dalam bentuk yang halus, sistemik, dan kadang tampak wajar. Pengkhianatan terhadap nilai, terhadap cita-cita himpunan dilegalkan dalam bahasa “dinamika organisasi”. Kita berkhianat ketika menutup mata terhadap penyimpangan, dengan alasan menjaga nama baik. Kita berkhianat ketika membiarkan kader baru mewarisi budaya kompromi, hanya karena takut kehilangan posisi. Kita berkhianat ketika uang dan kekuasaan mulai menjadi parameter kesetiaan.

Ironinya, semua itu dilakukan atas nama HMI. Melabeli kebohongan sebagai strategi, dan menyebut manipulasi sebagai bagian dari pembelajaran politik. Padahal sesungguhnya, di situlah awal kehancuran moral kader dimulai, ketika nilai dijadikan alat pembenaran untuk dosa-dosa kecil yang terus kita biarkan.

Rumah yang kita bangun dengan idealisme kini retak karena tangan kita sendiri. Kita mengundang tamu bernama uang dan kekuasaan masuk tanpa mengetuk, dan membiarkan mereka duduk di ruang tamu nilai. Dan pelan-pelan, mereka mengusir keikhlasan dari rumah itu tanpa kita sadari, karena kita sibuk berpura-pura segalanya baik-baik saja.

Namun, di tengah semua kepalsuan itu, masih ada segelintir kader yang menolak menyerah. Mereka yang masih percaya bahwa perkaderan bukan soal sertifikat, tapi soal nurani. Mereka yang tetap setia membaca tujuan HMI bukan sebagai hafalan, tapi sebagai pengingat arah. Mereka mungkin minoritas, tapi dari merekalah sisa-sisa harapan itu hidup.

Kader semacam ini jarang bicara lantang, tapi mereka hadir dalam tindakan kecil: menolak manipulasi laporan, jujur dalam penugasan, menghidupkan diskusi tanpa pamrih, dan tetap menulis meski tak dibaca banyak orang. Mereka mungkin tidak populer, tapi merekalah yang menjaga agar rumah ini tidak benar-benar runtuh.

Karena sesungguhnya, perjuangan dalam HMI bukan tentang siapa yang paling berkuasa, melainkan siapa yang paling konsisten menjaga nilai. Bukan tentang siapa yang paling sering tampil, melainkan siapa yang paling berani berkata benar ketika semua orang diam.

Kini, yang paling kita butuhkan bukan lagi seminar tentang “kaderisasi ideal”, melainkan keberanian untuk jujur. Jujur mengakui bahwa perkaderan kita telah kehilangan arah. Jujur mengakui bahwa pengkhianatan sudah menjadi budaya. Dan jujur mengakui bahwa kita sendirilah yang bertanggung jawab atas kerusakan ini.

Kita harus berani menata ulang cara berproses. Kembali ke niat awal, ke nilai yang dulu membuat HMI istimewa: integritas, keikhlasan, dan keilmuan. Kaderisasi seharusnya menumbuhkan manusia berjiwa bebas dan bertanggung jawab, bukan robot organisatoris yang pandai bicara tapi miskin makna.

Kader HMI bisa disebut sebagai seorang yang muslim apabila benar-benar turut kepada segala ketetapan yang ada di dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad saw.. Sebab, kata islâm berarti memasrahkan atau tunduk dan patuh. Dengan kata lain, seorang muslim adalah seorang yang seluruh gerak langkahnya berdasarkan ketetapan yang ada di dalam al-Qur’an dan berada dalam koridor sunnah Nabi Muhammad saw. Jika sudah ditetapkan oleh al-Qur’an dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw., maka tidak ada lagi pilihan lain:


وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (al-Ahzab: 36)

Seorang muslim bisa disebut memiliki kualitas intelektual apabila mampu memahami petunjuk yang ada di dalam al-Qur’an dan sunnah secara saintifik yang dengan itu bisa mendakwahkannya kepada orang lain. Sedangkan seorang muslim intelektual dipandang juga sekaligus profesional apabila ia memiliki keterampilan hidup. Ini sesungguhnya merupakan transformasi dari kualitas muslim intelektual yang membuatnya mampu hidup dengan benar dan memberikan kontribusi terbaik untuk pembangunan peradaban umat manusia, sehingga memiliki kemampuan kompetitif untuk menunjukkan bahwa umat Islam adalah umat terbaik.


كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ ۗ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ ۚ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (Ali Imran: 110).

Seluruh kualitas di atas itu, sesungguhnya adalah kualitas-kualitas yang terdapat dalam diri Rasulullah saw. yang membuat beliau disebut sebagai manusia sempurna (insân kâmil). Dari sinilah, HMI membangun dan memiliki istilah yang bermakna sama, yakni insan cita. Ia adalah manusia ideal karena mampu memberikan manfaat terbesar dalam dan untuk masyarakat.

Mengurus kaderisasi benar-benar merupakan jalan dinamis dan penuh tantangan untuk membuktikan diri sebagai kader sejati dengan modal bersyukur dan ikhlas sebagaimana terdapat pada bait awal hymne HMI. Jika bersyukur, maka nikmat akan ditambah. Jika semuanya dilakukan dengan ikhlas, hanya karena Allah, lillaahi ta’aalaa, maka amal akan diterima olehNya, dan pahalanya akan dilipatgandakan.

Rumah ini belum sepenuhnya roboh. Masih ada dinding yang tegak. dinding yang dibangun oleh idealisme, oleh semangat belajar, oleh kesadaran untuk berbuat baik. Kita hanya perlu pulang. Pulang ke semangat pendiri, pulang ke nilai, pulang ke hati. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *