Oleh: Muhammad Fikri,
Mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam 2023 UIN Salatiga
Keluarga adalah unit sosial terkecil yang menjadi tempat pertama bagi seseorang untuk berkomunikasi, memahami emosinya, dan membangun hubungan dengan orang lain. Namun, ketika struktur keluarga berantakan, atau sering disebut sebagai “rumah yang hancur”, dinamika komunikasi dalam keluarga cenderung berubah secara signifikan. Perubahan ini berdampak besar pada semua anggota keluarga, terutama anak-anak, yang paling rentan.
Dalam Keluarga broken home, Ketegangan emosional yang dihasilkan dari konflik orang tua sering kali menyebabkan hambatan dalam pola komunikasi keluarga yang terputus rumah. Komunikasi antara anggota keluarga cenderung bersifat defensif atau bahkan terputus sama sekali ketika konflik terjadi secara intens dan berlarut-larut. Hal ini mengurangi kepercayaan keluarga dan menciptakan lingkungan yang tidak baik untuk pertumbuhan psikologis anak. Anak-anak yang berasal dari keluarga yang mengalami kerusakan rumah sering kali merasa terjebak di antara dua pihak yang saling berselisih, sehingga sulit bagi mereka untuk mengungkapkan perasaan mereka secara langsung.
Hilangnya figur otoritas atau panutan yang stabil adalah salah satu masalah utama dalam komunikasi keluarga broken home. Orang tua yang sibuk menyelesaikan masalah pribadi mereka sering kali mengabaikan kebutuhan anak untuk berkomunikasi. Akibatnya, anak-anak mungkin merasa terabaikan atau bahkan menyalahkan perpecahan keluarga mereka sendiri. Dalam beberapa situasi, anak-anak mencari cara untuk melarikan diri dari situasi luar yang tidak selalu menguntungkan, seperti pergaulan bebas atau penggunaan media sosial yang berlebihan, yang justru memperburuk isolasi emosional mereka.
Namun, tidak semua keluarga yang mengalami kegagalan dalam membangun komunikasi yang sehat mengalami masalah ini. Beberapa keluarga mengatasi masalah ini dengan menggunakan pendekatan yang lebih inklusif dan komunikatif. Orang tua yang bercerai tetapi tetap berhubungan baik satu sama lain, misalnya, dapat membangun lingkungan yang aman bagi anak-anak mereka. Langkah penting untuk memperbaiki dinamika komunikasi dalam keluarga yang kehilangan rumah adalah melibatkan anak-anak dalam proses diskusi yang relevan dan memberikan mereka ruang untuk berbicara tanpa takut.
Selain itu, dukungan dari sumber luar, seperti konseling keluarga, dapat membantu memperbaiki pola komunikasi yang terganggu. Terapi keluarga memberikan lingkungan aman di mana setiap anggota keluarga dapat mengungkapkan perasaan mereka dan memahami pendapat satu sama lain. Keluarga yang mengalami kerusakan rumah dapat membangun ulang pola komunikasi yang lebih sehat dan mendukung dengan bantuan ahli.
Pada akhirnya, tidak mustahil untuk menciptakan hubungan yang lebih baik di antara anggota keluarga, meskipun dinamika komunikasi keluarga broken home cenderung menghadapi banyak masalah. Keluarga yang kehilangan rumah tetap memiliki peluang untuk membangun komunikasi yang positif dan penuh kasih sayang dengan komitmen untuk saling mendengarkan, menghormati, dan bekerja sama. Transformasi ini memengaruhi kesejahteraan anak secara langsung dan membentuk hubungan interpersonal mereka di masa depan.