Oleh: Hidayatur Rohmah, M.E., Pengasuh Harian Tahfidh Sekolah Alam Planet Nufo, Rembang
Di berbagai komunitas Muslim, penghafal al-Qur’an mendapat penghormatan tinggi, baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat. Di lingkungan keluarga, orang tua yang memiliki anak yang hafal al-Qur’an bukan hanya investasi spiritual, tetapi juga sebagai investasi akhirat. Pandangan itu didasarkan pada hadits nabi; “Siapa yang menghafal al-Qur’an, mengkaji dan mengamalkannya, maka Allah akan memberikan mahkota kepada kedua orang tuanya dari cahaya yang terangnya seperti matahari.” (HR. al-Hakim, no. 2086).
Hadits ini telah menjadi motivasi besar bagi banyak orang tua agar anak-anaknya hafal al-Qur’an, sehingga banyak dari mereka memasukkan anak ke pesantren yang menawarkan program tahfidh. Namun masalahnya tidak sedikit orang tua yang tidak mengerti caranya menghafal al-Qur’an, bahkan banyak dari mereka yang belum bisa membaca al-Qur’an dengan benar, tapi menuntut anaknya agar cepat menyelesaikan hafalan.
Fenomena ini ditangkap oleh para elit agama dengan menawarkan metode cepat atau shortcut menghafal al-Qur’an dengan hasil yang luar biasa dalam waktu singkat, seperti; 30 hari hafal al-Qur’an bahkan ada yang 19 hari hafal al-Qur’an. Janji-janji ini menarik perhatian banyak orang, terutama mereka yang ingin cepat menjadi hafidh qur’an. Namun, benarkah ada cara instan untuk menghafal al-Qur’an? Ataukah ini hanya gimmick bahkan ilusi yang mengabaikan esensi dari menghafal al-Qur’an?
Menghafal al-Qur’an bukan sekedar mengingat urutan kata-kata, tetapi juga memahami, merenungi, dan mengamalkannya. Para ulama terdahulu, menghafal al-Qur’an tidak dalam waktu singkat, tetapi melalui perjalanan yang panjang dengan metode terstruktur dan penuh pengulangan. Sebagaimana pendapat Imam as–Suyuti dalam kitab al-Itqan fi ‘Ulumi al-Qur’an, beliau menjelaskan bahwa proses menghafal al-Qur’an harus dilakukan dengan tadabbur atau memahami maknanya terlebih dahulu, merenungkan, kemudian melakukan pengulangan secara konsisten, bukan sekedar membaca berulang-ulang tanpa pemahaman.
Ini menunjukkan bahwa menghafal-Qur’an membutuhkan waktu untuk memahami dan mengulangi hingga lancar dan bisa disimak oleh penghafal yang lain. Tidak sedikit orang yang dianggap hafal al-Qur’an, tapi sebenarnya mereka hanya pernah menghafal. Bedakan orang yang hafal al-Qur’an dan pernah menghafal al-Qur’an. Orang yang hafal al-Qur’an adalah orang yang hafal seluruh mushaf al-Qur’an dan hafalannya bisa disimak dengan batas kesalahan tertentu. Sedangkan, orang yang pernah menghafal adalah orang yang dahulu pernah menghafal tapi lupa karena tidak melakukan pengulangan secara konsisten.
Metode menghafal yang terlalu cepat atau yang ditawarkan oleh para elit agama hanyalah gimmick semata. Metode cepat 19 atau 30 hari hafal al-Qur’an hanya fokus pada kuantitas menambah hafalan tanpa mempertimbangkan kualitas. Setelah 10 atau 30 hari menghafal, kemudian mereka akan diwisuda dan mendapat penghargaan
Namun, apa yang terjadi ketika diuji? Mereka kesulitan mengingat ayat atau bahkan lupa semuanya. Hal ini menunjukkan bahwa menghafal dalam waktu singkat tidak menunjukkan kualitas hafalan. Jadi mereka tidak bisa dikatakan hafal al-Qur’an, melainkan pernah menghafal.
Perjalanan Ulama dalam Menghafal al-Qur’an
Menghafal al-Qur’an merupakan tradisi yang melekat dalam perjalanan keilmuan para ulama Islam. Seperti Imam Syafi’i, mulai menghafal al-Qur’an sejak usia tujuh tahun. Para Ulama terdahulu menempuh perjalanan panjang dalam menghafal dan menjaga kemurnian al-Qur’an melalui metode yang ketat dan disiplin tinggi.
Salah satu metode yang digunakan adalah talaqqi, yaitu membaca dan menghafal langsung di hadapan guru, sehingga bacaan dapat dikoreksi dan akurat. Selain itu, para ulama’ juga menerapkan tikrar, yaitu pengulangan secara terus-menerus. Perjalanan panjang para ulama dalam menghafal al-Qur’an menunjukkan bahwa menghafal al-Qur’an tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat apalagi hanya 10 atau 30 hari.
Rasulullah SAW. bersabda;
عَنِ ابْنِ عُمَرَ – رضي الله عنهما -: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: «إِنَّمَا مَثَلُ صَاحِبِ الْقُرْآنِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الإِبِلِ الْمُعَقَّلَةِ، إِنْ عَاهَدَ عَلَيْهَا أَمْسَكَهَا وَإِنْ أَطْلَقَهَا ذَهَبَتْ».
“Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah bersabda: ‘Sesungguhnya perumpamaan orang yang menghafal Al-Quran itu seperti pemilik unta yang diikat. Jika ia terus menjaganya, maka ia akan dapat mempertahankannya, dan jika ia melepaskannya, maka unta itu akan pergi.’” (HR. Bukhari).
Perumpamaan yang digunakan oleh Rasulullah ini mengandung hikmah yang sangat dalam. Unta, sebagai hewan yang dikenal memiliki kekuatan dan kemandirian, tetap memerlukan pengawasan dan ikatan agar tidak terlepas dari pemiliknya. Begitu pula dengan hafalan al-Quran, sebaik apapun kualitas hafalan seseorang, tetap membutuhkan muraja’ah (pengulangan) yang konsisten. Dengan demikian, tidak ada shortcut menghafal al-Qur’an. Yang ada hanyalah cara menghafal al-Qur’an dengan target waktu yang realistis dengan tetap memperhatikan kualitas hafalan al-Qur’an.