Oleh: M. Dzakwan Makarim, Bendahara Umum HMI Komisariat Ki Hajar Dewantara Pekalongan
Pada suatu siang di sebuah kampus negeri, suasana perpustakaan tampak lengang. Deretan kursi kosong berjajar rapi, ditemani aroma kertas yang jarang disentuh. Di sudut ruangan, seorang mahasiswa sibuk menatap layar handphone—bukan membaca jurnal, melainkan men-scroll video pendek yang terus berganti. Fenomena ini bukan hal baru. Di banyak kampus, dari kota besar hingga daerah, literasi perlahan tersisih oleh layar kecil yang menawarkan kemudahan sekaligus jebakan.
Intelektual Muslim terkemuka, Nurcholish Madjid—Cak Nur—pernah mengatakan, “Modernitas bukanlah teknologi, tetapi cara berpikir yang rasional dan terbuka.” Kalimat ini seakan menjadi peringatan bagi generasi digital, ketika perangkat modern justru kerap menjauhkan manusia dari proses berpikir yang mendalam. Ruang yang dulu menjadi pusat tumbuhnya nalar kritis—kampus—kini berhadapan dengan gelombang budaya instan yang lahir dari handphone.
Pergeseran dari Lembar Buku ke Layar Smartphone
Jika dulu mahasiswa memenuhi perpustakaan untuk membaca buku referensi, meminjam jurnal cetak, atau berdiskusi, kini kebiasaan itu semakin jarang. Banyak mahasiswa merasa lebih praktis mencari jawaban instan melalui mesin pencari atau ringkasan yang bertebaran di media sosial. Kecepatan menjadi nilai utama menggantikan kedalaman. Namun, ada harga yang harus dibayar: kemampuan berpikir kritis dan pemahaman akademik menjadi semakin dangkal.
Seorang dosen di sebuah kampus swasta Yogyakarta mengungkapkan kegelisahannya. “Dulu, mahasiswa datang dengan pertanyaan. Sekarang mereka datang hanya dengan screenshot,” ujarnya. Ia menambahkan, “Yang paling mengkhawatirkan adalah ketika mahasiswa tidak tahu membedakan sumber ilmiah dan konten viral.”
Fenomena ini sejalan dengan temuan para peneliti pendidikan yang menunjukkan menurunnya minat baca panjang dan kemampuan analisis di kalangan mahasiswa. Studi-studi akademik yang seharusnya dibaca dan dipahami justru digantikan oleh ringkasan cepat tanpa proses intelektual yang memadai.
Media Membentuk Cara Berpikir
Cak Nur menegaskan bahwa peradaban tidak dibangun oleh kecanggihan alat, melainkan oleh kualitas manusianya. Pemikiran ini sejalan dengan teori Marshall McLuhan tentang media sebagai perpanjangan manusia—bahwa setiap medium memengaruhi pola pikir penggunanya. Ketika handphone menjadi medium utama mahasiswa, cara berpikir pun ikut berubah: serba cepat, instan, dan sering tanpa verifikasi.
Di kampus, perubahan ini sangat terasa. Mahasiswa yang terbiasa mengandalkan handphone menjadi kesulitan mengikuti aktivitas akademik yang menuntut ketekunan, seperti membaca buku tebal, menulis paper panjang, atau berdiskusi ilmiah. Banyak dosen melaporkan bahwa mahasiswa kini jarang mengajukan pertanyaan berbobot. Interaksi akademik berubah menjadi monolog: dosen menjelaskan, mahasiswa mencatat seadanya—atau sibuk membuka notifikasi.
Observasi Lapangan: Ruang Diskusi yang Sepi
Di berbagai kampus, ruang-ruang diskusi kini lebih sering digunakan untuk mengisi daya handphone daripada bertukar gagasan. Mahasiswa duduk berkelompok, namun sebagian besar tenggelam dalam layar masing-masing. Beberapa memang membuka PDF jurnal, tetapi tak jarang berakhir berpindah ke aplikasi media sosial sebelum halaman kedua terbaca.
