Oleh: Nafi’atul Fitri, Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam
Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan keberagaman suku, budaya, agama, dan bahasa daerah. Terdapat lebih dari 300 suku bangsa dengan budaya dan adat istiadat yang berbeda-beda, sehingga keberagaman ini menjadi salah satu kekuatan utama bangsa Indonesia. Namun demikian, perbedaan juga dapat menjadi tantangan dalam menjaga persatuan, terutama apabila disertai konflik sosial maupun kesenjangan ekonomi. Oleh karena itu, integrasi nasional menjadi hal yang sangat penting untuk diwujudkan.
Pengertian Integrasi Nasional
Menurut Yron Weiner, integrasi merupakan suatu proses penyatuan bangsa yang mencakup seluruh aspek kehidupan, seperti sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Integrasi nasional berperan penting dalam menjaga kesatuan di tengah perbedaan latar belakang dan budaya masyarakat. Konsep ini berfungsi untuk mempererat hubungan antarkelompok, mengurangi potensi konflik, serta menciptakan rasa kebersamaan. Tanpa adanya integrasi, suatu bangsa berpotensi mengalami perpecahan. Oleh sebab itu, proses integrasi nasional telah berlangsung sejak lama dan tetap relevan hingga saat ini.
Ketahanan identitas bangsa sangat bergantung pada sejauh mana seluruh elemen masyarakat merasa memiliki dan terlibat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai kebangsaan seperti toleransi, gotong royong, serta semangat Bhinneka Tunggal Ika harus terus ditanamkan dan dijaga. Dengan demikian, mewujudkan integrasi nasional bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, melainkan juga seluruh rakyat Indonesia. Sejak masa proklamasi hingga sekarang, Indonesia masih dihadapkan pada berbagai permasalahan yang berkaitan dengan integrasi nasional. Salah satu kasus yang dapat dikaji dalam konteks ini adalah:
“Larangan Jilbab di Bali Berpotensi Mengancam Integrasi Nasional”
Pada tahun 2014, di Bali terjadi beberapa kasus pelanggaran terkait penggunaan jilbab, baik di lingkungan sekolah maupun tempat kerja. Salah satu kasus yang cukup ramai diperbincangkan adalah larangan bagi karyawan Hypermart di Bali untuk menggunakan jilbab atau peci, yang dianggap sebagai simbol agama Islam. Padahal, peci juga merupakan bagian dari simbol nasional bangsa Indonesia.
Larangan tersebut disebut-sebut berasal dari instruksi The Hindu Center of Indonesia yang dipimpin oleh Arya Wedakarna. Bagi perempuan Muslim, penggunaan jilbab merupakan bentuk ketaatan dalam menjalankan perintah agama. Menjalankan ajaran agama merupakan hak mendasar yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Setiap warga negara Indonesia, di mana pun berada, memiliki kebebasan untuk menjalankan perintah agamanya di ruang publik tanpa hambatan.
Permintaan pelarangan jilbab tersebut dapat dimaknai seolah-olah wilayah Bali hanya diperuntukkan bagi umat Hindu, sementara pemeluk agama lain tidak diberikan kebebasan menjalankan ajaran agamanya. Pandangan semacam ini tergolong berlebihan dan berpotensi menimbulkan ketegangan sosial. Terlebih lagi, di banyak negara non-Muslim, masyarakat tetap diberikan kebebasan mengenakan jilbab tanpa mengalami diskriminasi.
Masyarakat Hindu di Bali seharusnya dapat bersyukur hidup di negara Indonesia yang menjamin kebebasan beragama. Bahkan dalam praktiknya, perayaan Hari Raya Nyepi diberlakukan secara menyeluruh di Bali dengan menghentikan berbagai layanan publik, dan seluruh masyarakat menghormati aturan tersebut. Sebagai perbandingan, dapat dibayangkan apabila umat Muslim menuntut agar seluruh rumah makan dan restoran wajib tutup selama bulan Ramadan dengan ancaman sanksi pidana. Analogi ini menunjukkan pentingnya sikap saling memahami dan menghormati dalam kehidupan beragama.
