Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
EkonomiMimbar Mahasiswa

Dilema PHK Massal: Antara Efisiensi dan Kemanusiaan

×

Dilema PHK Massal: Antara Efisiensi dan Kemanusiaan

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Oleh: Halliza Sekar Nariswari, Mahasiswi Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).

Di Indonesia hal-hal mengenai ketenagakerjaan diatur secara konstitusional pada pasal 27 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945. Pasal tersebut mengatur mengenai hak setiap warga negara dalam memperoleh pekerjaan dan kehidupan yang layak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Selain pada pasal 27 Ayat (2) UUD 1945, terdapat pasal yang menegaskan bahwa setiap individu berhak untuk bekerja serta menerima upah dan perlakuan adil serta layak dalam hubungan kerja, yakni pasal 28D Ayat (2) hasil amandemen kedua UUD 1945.

Example 300x600

Meskipun sudah diatur dalam pasal-pasal diatas, realitanya berbanding terbalik dengan apa yang terjadi pada awal tahun 2025, dimana ribuan bahkan puluhan ribu pekerja harus kehilangan pekerjaannya karena terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Massal. Tahun 2025 baru saja dimulai namun sudah lebih dari 40.000 pekerja mengalami mimpi buruk harus kehilangan pekerjaannya. Data tersebut dilansir dari web Asosiasi Pengusaha Indonesia.

Pill pahit harus ditelan oleh puluhan ribu pekerja dari 38 perusahaan atau pabrik yang dinyatakan pailit. Bahkan gelombang PHK pada triwulan pertama tahun 2025 tak pandang bulu, baik perusahaan besar seperti Sritex maupun perusahaan kecil dengan lantang menyebutkan bahwa salah satu penyebab perusahaan gulung tikar adalah kondisi perekonomian negara yang memburuk. Gelombang PHK ini awal mula terjadi pada bulan Januari 2025, namun hingga bulan Maret PHK secara massal masih saja menjadi momok menakutkan bagi para pekerja. Bahkan hal ini bisa berlangsung pada bulan-bulan berikutnya, karena kondisi ekonomi negara yang semakin memburuk bukanlah satu-satunya penyebab utama peristiwa ini. Faktor atau penyebab banyak perusahaan di Indonesia dinyatakan pailit, selain karena memburuknya perekonomian negara Indonesia adalah karena penurunan daya beli masyarakat yang berdampak pada turunnya permintaan baik barang maupun jasa.

Akibatnya, mau tidak mau perusahaan akan menghadapi penurunan yang cukup signifikan terhadap pendapatan dan hal ini dapat menjadi alasan kuat bagi perusahaan untuk melakukan PHK agar dapat mengurangi biaya oprasional. Selain dua faktor tersebut, faktor lain yang menyebabkan gelombang PHK besar-besaran adalah kenaikan pajak pertambahan nilai dan pembatasan subsidi pemerintah.

Kenaikan pajak dapat meningkatkan biaya produksi, hal ini bisa berdampak buruk bagi keuntungan dan daya saing produk. Sedangkan pembatasan subsidi berdampak bagi masyarakat karena dapat menyebabkan peningkatan pada biaya hidup. Dari berbagai macam penyebab PHK Massal yang sudah disebutkan diatas tidak dipungkiri bahwa peristiwa ini menciptakan dilema antara efisiensi perusahaan dan kemanusiaan.

Mari kita tinjau PHK yang terjadi di Indonesia dari aspek efisiensi dan aspek kemanusiaan. Kedua aspek tersebut dapat menjadi tantangan yang cukup serius bagi pemerintah dan perusahaan. Sejatinya meningkatkan efisiensi dapat memberikan dampak positif terhadap daya saing, namun pemerintah dan perusahaan tidak boleh mengabaikan kesejahteraan karyawan.

Oleh karena itu, adanya kebijakan yang lebih seimbang untuk mengatur kedua aspek tersebut sangat diperlukan sehingga dapat meminimalisir PHK Massal. Namun sayangnya belum ada kebijakan atau bahkan undang-undang yang tegas untuk mengatur keselarasan aspek efisiensi dan aspek kemanusiaan dalam hal ketenagakerjaan Indonesia. Kondisi seperti ini tercermin dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 tahun 2021. Pada PP tersebut disebutkan bahwa perusahaan dapat melakukan PHK atas dasar efisiensi.

Pada akhirnya, Peraturan Pemerintah Nomor 35 tahun 2021 seringkali digunakan oleh perusahaan untuk memberhentikan pekerja profesional dan menggantikannya dengan pekerja baru, dengan harapan agar bisa digaji lebih murah. Dengan adanya peristiwa ini, timbul berbagai pertanyaan tentang keadilan dalam praktik ketenagakerjaan. Penerapan Undang-Undang Cipta Kerja dinilai kurang berpihak kepada pekerja, karena Undang-Undang Cipta Kerja memberikan kemudahan bagi perusahaan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Tentunya ini akan menimbulkan kekhawatiran mengenai kurangnya dialog antara pengusaha dan karyawan, prosedur pemberitahuan yang tidak memadai, serta risiko penghentian hubungan kerja secara sepihak dan tidak adil. Diakibatkan penerapan Undang-Undang ini perusahaan dapat dengan mudah memberhentikan sepihak dan mengabaikan proses negosiasi atau jalur hukum dalam situasi tertentu.

Jika perusahaan melakukan PHK Massal namun tidak melalui proses yang sudah diatur, maka hal ini akan memiliki dampak negatif terhadap moral pekerja, tidak terkecuali pekerja yang masih bekerja di perusahaan tersebut. Dapat dikatakan demikian karena pekerja yang tidak terkena PHK Massal akan merasa berada di posisi yang kurang aman dalm artian PHK Massal akan menciptakan suasana yang kurang menyenangkan. Hal ini dapat berdampak negatif pada perilaku kerja, motivasi kerja dan penurunan kinerja.

Selain berdampak pada kesejahteraan setiap individu, PHK Massal juga berdampak secara langsung pada kesejahteraan keluarga. Terjadinya penurunan pendapatan dapat mengacaukan stabilitas sosial. Bayang-bayang kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar menghantui para pekerja yang terkena gelombang PHK. Hal ini menyebabkan peningkatan ketidakpuasan sosial dan meningkatkan angka kemiskinan.

Setelah membicarakan mengenai berbagai penyebab PHK Massal dan dampaknya terhadap para pekerja. Mari kita bicarakan mengenai PHK massal yang sering dipandang sebagai solusi untuk meningkatkan efisiensi operasional perusahaan. Namun, keputusan ini menimbulkan dilema moral: apakah efisiensi finansial harus mengorbankan kesejahteraan manusia?

Berbagai argumen menyebutkan bahwa Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan strategi yang efektif dalam restrukturisasi perusahaan. Hal ini dimaksudkan agar perusahaan dapat lebih efisien dan memiliki daya saing yang bagus dalam jangka panjang. Meskipun PHK secara Massal dipandang sebagai langkah cepat untuk meningkatkan efisiensi perusahaan, namun jika ditinjau secara keseluruhan malah dapat merugikan perekonomian.

Oleh karena itu, diperlukan adanya peran aktif pemerintah dan pemangku kepentingan untuk mencari solusi yang dapat menengahi antara kedua belah pihak (pekerja dan perusahaan) guna meminimalkan dampak negatif yang akan ditimbulkan setelah PHK Massal terjadi. Seperti yang sudah di bicarakan pada paragraf sebelumnya, pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan regulator memiliki peran yang cukup dalam mengurangi angka PHK serta memikirkan bagaimana langkah untuk menciptakan peluang kerja baru.

Menyediakan paket stimulus ekonomi dapat menjadi salah satu langkah strategis dalam mendukung keberlanjutan usaha baik usaha kecil, menengah dan bahkan usaha besar. Stimulus tersebut dapat berupa insentif yang didalamnya memuat subsidi gaji, pengurangan pajak atau bantuan langsung secara tunai kepada perusahaan yang terdampak krisis. Stimulus ini diharapkan dapat menjadi solusi untuk menjaga kestabilan operasional perusahaan.

Dengan ini diharapkan perusahaan tidak perlu sampai melakukan PHK Massal terhadap pekerjanya. Salah satu langkah pemerintah Indonesia dalam menjawab permasalahan pengangguran adalah dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2013 tentang Perluasan Kesempatan Kerja (PP Perluasan Kesempatan Kerja). Selain itu, dengan berdirinya Balai Besar Pengembangan Pasar Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja dengan didasarkan pada Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 24 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Besar Pengembangan Pasar Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja, dan juga menerbitkan Rencana Strategi Kementerian Ketenagakerjaan Tahun 2020-204015.

Disamping itu, menciptakan iklim investasi yang baik juga menjadi tanggung jawab pemerintah dan pemangku kepentingan dalam perekonomian. Masih diperlukannya pihak asing maupun domestik yang menanamkan investasi di Indonesia adalah faktor yang mendorong terjadinya reformasi birokrasi agar dapat mengurangi hambatan pada birokrasi.

Memiliki ketrampilan relevan yang sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja merupakan nilai tambahan yang dimiliki oleh para pekerja. Dalam hal ini pemerintah dapat memberikan dukungannya dengan implementasi mengadakan program pendidikan ulang dan pelatihan yang disebut dengan reskilling dan upskilling.

Dengan syarat prgram tersebut dapat di ikuti oleh pekerja yang terkena PHK dan pekerja yangm berkeinginan meng-upgrade kemampuannya, karena tidak menutup kemungkinan bahwa kebutuhan pasar tenaga kerja akan terus berkembang. Program ini telah dilaksanakan di beberapa negara, seperti Singapura, yang memfokuskan pada pelatihan untuk sektor digital dan teknologi.

PHK sejatinya merupakan pemutusan hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja. Hal ini menyebabkan berakhirnya hak dan kewajiban yang terjalin antara kedua belah pihak tersebut. Proses Pemutusan Hubungan Kerja harus dilaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku. Perusahaan harus memberikan alasan yang jelas, perusahaan harus memberikan hak-hak pekerja sesuai dengan ketentuan yang berlaku seperti, besaran pesangon disesuaikan dengan alasan terjadinya PHK, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak dan surat keterangan.

Jika hal-hal tersebut tidak dilaksanakan oleh perusahaan, maka pekerja yang terkena gelombang PHK dapat melaporkan perusahaan ke Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) setempat. Namun sebaiknya perusahaan harus mempertimbangkan langkah efisien lain sebelum memutuskan untuk melakukan PHK. Karena terjadinya PHK akan sangat berdampak bagi perusahaan itu sendiri, pekerja dan perekonomian negara.

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *