Oleh: Rizky Fatkurrahman, Mahasiswa UIN Salatiga
Demokrasi bukan hanya sebuah sistem pemerintahan, tetapi juga sebuah nilai hidup yang seharusnya dihayati dan diterapkan dalam keseharian oleh setiap warga negara. Dalam perjalanan saya sebagai mahasiswa, saya menyaksikan langsung bagaimana prinsip-prinsip demokrasi bisa dijalankan dengan baik, namun juga tidak jarang diabaikan, tergantung pada lingkungan dan kesadaran kolektif masyarakatnya.
Di lingkungan kampus, terutama ketika saya aktif dalam organisasi kemahasiswaan, saya merasakan penerapan nilai-nilai demokrasi yang cukup kuat. Salah satu pengalaman yang paling membekas adalah ketika berlangsung pemilihan ketua himpunan mahasiswa jurusan. Proses pencalonan dilakukan secara terbuka, semua anggota diberi kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri. Setiap calon diberikan ruang untuk memaparkan visi dan misi mereka di hadapan mahasiswa lainnya. Selain itu, sesi debat juga diselenggarakan untuk menggali pemikiran para calon dan memberi ruang bagi mahasiswa lain untuk bertanya, mengkritik, dan menilai program kerja yang mereka tawarkan. Pemungutan suara dilakukan secara rahasia, memastikan setiap suara dihargai tanpa tekanan, dan hasilnya diumumkan secara transparan. Dalam proses ini saya merasakan bagaimana prinsip kesetaraan, kebebasan berpendapat, transparansi, serta akuntabilitas benar-benar dihidupkan.
Namun, suasana yang berbeda saya rasakan di lingkungan tempat tinggal. Setiap tahun, warga mengadakan musyawarah untuk menyusun rencana kegiatan perayaan Hari Kemerdekaan. Meskipun musyawarah tetap dilakukan, kenyataannya pengambilan keputusan lebih sering berada di tangan beberapa tokoh senior atau orang lama di lingkungan tersebut. Pendapat dari warga muda jarang didengarkan secara serius. Bahkan, ketika ada usulan baru dari kalangan muda, sering kali direspon dengan sikap menolak tanpa alasan yang jelas, hanya dengan alasan kebiasaan lama yang sudah dianggap mapan. Akibatnya, kegiatan yang dilaksanakan terkesan monoton, partisipasi warga menurun, dan rasa memiliki terhadap kegiatan bersama pun melemah. Demokrasi di lingkungan ini menjadi formalitas belaka, tanpa ruh partisipatif dan penghargaan terhadap keberagaman suara.
Pengalaman ini membuat saya merenung bahwa demokrasi sejati bukanlah sekadar prosedur formal seperti voting atau musyawarah. Demokrasi sejati hidup dalam semangat keterbukaan, kesetaraan, dan penghargaan terhadap perbedaan pendapat. Demokrasi akan bermakna ketika setiap individu diberikan ruang untuk berbicara, didengar, dan dihargai, tak peduli latar belakangnya.
Saya menyadari bahwa penerapan demokrasi dalam kehidupan sehari-hari bukan sesuatu yang otomatis. Ia membutuhkan kesadaran kolektif, kemauan untuk mendengarkan, dan keberanian untuk mengubah kebiasaan yang tidak lagi sesuai dengan nilai-nilai demokrasi. Karena itu, di mana pun saya berada, saya berusaha menanamkan nilai-nilai demokrasi, minimal dimulai dari hal-hal kecil—seperti membuka ruang diskusi, menerima perbedaan, dan menghargai pendapat orang lain.