Oleh: Aruna Fajria, Santri-Murid Planet Nufo Rembang asal Pekalongan
Namaku Veronica Alice. Kau bisa memanggilku Vero.
Aku lahir di antara dua doa yang berbeda. Di leher ayahku selalu tergantung salib kecil yang tak pernah ia lepaskan. Setiap Minggu pagi, aku menggenggam tangannya menuju gereja, mengenakan gaun putih dengan renda di lengan. Cahaya matahari menembus kaca-kaca berwarna, memantul di lantai, membentuk bayang-bayang indah yang tak kupahami artinya. Aku terlalu kecil untuk mengerti khotbah pendeta, namun ada satu perasaan yang menetap sejak itu: aku berada di tempat yang asing.
Di hari raya keagamaan, aku berjalan di sisi ibuku menuju pura. Tangannya yang lembut membawa keranjang anyaman berisi bunga-bunga kecil. Ia memakaikanku kain dan selendang, sementara suara mantra mengalun pelan di udara. Namun perasaan itu kembali datang—sunyi yang sama, kosong yang sama. Aku tak tahu mengapa.
Aku tumbuh besar dengan pertanyaan yang tak pernah menemukan jawabannya.
Ayah Nasrani, ibu Hindu, dan aku—seorang anak yang berdiri di tengah-tengah tanpa arah. Bukan karena aku tak percaya Tuhan, tetapi karena aku tak menemukan-Nya di mana pun. Saat dewasa, aku memilih untuk tidak memeluk agama apa pun. Anehnya, kedua orang tuaku menerimanya. Mungkin karena mereka sendiri hidup dalam perbedaan.
Aku berprestasi di sekolah. Nilai-nilaiku baik, piala-piala memenuhi rak kamar. Orang tuaku bangga, hadiah demi hadiah mereka berikan. Namun setiap malam, saat semua lampu padam, ada kehampaan yang tak bisa diisi oleh apa pun. Bahkan beasiswa ke Prancis tak mampu menutup lubang itu.
Usiaku menginjak seperempat abad ketika aku menyadari: semakin aku mengejar dunia, semakin kosong rasanya. Di luar sana ada ratusan agama, ribuan keyakinan, dan aku tak tahu mana yang benar.
Hingga suatu hari, aku bertemu Yumna.
Ia karyawan baru di kantorku. Seorang Muslimah dengan kerudung sederhana dan senyum yang tenang. Awalnya kami hanya rekan kerja biasa, hingga tugas-tugas kecil mempertemukan kami lebih sering. Dari dekat, aku merasakan sesuatu yang berbeda darinya—bukan kecantikan, melainkan ketenteraman.
Suatu siang, saat pekerjaan menumpuk, ia berdiri dari kursinya.
“Kamu mau ke mana?” tanyaku.
“Salat Zuhur.”
“Tapi laporan ini—”
“Salat lebih diutamakan.”
Ia pergi dengan langkah ringan, meninggalkan pekerjaan tanpa ragu. Aku terdiam. Di antara hiruk pikuk ambisi dan target, ia memilih Tuhan tanpa beban. Saat ia kembali, wajahnya lebih damai dari sebelumnya, seolah membawa cahaya yang tak kasatmata.
Sejak hari itu, aku sering memperhatikannya. Caranya tersenyum, caranya menenangkan diri. Perlahan, kehampaan yang lama menemaniku berubah menjadi rasa ingin tahu—dan harapan.
Suatu malam, setelah ia menunaikan salat Isya, aku memberanikan diri.
“Yumna, bolehkah kamu memperkenalkanku pada agamamu?”
Ia terkejut, menatapku lama, lalu tersenyum. “Jika itu yang kamu inginkan.”
Sejak malam itu, hidupku berubah. Yumna mengenalkanku pada Islam dengan kelembutan. Ia mengajariku membaca Al-Qur’an, menceritakan kisah para nabi, tentang Tuhan Yang Maha Esa, Maha Pengasih, dan Maha Menguatkan. Hatiku yang lama kering seakan menemukan mata air.
Ramadan semakin dekat. Yumna berkata aku telah siap. Ia membawaku menemui ayahnya, seorang ulama. Di sebuah masjid yang tenang, aku mengucapkan dua kalimat syahadat. Tangisku pecah bersama gema takbir. Untuk pertama kalinya, aku merasa pulang.
Yumna memakaikanku kerudung. Awalnya terasa asing, namun hatiku justru terasa penuh.
Beberapa minggu kemudian, orang tuaku datang berkunjung. Aku takut, namun mereka hanya bertanya dengan lembut, “Apa yang membuatmu begitu yakin?”
Aku menceritakan semuanya.
Mereka mendengarkan. Lalu meminta bertemu Yumna.
Tak sampai sepekan sebelum Ramadan, kedua orang tuaku mengucapkan syahadat.
Aku menangis dalam sujud. Cahaya yang lama terpendam dalam keluargaku akhirnya kembali—bukan karena paksaan, melainkan karena hidayah.
Dan aku tahu kini, kehampaan itu tak akan kembali.
Aku telah menemukan jalan pulang.
Insya Allah.


