Dalam pengamatan di salah satu fakultas sosial-humaniora, tampak ironi mencolok. Para mahasiswa berkumpul untuk mengerjakan tugas kelompok, tetapi handphone justru mendominasi percakapan. “Cari saja versi ringkasnya di TikTok,” ujar seorang mahasiswa. Yang lain menimpali, “Banyak kok yang ngeringkas teori di sana. Lebih cepat daripada baca buku.”
Bagi sebagian mahasiswa, belajar berubah dari proses intelektual menjadi aktivitas teknis: mengetik kata kunci, memilih video, lalu menonton. Waktu yang seharusnya digunakan untuk menganalisis kini habis untuk scrolling.
Dampak Jangka Panjang: Literasi yang Terfragmentasi
Menurunnya kemampuan membaca panjang berdampak pada banyak hal, termasuk kemampuan menulis. Banyak dosen mengeluhkan esai mahasiswa yang dangkal, cenderung plagiasi, dan minim struktur argumentasi. Mereka terbiasa mengambil informasi cepat tanpa memahami konteksnya.
Jika tren ini terus berlanjut, kampus berpotensi kehilangan identitasnya sebagai ruang peradaban intelektual. Penelitian menjadi dangkal, diskusi akademik sekadar formalitas, dan mahasiswa hanya menjadi konsumen informasi, bukan pengolah gagasan.
Cak Nur pernah mengatakan, “Kemunduran bangsa dimulai ketika aktivitas berpikir tidak lagi dianggap penting.” Pernyataan ini sangat relevan dengan kondisi kampus hari ini, ketika teknologi mendominasi ruang yang seharusnya menjadi tempat menajamkan pikiran.
Handphone: Alat atau Ancaman?
Dalam jurnalisme feature, persoalan tidak semestinya dilihat hitam putih. Handphone tentu tidak sepenuhnya buruk. Ia memungkinkan mahasiswa membaca e-book, mengakses jurnal internasional, dan mengikuti kuliah online. Namun persoalan muncul ketika handphone menggantikan proses intelektual, bukan mendukungnya.
Di sisi lain, beberapa kampus mulai melakukan inovasi. Perpustakaan digital memperkuat akses jurnal dan e-book berkualitas. Ada pula dosen yang mendorong mahasiswa membuat resensi buku fisik, mengikuti diskusi klasikal, hingga debat terbuka. Namun upaya tersebut kerap kalah oleh budaya instan yang ditanamkan media sosial.
Membangun Kembali Tradisi Intelektual
Perubahan kebiasaan tentu tidak terjadi dalam semalam, tetapi harus dimulai dari kesadaran akan pentingnya literasi. Kampus perlu menciptakan ruang-ruang yang mendorong mahasiswa kembali pada kedalaman berpikir: klub baca, forum diskusi tematik, kelas mini research, hingga tantangan literasi yang mewajibkan mahasiswa membaca buku tertentu setiap semester.
Orang bijak mengatakan bahwa membaca adalah jembatan ke masa depan. Cak Nur menegaskannya: “Ilmu pengetahuan tumbuh bukan dari hafalan, melainkan dari keberanian bertanya dan kejujuran berpikir.”
Jika pesan ini kembali dijadikan landasan, kampus dapat menemukan kembali ruh intelektualitasnya.
Penutup: Generasi yang Harus Memilih
Pada akhirnya, handphone bukan penyebab kemunduran literasi, tetapi cermin dari perubahan budaya. Generasi muda kini berada di persimpangan: memilih jalan cepat yang dangkal, atau jalan panjang yang penuh makna. Kampus, sebagai rumah bagi akal dan nalar, seharusnya menjadi tempat mahasiswa belajar membuat pilihan yang tepat.
Dan seperti pesan Cak Nur, modernitas bukan berarti tunduk pada teknologi, tetapi memanfaatkannya untuk memperluas cakrawala berpikir. Jika kampus mampu mengembalikan makna ini, literasi tidak akan hilang—melainkan berubah bentuk dan tumbuh bersama zaman.


















