Oleh: Nia Handayani, Mahasiswi KPI UIN Salatiga
Cerita ini mengikuti perjalanan hidup Faiz, seorang mahasiswa 18 tahun yang tinggal di Jakarta. Sejak kecil, Faiz telah menghadapi banyak kesulitan, termasuk kehilangan ayah dan adik, serta harus merawat ibunya yang sudah tua. Meskipun hidup dalam kondisi yang sulit dan penuh tantangan, Faiz berusaha keras untuk menyelesaikan pendidikannya dan menjual makanan ringan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Setelah berhasil menyelesaikan kuliah, Faiz mengalami kehilangan besar ketika ibunya meninggal dunia. Kesedihan mendalam menyelimuti hidupnya, dan momen wisuda yang seharusnya bahagia terasa hampa tanpa kehadiran ibunya. Dalam keadaan berduka, Faiz bertemu Aira, seorang perempuan yang juga yatim piatu. Kehadiran Aira membawa harapan baru dalam hidup Faiz, dan mereka saling mendukung satu sama lain. Namun, kebahagiaan mereka tidak bertahan lama.
Setelah melamar Aira, mereka mengalami kecelakaan tragis yang merenggut nyawa Aira. Kehilangan ini menghancurkan Faiz sekali lagi, membuatnya jatuh ke dalam depresi dan gangguan jiwa. Cerita ini menggambarkan perjalanan emosional Faiz dari harapan dan cinta hingga kehilangan dan keputusasaan, mencerminkan ketahanan manusia dalam menghadapi cobaan hidup.
Di kota orang yang ramai, penuh dengan manusia-manusia rantau, gedung-gedung asing menjulang tinggi dengan dinding kacanya, serta jalanan yang dipadati kendaraan dan para pekerja jalanan. Di Tengah hiruk-pikuk ini, hidup seorang laki-laki tangguh bernama Faiz. Ia menjalani hari-harinya penuh tantangan. Faiz adalah mahasiswa semester awal di salah satu Universitas di Jakarta yang berusaha menavigasi kompleksitas kehidupan kuliah.
Meskipun usianya masih terbilang muda di angka 18 tahun, Faiz telah menghadapi berbagai kesulitan dalam hidupnya. Ayahnya meninggal saat ia berumur 2 Tahun karena kecelakaan kerja di bangunan, adiknya meninggal karena penyakit kanker tulang, dan kini ia hanya hidup berdua bersama ibunya yang sudah terbilang tua.
Setiap pagi, Faiz bangun dengan semangat meski sering kali terjaga oleh bising kendaraan yang melintas di luar jendela kamarnya. Di kampus, ia berusaha keras untuk memahami materi kuliah yang kadang terasa berat tanpa adanya laptop. Sementara, diluar kelas ia beradaptasi dengan lingkungan baru yang penuh dengan teman-teman dari berbagai latar belakang.
Faiz sering kali merasa tertekan oleh ekspektasi yang tinggi dari dirinya sendiri. Ia ingin menjadi yang terbaik, tetapi hidup di kota besardengan segala tantangannya sering kali membuatnya merasa tersisih. Namun, semangatnya tak pernah padam begitu saja. Dengan tekan yang kuat, Ia terus berjuang untuk meraih Impian dan mengatasi setiap rintangan yang menghadang.
Setiap malam, setelah seharian berkuliah dan berjualan, Faiz sering merenung di dinding kamar yang sudah penuh dengan jamur. Ia menatap atap kamar yang tidak berplafon dan berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menyerah. Dalam hati kecilnya, Iat ahu bahwa setiap kesulitan adalah bagian dari perjalanan menuju kesusksesan.
Setiap pagi, Faiz bangun dari tempat tidurnya yang sempit di kos-kosan tua. Bangunan tersebut tidak teralalu besar, tetapi ukurannya yang pas membuatnya terasa sempit dan sesak. Dinding-dinding kos itu tipis, sehingga suara dari kamar sebelah sering mengganggu ketenangannya. Namun, itulah tempat tinggalnya, sebuah tempat yang tidak nyaman tetapi sudah menjadi rumahnya.
Saat matahari masih redup, Faiz menuju dapur kos untuk sarapan dan menyiapkan barang dagangannya. Menu sarapannya sangat sederhana, nasi goreng dari sisa nasi kemaren tanpa kecap dan telur, atau hanya sekedar mie instan saha. Baik itu manis, pedas, gurih, rasanya selalu sama-sama enak di lidahnya. Setelah sarapan Ia berjalan kaki menuju kmapus untuk kuliah dengan menghadap sinar matahari yang langsung menusuk kulit kepala.
Kuliah adalah momen favoritnya. Di sana, Ia bisa belajar sembari mencari tambahan uang dengan menjual amakan ringan kepada teman-temannya. Kuliah memberinya kesempatan untuk berinteraksi dengan teman-temannya dan mendapatakan pengetahuan yang dibutuhkan untuk masa depannya.
