Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
Opini

Gen Z dan Kesadaran Politik yang Tumbuh

×

Gen Z dan Kesadaran Politik yang Tumbuh

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Oleh: Zidan F. Rahman, Mahasiswa Universitas Putra Indonesia, IG: @zidanfrahman

Generasi Z semakin sering disebut sebagai generasi yang keluar dari stigma apatis. Jika dulu anak muda dianggap sibuk dengan media sosial dan tren hiburan, kini tanda-tanda pergeseran terlihat jelas. Politik perlahan masuk ke ruang percakapan mereka. Tidak lagi dipandang sebagai urusan orang tua atau sekadar perebutan kursi, melainkan sesuatu yang nyata dirasakan dalam kehidupan sehari-hari.Kesadaran itu lahir dari pengalaman langsung. Harga kopi susu di kafe langganan yang tiba-tiba naik, gaji kerja pertama yang terasa tidak sebanding dengan biaya hidup, hingga tagihan kuliah yang semakin berat. Semua ini membuat anak muda bertanya, mengapa keadaan ini bisa terjadi. Jawabannya hampir selalu kembali pada kebijakan publik.

Example 300x600

Di Twitter, pernah ramai curhatan seorang pekerja muda di Jakarta. Gajinya hanya sedikit di atas upah minimum, tetapi biaya kos dan makan harian sudah menghabiskan lebih dari separuh penghasilannya. Komentar yang muncul menunjukkan kesadaran baru, bahwa standar upah bukan sekadar angka teknis, melainkan hasil keputusan politik. Hal serupa terjadi saat mahasiswa menolak kenaikan Uang Kuliah Tunggal. Mereka sadar, regulasi kementerian bisa langsung memengaruhi nasib ribuan mahasiswa di seluruh Indonesia.

Dari pengalaman itu, Gen Z mulai memahami bahwa politik bukan dunia yang jauh. Ia hadir di meja makan, di saldo rekening, dan di setiap slip gaji. Politik menentukan harga bahan pokok, ongkos transportasi, hingga peluang kerja setelah lulus kuliah. Maka wajar bila semakin banyak anak muda yang bergerak dari apatis menuju partisipatif.

Namun kesadaran ini tidak selalu mulus. Masih ada yang memandang politik sekadar ruang kotor yang penuh intrik. Ada pula yang merasa suara anak muda tidak pernah didengar. Literasi politik yang tidak merata membuat sebagian mudah terseret isu permukaan. Tetapi peluang di depan mata terlalu besar untuk diabaikan. Pada Pemilu 2024, hampir 60 persen pemilih berasal dari generasi milenial dan Gen Z. Dengan jumlah sebesar itu, sulit membayangkan arah politik ke depan tanpa keterlibatan mereka.

Media sosial memberi ruang baru bagi partisipasi. TikTok dan Instagram tidak hanya dipenuhi hiburan, tetapi juga konten edukasi politik. Anak muda kini menjadi produsen opini yang bisa menggiring percakapan publik. Gerakan mahasiswa menolak kenaikan UKT menjadi contoh konkret. Meski tuntutan tidak sepenuhnya tercapai, aksi itu memperlihatkan energi politik yang segar dan keberanian untuk bersuara.

Pada titik ini, politik tidak bisa lagi dipandang sebagai sesuatu yang jauh. Ia hadir di biaya kuliah, harga kopi, hingga ongkos transportasi harian. Diam berarti menyerahkan masa depan pada orang lain. Nelson Mandela pernah mengatakan, politik dapat digunakan untuk mengubah dunia sekaligus memperbaiki kehidupan orang-orang yang tidak berdaya. Kutipan itu terasa relevan bagi Gen Z yang kini berada di persimpangan.

Kesadaran politik yang lahir dari pengalaman sehari-hari harus dijaga. Gen Z perlu lebih dari sekadar menjadi komentator di media sosial. Mereka harus berani masuk ke ruang organisasi, komunitas, dan advokasi. Politik memang tidak selalu bersih, tetapi masa depan tidak bisa dititipkan pada generasi sebelumnya. Ia harus diperjuangkan sekarang, dengan keberanian untuk peduli dan ikut menentukan arah.

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *