Oleh: Risfa Nur’Aini, Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, Pengurus UKM LDK Universitas Islam Negeri Salatiga, Email: [email protected]
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan instrumen strategis negara dalam membina karakter serta kesadaran kewarganegaraan generasi muda. Di tengah dinamika sosial dan tantangan globalisasi, muncul pertanyaan mendasar: apakah PKn seharusnya lebih difokuskan pada upaya menumbuhkan kesadaran kritis yang baru, ataukah cukup menjadi sarana pengukuhan nilai-nilai yang telah diwariskan oleh bangsa?
Pertanyaan ini penting sebagai pengingat bahwa perubahan sosial berkembang sangat pesat, sementara warga negara tidak lagi dituntut hanya patuh, tetapi juga partisipatif dan reflektif. Melalui tulisan ini, penulis berupaya membahas secara kritis fungsi ganda Pendidikan Kewarganegaraan dalam sistem pendidikan di Indonesia.
Landasan Filosofis dan Historis
Pendidikan Kewarganegaraan berakar dari cita-cita kemerdekaan Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum. Filsafat Pancasila menjadi landasan utama dalam pembentukan karakter warga negara Indonesia.
Sejarah menunjukkan bahwa sejak masa Orde Baru hingga era Reformasi, kurikulum PKn mengalami pergeseran fungsi, dari instrumen ideologis menjadi ruang dialog yang lebih kritis. Di sinilah terjadi tarik-menarik antara fungsi PKn sebagai sarana menumbuhkan kesadaran baru dan sebagai alat pengukuhan nilai-nilai yang telah mapan.
Menumbuhkan Kesadaran Kritis
Menumbuhkan kesadaran berarti memfasilitasi peserta didik agar mampu berpikir kritis, memahami hak dan kewajiban secara reflektif, serta peka terhadap isu-isu kontemporer. Hal ini penting dalam membangun masyarakat demokratis yang sehat.
Dalam pendekatan ini, peran guru tidak lagi sekadar sebagai penyampai doktrin, melainkan sebagai fasilitator. Kurikulum PKn idealnya dirancang untuk mendorong diskusi, analisis, serta partisipasi aktif siswa melalui simulasi kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Mengukuhkan Identitas dan Nilai Kebangsaan
Di sisi lain, pengukuhan kesadaran bertujuan memperkuat nilai-nilai nasional yang telah menjadi konsensus bersama, seperti Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam konteks ini, PKn memiliki peran penting dalam menjaga identitas nasional di tengah arus globalisasi dan potensi radikalisasi.
Pengukuhan nilai tidak berarti menanamkan dogmatisme, melainkan melakukan internalisasi nilai secara kontekstual dan relevan dengan kondisi kekinian. Hal ini penting untuk menjaga kohesi sosial dan integrasi nasional. Namun, tantangan Pendidikan Kewarganegaraan saat ini semakin kompleks seiring perubahan zaman, kemajuan teknologi, serta dinamika sosial-politik.
Arus globalisasi dan budaya asing kerap lebih menarik perhatian generasi muda dibandingkan nilai-nilai lokal dan nasional. Kondisi ini dapat berdampak pada proses pembelajaran PKn yang kurang mengedepankan keteladanan. Selain itu, metode pembelajaran PKn masih sering bersifat teoritis, berbasis hafalan, dan kurang membumi dengan realitas kehidupan siswa.
Oleh karena itu, diperlukan penguatan literasi digital dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan guna mendorong diskusi kritis, simulasi demokrasi, serta penerapan pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning). Realitas ketidakadilan sosial dan politik yang terjadi di masyarakat juga berpotensi melemahkan partisipasi warga negara, khususnya generasi muda.
Penutup
Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia tidak dapat memilih satu jalur antara menumbuhkan atau mengukuhkan kesadaran, karena keduanya harus berjalan secara simultan. PKn yang ideal adalah pendidikan yang mampu membangkitkan kesadaran kritis sekaligus mengakar kuat pada nilai-nilai kebangsaan. Dengan demikian, warga negara Indonesia tidak hanya sekadar mengetahui, tetapi juga memiliki kepedulian dan bertindak demi kebaikan bersama.
Upaya yang Dapat Dilakukan
Beberapa upaya yang dapat dilakukan antara lain mengintegrasikan nilai-nilai Pancasila secara praktis dalam kehidupan sehari-hari siswa, meningkatkan kapasitas pengajar PKn melalui metode pembelajaran yang partisipatif dan kontekstual, serta memanfaatkan teknologi secara bijak untuk membangun pembelajaran kritis dan literasi digital. Selain itu, pemberdayaan siswa dapat dilakukan melalui kegiatan sekolah seperti OSIS, debat, simulasi sidang parlemen, dan kegiatan sejenis lainnya.


















