Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
Mimbar Mahasiswa

Harmonisasi Sains dan Agama

×

Harmonisasi Sains dan Agama

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Oleh: Ayyub Fatwa Ibrahim, Mahasiswa Pendidikan Kimia UIN Walisongo Semarang

Dunia modern sering memposisikan sains dan agama sebagai dua kutub yang berseberangan—seolah keduanya adalah air dan minyak yang tak mungkin bersatu. Sains dianggap sebagai representasi logika dan bukti empiris, sementara agama dipandang sebagai wilayah dogma dan keyakinan subjektif. Namun, jika kita menyelami sejarah peradaban Islam, kita justru menemukan sebuah narasi yang sama sekali berbeda: sains dan agama bukanlah musuh, melainkan dua sisi dari mata uang yang sama.

Example 300x600

Al-Qur’an bukan sekadar kitab suci yang berisi petunjuk spiritual, tetapi juga ensiklopedia ilmiah yang menginspirasi eksplorasi sains. Ketika ayat-ayat seperti “Dan Kami turunkan air dari langit dengan ukuran, lalu Kami simpan di bumi…” (QS. Al-Mu’minun: 18) dibaca oleh para ilmuwan Muslim klasik, mereka tidak hanya melihatnya sebagai metafora religius, tetapi juga sebagai undangan untuk meneliti siklus hidrologi.

Fenomena alam yang disebutkan dalam Al-Qur’an—seperti pembentukan embrio (QS. Al-Mu’minun: 12-14), pergerakan gunung (QS. An-Naml: 88), atau perluasan alam semesta (QS. Adz-Dzariyat: 47)—telah memicu keingintahuan intelektual yang melahirkan disiplin ilmu seperti embriologi, geologi, dan kosmologi. Ini membuktikan bahwa Al-Qur’an tidak pernah anti-sains, melainkan justru merangsang nalar manusia untuk menguak rahasia alam.

Zaman Keemasan: Ketika Ilmuwan dan Ulama Bersatu

Bayangkan sebuah zaman di mana seorang astronom seperti Al-Battani (850-929 M) dengan tekun mengamati pergerakan bintang sambil menghafal Al-Qur’an. At au Ibnu Sina (980-1037 M), yang tidak hanya menulis Al-Qanun fi al-Tibb (standar kedokteran Eropa selama 600 tahun), tetapi juga karya-karya filsafat dan tafsir. Inilah wajah sesungguhnya dari peradaban Islam klasik: tidak ada dikotomi antara laboratorium dan masjid. Pusat-pusat ilmu seperti Bayt al-Hikmah di Baghdad atau Universitas Al-Qarawiyyin di Maroko menjadi saksi bagaimana sains berkembang di bawah payung nilai-nilai Islam.

Di sini, matematika, kimia, astronomi, dan kedokteran dipelajari dengan semangat “mengenali Allah melalui ciptaan-Nya”—sebuah pendekatan yang disebut ‘ilm al-kaun (ilmu kosmos). Namun, hubungan sains dan agama tidak selalu mulus. Di era modern, beberapa temuan sains—seperti teori evolusi atau ledakan besar (Big Bang)—dianggap bertentangan dengan ajaran agama oleh sebagian kalangan. Padahal, jika ditelusuri lebih dalam, banyak ilmuwan Muslim kontemporer seperti Mehdi Golshani atau Nidhal Guessoum telah menunjukkan bahwa konflik ini lebih bersifat penafsiran daripada substansi.

Misalnya, Al-Qur’an menyebutkan bahwa “langit dan bumi dahulu menyatu, lalu Kami pisahkan” (QS. Al-Anbiya: 30). Ayat ini ternyata selaras dengan teori Big Bang. Begitu pula dengan teori evolusi—banyak cendekiawan Muslim yang berpendapat bahwa evolusi tidak menafikan keberadaan Tuhan, melainkan justru menunjukkan mekanisme penciptaan yang dinamis. Lantas, bagaimana seharusnya umat Islam menyikapi perkembangan sains modern?. awabannya terletak pada pendekatan integratif, di mana: (1) Sains dipelajari sebagai bagian dari ibadah, karena menyingkap hukum alam sama dengan memahami kebesaran Allah. (2) Agama menjadi kompas etika, memastikan kemajuan sains tidak digunakan untuk kehancuran (seperti senjata biologis atau rekayasa genetik yang tidak bermoral). (3) Dialog antara ulama dan ilmuwan harus terus dibangun, agar tidak terjadi kesenjangan penafsiran.

Di tengah krisis ekologi, pandemi, dan disrupsi teknologi, dunia membutuhkan paradigma sains yang tidak hanya cerdas, tetapi juga beradab. Di sinilah Islam dapat memberikan kontribusi unik: mengembalikan sains kepada tujuan sucinya, yaitu sebagai alat untuk memakmurkan bumi (imarat al-ard) dan bukan merusaknya.

Ketika seorang ilmuwan Muslim meneliti sel punca, ia melakukannya dengan kesadaran bahwa ia sedang mengungkap tanda-tanda kebesaran Allah. Ketika seorang fisikawan mempelajari mekanika kuantum, ia melihatnya sebagai jalan untuk memahami keteraturan ilahi. Inilah harmoni sejati antara sains dan agama—bukan pertentangan, tetapi kolaborasi yang melahirkan kemaslahatan. “Sains tanpa agama lumpuh, agama tanpa sains buta,” kata Einstein.

Dalam konteks Islam, kita bisa mengatakan: “Sains tanpa hidayah akan tersesat, agama tanpa ilmu akan terjebak pada formalisme.” Tugas kita sekarang adalah merajut kembali hubungan suci antara mesjid dan laboratorium, agar peradaban Islam dapat kembali memimpin dunia—bukan dengan pedang, tetapi dengan pengetahuan dan kebijaksanaan.

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *