Oleh: Nurin Nafiatis Sa’adah, Mahasiswi Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah Universitas Islam Negeri (UIN) Salatiga
Indonesia secara konstitusional ditegaskan sebagai negara hukum. Hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Pernyataan tersebut menegaskan bahwa supremasi hukum menjadi landasan utama dalam menegakkan kebenaran dan keadilan.
Secara umum, negara hukum didasarkan pada tiga prinsip utama, yaitu supremasi hukum sebagai dasar tertinggi, persamaan kedudukan setiap warga negara di hadapan hukum, serta penegakan hukum yang dilakukan secara sah dan sesuai dengan peraturan yang berlaku (Candra & Sinaga, 2021).
Sebagai negara hukum, Indonesia menjunjung tinggi asas keadilan dan kesetaraan di depan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan tersebut tanpa pengecualian. Namun demikian, realitas di lapangan menunjukkan bahwa ketimpangan dalam sistem hukum masih menjadi persoalan serius. Banyak kasus hukum memperlihatkan perlakuan yang berbeda terhadap individu berdasarkan latar belakang sosial, ekonomi, maupun kekuasaan yang dimiliki.
Hukum sejatinya berfungsi sebagai instrumen untuk menciptakan keadilan dan menjaga ketertiban sosial. Akan tetapi, dalam praktiknya muncul anggapan bahwa hukum di Indonesia bersifat “tajam ke bawah, tumpul ke atas.” Stigma ini berkembang karena adanya kesan bahwa hukum lebih berpihak pada kelompok yang memiliki kekuasaan, sementara masyarakat kecil kerap merasa diperlakukan tidak adil dalam proses hukum. Pandangan tersebut semakin menguat akibat berbagai kasus yang mencerminkan ketidakadilan dalam penegakan hukum maupun implementasi kebijakan hukum di lapangan (Anwariyatusshofa et al., 2025).
Ketimpangan Hukum di Indonesia: Antara Idealisme Konstitusi dan Realita Sosial
Secara normatif, Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Ketentuan ini menunjukkan bahwa setiap warga negara, tanpa memandang status sosial, ekonomi, atau politik, seharusnya memperoleh perlakuan yang setara di hadapan hukum. Namun, kenyataan sering kali menunjukkan sebaliknya. Ketimpangan dalam penegakan hukum masih menjadi fenomena yang meresahkan dan berpotensi mengikis kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.
Salah satu kasus yang mencerminkan ketidaksetaraan hukum adalah kematian tragis Argo, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM). Kasus ini menarik perhatian publik karena adanya dugaan kekerasan dalam rangkaian peristiwa tersebut. Yang lebih memprihatinkan adalah lambannya proses hukum serta minimnya transparansi dalam penanganan kasus, meskipun tekanan dari masyarakat dan media terus meningkat.
Banyak pihak menduga bahwa ketidakadilan dalam penanganan kasus ini berkaitan dengan latar belakang sosial-ekonomi pelaku. Salah satu terduga pelaku diketahui merupakan anak dari seorang direktur di PT FIFGROUP. Status tersebut diyakini turut memengaruhi respons aparat penegak hukum. Sementara keluarga korban dan rekan-rekannya terus memperjuangkan keadilan, pihak pelaku terkesan memperoleh “perlindungan tak kasat mata” dari sistem hukum. Hal ini terlihat dari tidak adanya penahanan, minimnya ekspos media, serta proses penyelidikan yang berjalan lambat tanpa perkembangan signifikan.
Kasus Argo menjadi cerminan bahwa penegakan hukum di Indonesia masih menunjukkan ketimpangan. Ketika korban berasal dari kalangan biasa tanpa pengaruh atau kekuasaan, proses hukum cenderung berjalan lamban dan tidak maksimal. Sebaliknya, apabila pihak yang terlibat memiliki posisi strategis atau kekuatan tertentu, hukum berpotensi menjadi bias atau bahkan terhenti. Kondisi ini semakin memperkuat stigma bahwa hukum di Indonesia “tumpul ke atas dan tajam ke bawah.”
Padahal, hukum seharusnya berfungsi sebagai instrumen keadilan yang netral dan objektif. Praktik penegakan hukum yang diskriminatif tidak hanya mencederai rasa keadilan, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga negara. Oleh karena itu, kasus seperti Argo seharusnya menjadi momentum evaluasi menyeluruh terhadap sistem penegakan hukum di Indonesia, termasuk peran lembaga pendidikan, aparat penegak hukum, dan pemerintah dalam menyikapi tragedi yang melibatkan generasi muda bangsa.
Penerapan Penegakan Hukum di Indonesia
Permasalahan penegakan hukum di Indonesia merupakan persoalan serius yang berpotensi terus berkembang apabila unsur-unsur dalam sistem hukum tidak mengalami perubahan atau reformasi. Salah satu faktor utama yang menghambat optimalisasi penegakan hukum adalah masih rendahnya kesadaran sebagian masyarakat dalam menjunjung nilai kejujuran, tanggung jawab, dan integritas.
Perlu ditegaskan bahwa tidak seluruh praktik penegakan hukum di Indonesia berjalan buruk. Namun, berbagai kasus penyimpangan hukum yang mencuat ke ruang publik sering kali menutupi upaya penegakan hukum yang sebenarnya telah berjalan dengan baik. Banyaknya kasus hukum yang muncul secara berdekatan bahkan bersamaan menunjukkan bahwa persoalan ini tidak dapat dianggap sepele.
Oleh karena itu, reformasi hukum yang menyeluruh dan menyentuh akar permasalahan menjadi kebutuhan mendesak. Hukum merupakan pilar utama dalam menjamin rasa aman, keadilan, dan ketertiban masyarakat. Secara normatif, hukum di Indonesia telah disusun sesuai dengan nilai-nilai kehidupan masyarakat. Namun, dalam praktiknya sering terjadi penyimpangan akibat ulah oknum yang mengejar kepentingan pribadi atau kelompok.
Diperlukan evaluasi berkelanjutan serta tindak lanjut yang tegas terhadap setiap bentuk penyalahgunaan hukum. Ketegasan dalam penegakan hukum harus dikedepankan, disertai penanaman nilai integritas secara hierarkis, baik pada individu maupun institusi dalam sistem hukum. Selain itu, pembentukan mental yang kuat, rasa malu untuk melanggar hukum, serta pondasi iman dan takwa perlu ditanamkan sejak dini, khususnya kepada calon pemimpin, aparatur negara, dan pihak-pihak yang memiliki peran strategis dalam penegakan hukum.
Hanya dengan langkah-langkah tersebut, kepercayaan masyarakat terhadap hukum dapat dipulihkan, dan keadilan benar-benar dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia (Candra & Sinaga, 2021).


















