Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
Opini

Berpuasa dari Sisi Psikologi

×

Berpuasa dari Sisi Psikologi

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Oleh: Ahmad Yusron Chasani, Mahasiswa Psikologi UIN Salatiga

Puasa dalam bahasa Arab disebut dengan Ash Shiyaam (الصيام) atau Ash Shaum (الصوم). Secara bahasa Ash Shiyam artinya adalah al imsaak (الإمساك) yaitu menahan diri. Sedangkan secara istilah fiqih, ash shiyaam artinya: beribadah kepada Allah Ta’ala dengan menahan diri dari makan, minum dan yang membatalkannya, dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.

Example 300x600

Dalam bahasa Jawa, puasa disebut dengan istilah “poso” atau “ngaso.” Kata “poso” mengalami perubahan fonetik (bunyi bahasa) dari “upavasa” seiring perkembangan bahasa. Sementara itu, “ngaso” berarti beristirahat atau menahan diri, yang sejalan dengan makna puasa sebagai upaya menahan hawa nafsu dan mendekatkan diri kepada Tuhan.

Akar kedua bahasa tadi memiliki makna yang sama yaitu “menahan”. Lalu, menahan bagaimana jika dalam psikologi? Jika diselaraskan dengan makna puasa dan hal yang membatalkannya maka bukan hanya perkara fisiologis saja, tentunya ada perkara-perkara psikis yang juga mampu menghilangkan esensi daripada puasa itu sendiri, hal ini disandarkan pada hadits nabi yaitu:

رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلاَّ الْجُوعُ

“Betapa banyak orang yang berpuasa tapi tidak mendapatkan apa-apa baginya kecuali rasa lapar”. (HR. An-Nasai dan Ibnu Majah).

Memang secara Dhohiriyah (terlihat) tidak nampak batal puasanya namun secara Bathiniyah (tak terlihat) tidak mendapatkan apa-apa melainkan rasa haus dan lapar. Mereka yang semacam inilah yang tidak mampu menahan psikis mereka, dan tentu mereka termasuk orang-orang yang merugi. Istilah “menahan” dalam psikologi biasanya disangkutkan pada 3 istilah yaitu: control, regulation, dan inhibition.

Mari ketahui satu persatu. Pertama, control (pengendalian). Pengendalian yang dimaksud adalah pengendalian diri (self control), mengendalikan diri sepenuhnya dan menjadi manusia berkesadaran. Mengendalikan diri dari segala bentuk impuls dan keinginan demi tercapainya tujuan jangka panjang (ridho Allah).

Kedua, inhibition (Pertahanan)Pertahanan diri terhadap sesuatu yang bersifat kognitif demi Kesehatan mental (kejernihan berpikir) untuk menghindari prasangka buruk (suudzon) selama berpuasa. Hingga pertahanan baik emosional, behavior, maupun secara social. Inhibisi ini dilakukan oleh otak dengan berkesadaran karena memang digunakan untuk menahan ataupun menghambat respon atas informasi tertentu.

Ketiga, repression (represi/penekanan). Freud, dalam teori psikoanalisisnya, menjelaskan bahwa represi adalah mekanisme pertahanan di mana individu menekan ingatan atau dorongan yang menyakitkan ke alam bawah sadar untuk mengurangi kecemasan. Dalam berpuasa tentunya ini juga dapat dilakukan untuk menekan ingatan-ingatan buruk di masa lalu, baik dengan sesame atau yang lainnya. Atau, bisa pula dengan melakukan supresi. Yaitu dengan melakukan penakanan emosi seperti marah, sedih berlebih atau yang lain.

Keempat, delayed gratification (menunda kepuasan) eksperimen Marshmallow Mischel menunjukkan bahwa anak-anak yang bisa menahan dorongan untuk mendapatkan hadiah yang lebih besar di masa depan memiliki tingkat kesuksesan lebih tinggi dalam hidup. Orang yang berpuasa memilih untuk menahan dorongan makan dan minum untuk mendapatkan manfaat yang lebih besar di masa depan. Sama seperti dalam eksperimen marshmallow, orang yang terbiasa dengan delayed gratification dalam berpuasa cenderung memiliki kontrol diri yang lebih baik dalam kehidupan sehari-hari, yang dapat berdampak positif pada keberhasilan dan kesejahteraan mereka.

Selain menahan diri dari makan dan minum, puasa juga memiliki dampak yang signifikan terhadap kesehatan mental. Berpuasa dapat membantu seseorang lebih sadar akan pikirannya, emosinya, serta tindakan yang diambil selama menjalani ibadah ini. Dalam psikologi, praktik ini sering dikaitkan dengan mindfulness atau kesadaran penuh, di mana individu lebih fokus pada momen sekarang dan lebih terkoneksi dengan nilai-nilai spiritual maupun pribadi.

Puasa juga dapat menjadi bentuk terapi mental, karena membantu individu untuk lebih peka terhadap emosinya, mengelola stres, dan meningkatkan kesejahteraan psikologis. Dengan menahan diri dari hal-hal yang berlebihan, seseorang akan lebih mampu meregulasi emosinya serta memiliki kontrol yang lebih baik terhadap dorongan impulsif yang dapat merugikan dirinya sendiri maupun orang lain.

Manfaat Psikologis dari Berpuasa

Ada beberapa manfaat dari kegiatan berpuasa, antara lain:

  1. Peningkatan kedisiplinan. Puasa mengajarkan kedisiplinan dengan menetapkan batasan kapan boleh makan dan kapan harus menahan diri. Ini menciptakan kebiasaan yang baik dalam mengelola waktu dan menahan keinginan sesaat.
  2. Mengurangi Stres dan Kecemasan. Dengan mengurangi konsumsi makanan berlebihan dan melatih pengendalian diri, puasa dapat membantu mengurangi tingkat stres dan kecemasan. Ketika seseorang tidak lagi terfokus pada pemenuhan dorongan fisik, ia lebih mampu mengarahkan pikirannya pada hal-hal yang lebih positif dan produktif.
  3. Meningkatkan Kesabaran dan Empati. Menahan lapar dan haus membuat seseorang lebih memahami bagaimana rasanya hidup dalam keterbatasan. Hal ini dapat meningkatkan rasa empati terhadap mereka yang kurang beruntung, serta melatih kesabaran dalam menghadapi tantangan hidup.
  4. Membantu Menjernihkan Pikiran. Dengan menahan diri dari konsumsi berlebihan dan memperbanyak refleksi diri, seseorang dapat berpikir lebih jernih, lebih fokus, dan lebih bijaksana dalam mengambil keputusan.

Puasa bukan hanya tentang menahan lapar dan haus, tetapi juga tentang menahan diri dari perilaku negatif yang dapat merusak esensi ibadah. Dalam perspektif psikologi, puasa melibatkan berbagai aspek pengendalian diri seperti control, inhibition, repression, dan delayed gratification, yang semuanya berperan dalam meningkatkan kesehatan mental dan emosional seseorang. Dengan memahami esensi ini, seseorang tidak hanya mendapatkan manfaat secara spiritual, tetapi juga memperbaiki kualitas hidupnya secara keseluruhan. Oleh karena itu, berpuasa dengan penuh kesadaran dan niat yang tulus dapat menjadi sarana transformasi diri menuju pribadi yang lebih baik dan lebih seimbang secara fisik maupun psikis.

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *