Oleh: Ahmad Yusron Chasani
Blundernya Gus Miftah sebenarnya merupakan hal yang patut kita syukuri, karena memang ternyata masih banyak orang yang belum mengetahui kultur yang terjadi di pengajian-pengajian semacam itu dengan konsekuensinya adalah semakin banyaknya orang yang mengerti akan arti kemanusiaan, memuliakan sesama manusia, hingga menghargai segala macam bentuk pekerjaannya, sehingga prinsip egaliter islam mulai banyak dipahami.
Kita dapat menarik analisis kejadian ini melalui beberapa sudut pandang yang penulis anggap sebagai proses pembentukan kultur pengajian di masyarakat, antara lain: pertama, idealitas dakwah jamaah (Pengajian). Ekspektasi masyarakat kita dalam sebuah pengajian adalah munculnya suatu pencerahan sekaligus hiburan. Pencerahan dalam hal ini adalah wasiat-wasiat baik yang disampaikan pendakwah, dan hiburan dalam hal ini adalah guyonan atau dalam Bahasa jawa yaitu “ger-ger an”. Guyonan inj diselingkan di dalam pengajian bertujuan untuk menghilangkan kantuk dan penat Masyarakat. Karena memang, pengajian biasanya dilakukan di malam hari, jika tidak diselingi guyonan Masyarakat ngantuk dan pulang. Tentunya ini bukanlah tujuan dakwah jika tanpa adanya Mad’u (orang yang di dakwahi).
Kedua, asal muasal guyonan. Guyonan atau ger ger an ini bermula dari kultur pesantren salaf yang memang biasanya melakukan guyonan baik di dalam maupun luar kelas. Guyonan ini sebagai bentuk hiburan yang biasa dilakukan santri, dan memang guyonan ini sebenarnya merupakan bentuk implementasi dari kematangan secara spiritual dan kematangan dalam Tingkat tawakkal. Inti daripada itu semua adalah bagaimana para santri ini tidak lagi mengkhawatirkan hal-hal yang memang sudah menjadi wewenang Yang maha kuasa.
Sebagai ‘orang pesantren’, penulis merumuskan setidaknya ada dua jenis guyon yang sebenarnya problematik, tapi terus menerus dinormalisasi. Pertama, guyonan yang sebetulnya adalah bullying, seperti yang dialami Pak Sonhaji ketika di-prank dan diteriaki ‘goblok’ saat berjualan es teh di depan banyak orang. Kasus ini adalah bullying yang dibalut dalam ‘guyonan dakwah’, karena ger-ger an yang diinginkan mengorbankan orang lain untuk ditertawakan dan diinjak-injak kemanusiaannya.
Kedua, guyonan yang sebenarnya adalah cabul. Guyonan semacam ini biasanya terdengar ketika pelaksanaan kajian kitab-kitab yang berisikan pengetahuan tentang berhubungan seksual. Kalimat-kalimat yang berisikan nafsu birahi dilontarkan tanpa ada sedikitpun rasa malu di dalamnya. Para pelaku biasanya berlindung dibalik kata “pendidikan seksual” ketika melakukannya. Dan memang yang membuatnya tampak normal lagi-lagi adalah gelak tawa audiens, sungguh miris. Guyonan problematik yang dilontarkan oleh Gus Miftah telah memunculkan berbagai reaksi dari masyarakat, mulai dari dukungan hingga kritik tajam.
Dalam konteks ini, guyonan tersebut dapat dianggap problematik karena menyentuh isu-isu sensitif yang berpotensi melukai perasaan kelompok tertentu. Untuk memahami fenomena ini, kita dapat meninjaunya menggunakan teori medan Kurt Lewin dan teori kepribadian Erik Erikson.Perspektif Teori Medan Kurt LewinTeori medan Kurt Lewin berfokus pada dinamika lingkungan dan individu sebagai suatu sistem yang saling memengaruhi. Menurut Lewin, perilaku seseorang adalah hasil interaksi antara individu (P) dan lingkungannya (E), yang dirumuskan dalam model B = f (P, E).
Dalam kasus Gus Miftah, perilaku berupa guyonan problematik dapat dilihat sebagai produk dari medan psikologisnya, yaitu interaksi antara kepribadian, nilai-nilai yang ia anut, serta pengaruh sosial di sekitarnya.Sebagai seorang tokoh agama, Gus Miftah sering berinteraksi dengan beragam kelompok masyarakat. Guyonan yang ia lontarkan mungkin dimaksudkan untuk mencairkan suasana atau mendekatkan diri kepada audiens tertentu. Namun, dalam konteks medan psikologis yang lebih luas, masyarakat yang mendengar guyonan tersebut memiliki latar belakang sosial, budaya, dan keyakinan yang berbeda-beda.
Ketidaksesuaian antara maksud Gus Miftah dan persepsi masyarakat inilah yang menciptakan konflik. Teori Lewin juga menyoroti konsep “hambatan” dalam medan psikologis. Hambatan ini bisa berupa norma sosial, ekspektasi publik, atau sensitivitas audiens terhadap isu tertentu. Ketika Gus Miftah melontarkan guyonan, ia mungkin tidak sepenuhnya mempertimbangkan hambatan-hambatan ini, sehingga perilakunya dianggap problematik oleh sebagian pihak.
Perspektif Teori Kepribadian Erik Erikson
Teori Erik Erikson menekankan perkembangan kepribadian melalui delapan tahap kehidupan yang masing-masing melibatkan konflik psikososial. Dalam konteks Gus Miftah, relevansi teori ini dapat dilihat pada tahap kedewasaan, di mana konflik utamanya adalah antara generativity (memberikan kontribusi kepada masyarakat) dan stagnation (ketidakbermaknaan).
Sebagai seorang tokoh publik, Gus Miftah mungkin berusaha menunjukkan generativity melalui ceramahnya, termasuk guyonan yang ia gunakan untuk menarik perhatian audiens. Namun, jika isi guyonan tersebut dianggap tidak sesuai dengan norma masyarakat atau melukai kelompok tertentu, hal ini dapat menciptakan persepsi bahwa ia gagal memenuhi harapan kolektif untuk memberikan kontribusi positif.
Selain itu, Erikson juga menyoroti pentingnya identitas dan integritas. Gus Miftah, sebagai pribadi yang dikenal karena pendekatan dakwahnya yang santai, mungkin merasa bahwa gaya humor adalah bagian dari identitasnya. Namun, kritik yang muncul menunjukkan bahwa ada jarak antara identitas yang ia tampilkan dan harapan masyarakat terhadap seorang pemuka agama.Refleksi kasusBaik teori medan Kurt Lewin maupun teori kepribadian Erik Erikson memberikan wawasan bahwa guyonan problematik ini muncul dari kompleksitas interaksi antara individu dan lingkungannya, serta dinamika perkembangan kepribadian.
Sebagai solusi, Gus Miftah dapat lebih mempertimbangkan medan psikologis audiensnya, termasuk sensitivitas sosial dan budaya yang beragam. Ia juga dapat merefleksikan perannya sebagai tokoh publik, memastikan bahwa setiap perkataan yang ia lontarkan mencerminkan integritas pribadi dan tanggung jawab sosial.
Dengan pendekatan yang lebih bijaksana, Gus Miftah dapat tetap menjadi tokoh yang relevan tanpa menimbulkan kontroversi yang tidak perlu. Hal ini tidak hanya akan menjaga reputasinya, tetapi juga memperkuat kepercayaan masyarakat terhadapnya sebagai seorang pemimpin spiritual.