PT Matahari Putra Prima sebagai perusahaan yang menaungi Hypermart seharusnya menolak permintaan The Hindu Center of Indonesia, karena larangan tersebut jelas membatasi hak karyawan untuk menjalankan perintah agamanya. Keberadaan warga yang mengenakan hijab tidak akan mengurangi keindahan Bali, begitu pula tidak akan mencemari nilai-nilai agama Hindu. Tindakan semacam ini justru berpotensi memicu konflik dan tindakan balasan yang dapat mengancam integrasi nasional. Apabila setiap daerah mayoritas memaksakan aturan agama tertentu, maka persatuan bangsa akan terancam.
Larangan penggunaan jilbab termasuk tindakan yang mengandung unsur SARA, karena seseorang dapat diberhentikan atau didiskriminasi semata-mata berdasarkan agama, bukan karena kemampuan, keterampilan, atau kinerja. Peraturan tersebut menimbulkan pro dan kontra karena dinilai tidak mencerminkan sikap toleransi antarumat beragama serta berpotensi memicu perpecahan. Oleh karena itu, seharusnya peraturan semacam ini dibahas melalui musyawarah dengan melibatkan berbagai tokoh agama sebelum diterapkan, mengingat isu ini berkaitan erat dengan toleransi beragama.
Hubungan Kasus Larangan Jilbab di Bali dengan Integrasi Nasional sebagai Pilar Ketahanan Identitas Bangsa
Kasus larangan jilbab di Bali memiliki kaitan erat dengan konsep integrasi nasional. Peristiwa ini menunjukkan bahwa keberagaman masyarakat Indonesia dapat menjadi kekuatan pemersatu, tetapi juga berpotensi menjadi sumber konflik apabila tidak dikelola secara bijaksana. Integrasi nasional hanya dapat terwujud apabila seluruh kelompok masyarakat merasa dihargai dan diakui keberadaannya.
Larangan terhadap simbol keagamaan seperti jilbab mencerminkan kurangnya penerimaan terhadap perbedaan. Padahal, penghargaan terhadap keberagaman merupakan fondasi utama dalam menjaga persatuan bangsa. Pembatasan terhadap kebebasan menjalankan keyakinan agama tidak hanya melanggar hak individu, tetapi juga dapat menimbulkan rasa ketidakadilan dan ketegangan sosial. Jika dibiarkan, kondisi ini dapat melemahkan solidaritas antarwarga negara dan merusak semangat Bhinneka Tunggal Ika sebagai dasar identitas nasional Indonesia.
Kesimpulan
Kasus larangan penggunaan jilbab di Bali mencerminkan tantangan serius dalam membangun integrasi nasional di tengah keberagaman bangsa Indonesia. Keberagaman budaya, agama, dan suku bangsa seharusnya menjadi kekuatan, bukan sumber perpecahan. Larangan terhadap simbol keagamaan tidak hanya melanggar hak dasar individu, tetapi juga menunjukkan kurangnya sikap saling menghargai. Padahal, penerimaan terhadap perbedaan merupakan kunci utama dalam menjaga persatuan bangsa.
Untuk memperkuat identitas nasional, seluruh masyarakat Indonesia perlu menanamkan nilai-nilai toleransi, gotong royong, dan semangat Bhinneka Tunggal Ika. Integrasi nasional merupakan tanggung jawab bersama, bukan hanya pemerintah, agar bangsa ini tetap utuh dan mampu menghadapi tantangan global di masa depan.
Setelah membaca artikel ini, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan, antara lain:
- Mempelajari pentingnya toleransi dan menghargai hak setiap individu dalam menjalankan keyakinannya.
- Tidak mudah percaya pada informasi yang beredar, serta selalu memeriksa kebenaran berita sebelum menyebarkannya.
- Mendorong dialog dan komunikasi antarumat beragama untuk mencari solusi bersama atas perbedaan yang ada.
- Mengajak pemerintah untuk bersikap adil dan melindungi seluruh warga negara tanpa diskriminasi.
- Menjaga persatuan dengan saling menghormati dan menerima setiap perbedaan tanpa memaksakan kehendak.


















