Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
Cerpen

Andai Bumi Bisa Bicara

×

Andai Bumi Bisa Bicara

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Oleh: M. Zadittahsin Baracka Abqory, Santri-Murid Kelas VIII SMP Alam Nurul Furqon Rembang

Dulu, Dhani adalah anak yang paling cuek soal alam. Baginya, plastik sekali pakai adalah hal biasa, sampah elektronik cuma barang rusak yang dilempar ke tong, dan membakar daun kering? Ah, siapa peduli? Lingkungan bukan urusannya.

Example 300x600

Setiap hari, ia lewat taman kota yang dulunya kotor dan kosong, tanpa pernah meliriknya. Sungai kecil yang mengalir di dekat sekolahnya bau dan penuh busa, tapi itu pun dianggapnya normal. Semua orang hidup seperti itu, pikirnya. Jadi kenapa harus repot?

Semua berubah pada suatu malam.
Tahun itu, hujan turun tanpa henti. Dalam satu malam, rumah Dhani tenggelam dalam banjir. Ia dan ibunya harus naik ke atap, menggigil, sambil menunggu perahu penyelamat.

Saat itu, Dhani melihat kota kecilnya dalam bentuk yang tak pernah ia bayangkan: gelap, tenggelam, dan sunyi. Ia melihat plastik-plastik yang dulu dibuang sembarangan kini terapung, menyatu dengan air yang menelan segalanya.
Bencana itu jadi awal perubahan.

Dua tahun kemudian, Dhani berdiri di taman kota yang dulu ia anggap tak penting. Kini taman itu jadi rumah bagi ratusan pohon muda. Sebagian besar ditanam olehnya dan komunitas kecil yang ia bangun sendiri, bernama “Akar Harapan.”
Hari itu adalah 22 April, Hari Bumi. Ia datang lebih pagi dari biasanya.

Di tangannya ada pot kecil berisi bibit pohon kelor — pohon penuh manfaat yang dulu sering disebut ayahnya sebagai pohon kehidupan. Ayahnya adalah seorang guru biologi yang selalu berpesan, “Menanam pohon itu seperti menulis surat untuk masa depan. Dhani menunduk, menanam bibit itu di tanah yang lembut, membasah karena embun. Saat ia menepuk-nepuk tanah dengan kedua telapak tangan, ia merasakan sesuatu yang aneh: denyut. Bukan dari tubuhnya, tapi dari dalam tanah.
Ia terdiam.

Denyut itu makin kuat, seperti detak jantung raksasa di bawah bumi. Daun-daun mulai bergetar. Angin berhenti. Langit, yang semula biru, perlahan dipenuhi cahaya hijau keemasan yang turun dari atas pohon-pohon.

Dari tengah-tengah taman, tanah retak… tapi bukan karena rusak. Justru sebaliknya—akar-akar muncul, menyatu, membentuk sosok tinggi berwajah daun, kulit dari batang tua, dan mata yang bersinar seperti cahaya pagi. Sosok itu mengambang, tidak menginjak bumi, tapi bumi tampak hidup bersamanya.Dhani menatap makhluk itu, jantungnya berdegup cepat. Tapi ia tidak merasa takut. Ada rasa damai yang sulit dijelaskan.

“Dhani,” suara itu memanggil, seperti ribuan suara alam yang menyatu.

“Siapa… siapa kamu?” gumam Dhani.

“Kami adalah bagian dari Bumi. Jiwa yang lahir dari suara pohon, air, udara, dan tanah yang kau dengar. Sedikit yang bisa merasakan kami, dan lebih sedikit lagi yang peduli. Tapi kamu… kamu berubah.”

Dhani menggigit bibir. “Aku… aku dulu merusak. Aku yang dulu membuang, membakar. Aku penyebab semua ini.”

“Dan kamu menebusnya. Kami tidak mencari yang sempurna. Kami mencari yang mau belajar, yang mau memperbaiki. Kamu mendengarkan, Dhani. Itu sudah cukup.”

Angin kembali bertiup, lembut, membawa aroma tanah basah dan bunga liar. Sosok itu menunduk, seolah melihat Dhani lebih dalam dari sekadar tubuhnya.

“Kami butuh kamu menyampaikan pesan. Bumi tak butuh diselamatkan — dia akan tetap ada. Tapi manusia… mereka sedang berlari menuju kehancuran. Banjir, panas, badai — itu semua bukan hukuman. Itu cerminan.”

Dhani menahan air mata. “Apa yang harus aku lakukan?”

“Bicaralah. Ajak mereka melihat, bukan dengan mata, tapi dengan hati. Ajari mereka merawat, bukan karena takut, tapi karena cinta. Tumbuhkan kesadaran, seperti kamu menumbuhkan pohon-pohon ini. Perlahan. Tapi pasti.”

Sosok itu perlahan memudar, menyatu kembali ke dalam akar, cahaya meresap ke tanah, dan bumi kembali diam. Tapi Dhani tahu — dia tidak lagi sendiri.
Sejak hari itu, Dhani tidak berhenti. Ia bicara di sekolah, lalu di desa-desa, lalu di radio lokal. Ia menulis buku berjudul “Jika Bumi Bisa Bicara” — berisi surat-surat dari pohon, air, dan tanah yang ia tulis dari hatinya. Buku itu viral, dibaca oleh ribuan orang, diterjemahkan ke berbagai bahasa.
Orang-orang mulai menanam, mulai berpikir ulang sebelum membuang, mulai bertanya sebelum menebang. Perlahan, tapi nyata, suara Dhani menjalar.
Setiap tahun, di Hari Bumi, Dhani datang ke taman itu. Duduk di bawah pohon kelor yang kini tumbuh tinggi. Ia menatap langit, menanti denyut dari tanah. Kadang tidak terjadi apa-apa. Tapi Dhani tetap datang.
Karena baginya, suara Bumi tidak selalu terdengar lewat gemuruh. Kadang, ia hadir dalam sunyi – dalam embun di pagi hari, dalam daun yang jatuh perlahan, atau dalam hati seorang anak yang memutuskan untuk berubah.

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Cerpen

Oleh: Nawwaf Absyar Rajabi, Santri-Murid Kelas VIII SMP…

Cerpen

Tangannya kesemutan diikat dibelakang, kakinya tertekuk dengan darah…

Cerpen

Oleh: Siti Efrilia, Mahasiswa UIN Salatiga “Kayaknya bapak…

Cerpen

Oleh: Anak Pagi Siang hari di tengah ketangguhan…

Cerpen

Di sebuah desa kecil, terdapat hutan yang terkenal…