Setelah kuliah, Faiz Kembali berjualan makanan ringan di kampus dan keliling berjalan kaki di sepanjang kota. Produk dagangannya bervariasi, mulai dari keripik singkong, keripik pisang, gorengan, dan aneka macam roti. Faiz sangat berdedikasi dalam menjual dagangannya, karena uang yang didapat akan Ia gunakan untuk membayar kuliah dan biaya hidupnya. Meskipun menjual makanan ringan itu sulit, Faiz tidak pernah menyerah. Dia yakin, dengan tekun dan gigih, maka impiannya untuk menjadi seorang guru akan tercapai.
Kehiudpan seperti ini Ia lakukan optimis selama hampir 4 tahun, mulai dari rugi sampai mendapatkan cemoohan dari orang lain sudah menjadi hal biasa baginya. Kejadian buruk ini Faiz jadikan sebuah motivasi untuk terus mnecapai kesuksesan tanpa peran seorang bapak dalam hidupnya.
Satu bulan menjelang wisuda, hidup Faiz mengalami cobaam terberatnya. Sore hari saat Ia pulang dari berjualan, teleponnya berdering kencang. Suara di ujung telepon adlah suara tetangganya, penuh kepanikan.
“Faiz, cepatlah pulang kerumah! Ibumu… dia… tidak sadarkan diri!”
Jantung Faiz berdegup kencang. Tanpa berpikir Panjang, Ia segera tanpa persiapan dengan kendaraan umum menuju rumahnya. Langkahnya terasa berat seolah setiap detik adalah sebuah beban. Dalam benaknya, hanya satu harapan semoga ibunya baik-baik saja.Sesampainya di rumah, suasana sudah dipenuhi oleh kerumunan orang. Beberapa tetangga berdiri dengan wajah cemas, sementara yang lain terlihat berbisik-bisik. Faiz bergegas masuk ke dalam rumah dan menemukan ibunya terbaring di dipan bambu, wajahnya pucat dan napasnya terengah-engah.
“IBUUU!” teriak Faiz.
Suaranya pecah oleh kepanikan. Ia berlutut di samping ibunya, menggenggam tangan keriputnya yang sudah mulai dingin.
“Ibu, bangun! Faiz di sini! Faiz pulang bu!”
Ibunya membuka mata yang terlihat lemah dan tersenyum, meskipun senyumnya tampak dipaksakan.
“Faiz… anakku.” Suara ibunya serak dan lemah. “Maafkan Ibu… Ibu tidak bisa bertahan lebih lama, Nak.”
Air mata Faiz mengalir deras.
“Jangan bilang begitu, Bu! Kita masih punya waktu bersama! Aku akan lulus kuliah dan membuat Ibu bangga sam Faiz, Bu!”
Ibunya menggeleng pelan. “Ibu bangga sama Faiz sekarang… kamu sudah menjadi anak yang hebat. Ingatlah untuk selalu kuat dan teruskan impianmu.”
Kata-kata itu bak pisau yang siap memuncratkan darah. Faiz tidak bisa mendengar itu,Ia ingin ibunya tetap bersamanya. Di saat itu, semua kenangan indah Bersama ibunya melintas dalam pikirannya, momen-momen Ketika ibunya mengajarinya cara memasak, saat mereka tertawa Bersama di dapur, dan saat ibunya selalu ada untuk mendengarkan keluh kesahnya.
Nafas ibunya semakin lemah, badannya semakin digin dan pucat, Faiz merasakan dunia sekitarnya mulai bergetar. Ia mengggenggam tangan ibunya lebih erat lagi, berharap bisa memberikan sedikit kehangatan untuk menguatkannya. Namun semua usaha itu sia-sai.
“Ibu… jangan pergi,” bisiknya sambil menahan isak tangis.
“Faiz gabisa hidup tanpa iIbu.”
Kehilangan ini menghantam Faiz dengan keras seperti gelombang laut tang menerjang karang. Dia merasa seolah seluruh dunia runtuh di sekelilingnya. Kesedihan menyelimuti hatinya seperti kabut tebal yang tak kunjung sirna.Dalam momen itu, semua haraoan dan Impian yang pernah dia miliki terasa hancur berkeping-keping. Dia merasakan kesepian yang mendalam dan ketidakberdayaan yang luar biasa, seolah dai adalah satu-satunya orang di dunia ini yang merasakan sakit ini.
Di Tengah keramaian pemakaman, saat semua orang memberikan penghormatan terakhir kepada ibunya, Faiz berdiri terpaku di samping jenazah ibunya dengan air mata membasahi pipinya. Dia merasas seperti bayangan yang hilang dalam keramaian, tidak ada lagi pelukan hangat dari ibunya atau suara lembut memanggil namanya.
“Ibu… kenapa harus pergi?” isaknya pelan saat dia menatap tanah yang mulai menutupi jenazah ibunya. Dalam hatinya, dia berjanji untuk terus mengenang ajaran dan cinta yang telah diberikan ibunya selama ini.
