Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
HukumKolom

Menempatkan Ulang Pernyataan Menteri Hukum dalam Kerangka Konstitusional

×

Menempatkan Ulang Pernyataan Menteri Hukum dalam Kerangka Konstitusional

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Oleh: Anugrah Alqadri, Direktur Sanlex Forum

Pernyataan seorang pejabat publik selalu membawa dua wajah: wajah personal sebagai individu yang bebas berpendapat, dan wajah institusional sebagai pemegang mandat konstitusional. Jika sebuah pernyataan disampaikan semata-mata sebagai pandangan pribadi, tentu tidak menjadi soal. Namun persoalan muncul ketika pandangan itu keluar dari mulut seorang menteri—posisi yang mengikatnya pada batas-batas kewenangan, prinsip-prinsip ketatanegaraan, dan terutama pada konstitusi.

Example 300x600

Dalam konteks inilah penting untuk mengkritisi pernyataan Menkumham yang menekankan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) “tidak berlaku surut.” Secara teoritis, aspek non-retroaktif memang benar, tetapi ketika disampaikan oleh seorang pejabat eksekutif, narasi seperti itu berpotensi mengingkari ketentuan Pasal 24C UUD 1945 yang menegaskan bahwa MK adalah satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan untuk memberikan makna konstitusional atas suatu norma hukum. Menkumham, sebagai bagian dari eksekutif, tidak dapat mengurangi, memodifikasi, apalagi membangun tafsir administratif terhadap putusan MK. Interpretasi atas putusan tersebut adalah domain eksklusif Mahkamah.

Pernyataan tersebut bahkan berpotensi menabrak sifat final and binding putusan MK. Ketika seorang menteri mengedepankan narasi “tidak berlaku surut” tanpa menjelaskan konsekuensi ke depan, maka yang lahir adalah kesan bahwa putusan MK tidak membawa perubahan apa pun. Ini tidak hanya misleading, tetapi juga melemahkan kewajiban negara untuk mematuhi putusan Mahkamah secara utuh. Norma yang telah dibatalkan MK tidak lagi boleh dipakai, dan ini berlaku langsung sejak tanggal putusan, bukan menunggu penyesuaian dari eksekutif.

Dalam konteks kepastian hukum, penekanan berlebihan pada narasi non-retroaktif justru dapat mengaburkan apa yang seharusnya diperjelas. Kepastian hukum setelah putusan MK menuntut bahwa publik memahami dua hal: tindakan masa lalu tidak otomatis dibatalkan, tetapi semua tindakan ke depan harus tunduk pada putusan. Jika hal ini tidak ditegaskan, publik dapat menilai bahwa pemerintah sedang mengamankan status quo, mempertahankan praktik lama yang sudah dikoreksi MK, atau membatasi efek korektif dari judicial review.

Tiga hal ini bukan sekadar kemungkinan, tetapi risiko yang sangat terasa dari pernyataan tersebut. Di mata publik, narasi seperti itu dapat dibaca sebagai bentuk resistensi halus terhadap koreksi MK—sikap yang bertentangan dengan prinsip checks & balances antara eksekutif dan lembaga yudisial. Eksekutif seharusnya menghindari memberi kesan bahwa putusan MK tidak membawa dampak langsung terhadap kebijakan pemerintah.

Bahasa “tidak berlaku surut” memang secara normatif tidak salah. Namun non-retroaktif tidak berarti putusan MK tidak mengikat ke depan secara langsung. Jika seorang menteri hanya menegaskan bahwa tindakan masa lalu tetap sah tanpa menekankan bahwa norma yang dibatalkan tidak boleh lagi digunakan dalam kebijakan yang akan datang, maka pernyataan itu menjadi sepotong. Ia menyampaikan apa yang nyaman untuk disampaikan, tetapi mengabaikan bagian yang paling penting: kewajiban negara untuk segera menyesuaikan praktik administrasi dan pemerintahan sesuai konstitusi.

Dari sudut pandang etika pemerintahan, pernyataan tersebut bahkan tampak defensif. Ada tiga implikasi yang dapat terbaca: kurang sensitif terhadap koreksi konstitusional, cenderung menunda adaptasi kebijakan, dan berpotensi mempertahankan praktik yang oleh MK telah dinilai bermasalah. Ketiganya adalah sinyal bahwa komitmen pemerintah terhadap penghormatan putusan MK dan reformasi kelembagaan masih belum tampak penuh.

Pada akhirnya, opini ini bukan tentang siapa yang berbicara, tetapi tentang bagaimana seorang pejabat harus berbicara dalam koridor konstitusi. Ketika seorang menteri menyampaikan pernyataan yang dapat mengaburkan dampak putusan MK, publik berhak mengkritisinya. Sebab dalam negara hukum, bukan pejabat yang mengatur batas putusan MK, melainkan konstitusi. Dan konstitusi melalui MK telah memberikan garisnya secara tegas.

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *