Cahaya Ilmuwan Muslim, Warisan yang Abadi (2)
Oleh: Gunawan Trihantoro
(Sekretaris Komunitas Puisi Esai Jawa Tengah)
Al-Ghazali adalah salah satu ahli hukum Islam, teolog, dan pemikir mistik terbesar. Ia mempelajari berbagai cabang ilmu agama Islam tradisional di kota kelahirannya Tus, Gurgan, dan Nishapur di bagian utara Iran. Ia juga terlibat dalam praktik Sufi sejak usia dini. Setelah diakui oleh Nizam al-Mulk, wazir sultan Seljuk, ia diangkat menjadi kepala Sekolah Tinggi Nizamiyyah di Baghdad pada tahun 484 H/1091 M. [1]
Di bawah langit Tus yang kelam,
di mana angin gurun membisikkan rahasia zaman,
seorang anak lahir dari rahim kesederhanaan.
Namanya, Al-Ghazali
kelak akan menjadi lentera di tengah gelapnya keraguan,
penjaga hikmah di antara riuh rendah perdebatan.
-000-
“Mengapa langit begitu luas, Ayah?” tanyamu suatu malam,
sementara tangan kecilmu memegang erat jubahnya yang lusuh.
Ayahmu, pemintal wol, hanya tersenyum,
matanya berkaca-kaca, seolah tahu bahwa pertanyaanmu
bukan sekadar tentang langit,
tapi tentang makna yang tersembunyi di baliknya.
Di Tus, kota kecil di Persia,
kau tumbuh seperti tunas yang haus cahaya.
Ayahmu wafat, meninggalkan warisan yang tak ternilai:
“Carilah ilmu, Nak,
karena ia adalah jalan menuju Yang Maha Tahu.”
Kau pegang erat wasiat itu,
seperti burung memeluk angin untuk terbang.
-000-
Baghdad, kota megah di abad ke-11,
tempat para filsuf dan ulama bersilang pedang,
di mana akal dan wahyu bertarung dalam gelanggang pemikiran.
Kau datang sebagai pelajar,
tapi segera menjadi sang guru
di usia muda, kau telah memimpin madrasah Nizamiyah,
tempat para pencari ilmu berbondong-bondong mendengar wejanganmu.
Tapi, di balik kemilau nama dan kedudukan,
hatimu gelisah.
“Apakah semua ini cukup?” bisik jiwamu suatu malam,
ketika lampu-lampu Baghdad mulai padam.
“Apakah ilmu yang kau ajarkan telah menyentuh hakikat,
atau hanya sekadar permainan kata-kata?”
-000-
Lalu, kau pun pergi.
Meninggalkan tahta, meninggalkan nama,
menjadi pengembara di jalan sunyi.
Sepuluh tahun kau habiskan untuk merenung,
menyepi di gua-gua Damaskus,
berzikir di bawah langit Yerusalem,
dan mencium debu Makkah dalam rindu yang tak terperi.
“Apa yang kau cari, Al-Ghazali?” tanya seorang sufi.
“Aku mencari kebenaran yang tak tergoyahkan,” jawabmu.
“Ilmu tanpa hati adalah seperti lentera di tangan pencuri,
ia hanya menerangi jalan, tapi tak pernah menuntun ke tujuan.”
-000-
Setelah bertahun-tahun menyelami samudera keraguan,
kau kembali dengan membawa mutiara hikmah.
Kau tulis Ihya Ulumuddin,
kitab yang menjadi oase bagi jiwa-jiwa yang haus.
Kau ajarkan bahwa ilmu tak hanya untuk dipikirkan,
tapi juga untuk dirasakan,
tak hanya untuk dihafal,
tapi juga untuk diamalkan.
“Ilmu tanpa amal adalah seperti pohon tanpa buah,” katamu.
“Dan amal tanpa ilmu adalah seperti kapal tanpa nahkoda.”
Kau juga menulis Tahafut al-Falasifah,
menggugat kesombongan filsafat yang mengklaim kebenaran mutlak.
“Akal memiliki batas,” tegaskanmu,
“dan di luar batas itu, ada wilayah iman.”
-000-
Kini, sembilan abad setelah kepergianmu,
cahayamu masih menyinari dunia.
Kau mengajarkan kita bahwa ilmu bukan sekadar alat,
tapi juga jalan untuk mengenal Sang Pencipta.
Kau ingatkan kita bahwa keraguan bukan musuh,
tapi teman dalam pencarian kebenaran.
Di tengah hiruk-pikuk zaman modern,
di mana manusia terlena oleh kemajuan material,
suaramu masih bergema:
“Jangan lupakan hati,
karena di situlah kebenaran sejati bersemayam.”
Rumah Kayu Cepu, 22 Maret 2025
CATATAN:
[1] Puisi esai ini ditulis dengan inspirasi dari biografi Al Ghazali di https://www.ghazali.org/articles/gz1.htm
Kontribusi dan Pengaruh Al-Ghazali:
a. Imam Al-Ghazali (1058-1111), dikenal sebagai Hujjatul Islam (Sang Pembela Islam), adalah salah satu pemikir paling berpengaruh dalam sejarah intelektual Islam. Karyanya, Ihya Ulumuddin (Kebangkitan Ilmu-Ilmu Agama), menjadi rujukan utama dalam tasawuf dan etika Islam. Melalui Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filsuf), ia mengkritik filsafat Yunani yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam, sekaligus menegaskan pentingnya keseimbangan antara akal dan wahyu.
b. Pemikiran Al-Ghazali tidak hanya memengaruhi dunia Islam, tetapi juga memberikan inspirasi bagi para pemikir Barat seperti Thomas Aquinas. Karyanya terus dipelajari hingga saat ini, menjadi jembatan antara tradisi dan modernitas, serta mengingatkan kita akan pentingnya integrasi ilmu, iman, dan amal dalam kehidupan.