Berbulan-bulan setelah pemakaman, hidup Faiz terus diliputi kesedihan. Ia merasa seolah dunia ini kehilangan makna dan kesedihan menyelimuti setiap harinya. Bahkan saat Ia melaksanakan wisuda yang seharusnya adalah momen paling bahagia, hanya dianggap acara biasa tanpa makna. Segala sesuatu terasa hampa tanpa kehadiran ibu di sisinya.
Faiz yang selalu menengangkan pikirannya di pinggiran jalan dengan segelas kopi hitam yang dibelinya tanpa gula sedikipun, tiba-tiba datang seorang perempuan cantik dengan baju tertutupnya yang Bernama Aira. Aira datang menawarkan dagangannya yaitu donat dengan berbagai macam rasa. Faiz dan Aira tanpa diduga berbincang tanpa arah tujuan, mereka memiliki masalah yang sama yaitu menjadi seorang yatim piatu dan hidup di kota orang. Aira memiliki sifat yang lembut dan penuh perhatian yang mengingatkannya pada almarhum ibu.
“Faiz,” kata Aira dengan senyum tulusnya,
“Aku suka sekali melihat orang-orang saling membantu.”
“Ya,” jawab Faiz dengan nada sedih, “tapi kadang aku merasa sendirian.”
Aira mendengarkannya dengan penuh perhatian dan memberikan semangat yang cukup untuk membeuatnya bangkit Kembali.
“Kamu tidak sendirian,” kata Aira suatu malam saat mereka duduk bercengkerama di taman kota.
“Aku akan selalu ada untukmu.”
Kehadiran Aira mebawa warna baru dalam hidup Faiz. Ia mulai merasa bahwa meskipun telah kehilangan ibunya, cinta dan dukungan dari orang lain masih ada di sekitarnya.
Setiap kali mereka Bersama, tawa dan ceria baru mengisi ruang kosong di hatinya.Seiring waktu berjalan, Faiz dan Aira semakin dekat. Mereka mulai cerita tentang kehidupan masing-masing dan mendukung satu sama lain.
Aira selalu ada untuk memberikan dukungan dan membuat Faiz merasa dihargai. Dalam diri Aira, Faiz melihat sosok ibunya, sosok penuh kasih saying dan pengertian.
Akhirnya, setlah beberap bulan kenal dan merasa cocok, Faiz melamar Aira dalam suasana sederhana namun penuh makna di tempat pertama kali mereka bertemu.
“Aira,” katanya penuh harap, “apakah kamu mau menjadi pendamping hidupku?”
Aira menerima lamaran itu dengan senyum Bahagia.
“Tentu saja, Faiz! Aku ingin berbagi hidup bersamamu!”
Kebahagian itu menyelimuti sepanjang jalan saat Faiz mengantar Aira pulang. Sampai tidak disadari insiden yang sebelumnya tidak ada di pikiran merka terjadi. Faiz dan Aira mengalami kecelakan beruntun dengan truck bermuatan berat.
“AIRAAAAAA…!” teriak Faiz lantang memanggil calon istrinya yang terlindas ban depan truck. Suara gemuruh manusia terdengar jelas menyaksikan kejadian malang ini.
“Aira!!!“ teriak Faiz lemah tak berdaya melihat darah bercucuran ditubuhnya dan kepala Aira yang sudah hancur berkeping-keping.
Hari itu adalah hari terakhir bagi Faiz untuk merasakan kebersamaan dengan Aira. Faiz kembali kehilangan orang yang dicintainya. Berbulan-bulan Faiz menjalani hidup tanpa arah, badan yang tak terawat, pikiran entah kemana. Sampai pada akhirnya, pikirannya tidak terkontrol. Faiz membuat onar di lingkungan tempat tinggalnya yang membuat orang lain resah. Dan ternyata Faiz divonis mengalami gangguan jiwa.
Kini, hidup Faiz berjalan tidak beraturan, layaknya manusia tanpa arah tujuan
TAMAT
*****
Pesan moral:
- Ketahanan dalam Kesulitan: Meskipun Faiz mengalami banyak kehilangan, ia tetap berjuang untuk mencapai impiannya. Ini menunjukkan bahwa ketahanan dan semangat untuk terus berjuang sangat penting dalam menghadapi cobaan hidup.
- Nilai Dukungan Sosial: Kehadiran Aira dalam hidup Faiz menggambarkan betapa pentingnya dukungan dari orang lain. Teman dan orang terkasih dapat memberikan semangat dan harapan saat kita merasa sendirian.
- Menghadapi Kehilangan: Cerita ini juga mengajarkan bahwa kehilangan adalah bagian dari kehidupan, tetapi penting untuk mengenang dan menghargai cinta serta ajaran yang ditinggalkan oleh orang yang kita cintai.
- Pentingnya Harapan: Meskipun hidup Faiz berakhir tragis, perjalanan hidupnya mengingatkan kita bahwa harapan dan cinta dapat memberikan kekuatan untuk bertahan, meskipun dalam situasi yang paling sulit sekalipun.
- Menurut anda ada lagi pelajaran yang bisa diambil dari kisah tersebut? Tulis di kolom komentar!