Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
HukumOpini

Indonesia Gelap, Hukum Lenyap

×

Indonesia Gelap, Hukum Lenyap

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Oleh: Abdurrahman Syafrianto, M.H., Pengajar di Pesantren-Sekolah Alam Planet Nufo Rembang, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Unissula, Advokat di Noer’s Law Office

Gelombang kekecewaan rakyat Indonesia terhadap pemerintah semakin hari semakin tak terbendung. Berbagai aksi protes dan tagar viral di media sosial, seperti #IndonesiaGelap dan #KaburAjaDulu. Aksi protes dan tagar #IndonesiaGelap dan #KaburAjaDulu ini menjadi bukti nyata betapa rakyat Indonesia sudah muak dengan kondisi yang ada.

Example 300x600

Tagar #IndonesiaGelap muncul sebagai simbol dari ketidakpastian dan ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat. Aksi demonstrasi dan berbagai bentuk protes lainnya menjadi wadah bagi rakyat untuk menyuarakan aspirasi mereka. Mereka menuntut perubahan, keadilan, dan kepastian hukum yang selama ini terasa jauh dari harapan.

Sementara itu, tagar #KaburAjaDulu menjadi ekspresi kepasrahan dan kekecewaan yang mendalam. Banyak rakyat yang merasa tidak memiliki harapan lagi untuk hidup di Indonesia, sehingga memilih untuk mencari kehidupan yang lebih baik di luar negeri. Fenomena ini menjadi ironi tersendiri, karena rakyat yang seharusnya menjadi aset negara justru merasa lebih baik untuk meninggalkan tanah airnya.

Di tengah gelombang kekecewaan rakyat, pemerintah, baik eksekutif maupun legislatif, alih-alih melakukan introspeksi dan evaluasi diri, justru memberikan respons yang negatif, seperti yang dilakukan Presiden Prabowo kepada yang mengkritik kabinetnya yang gemuk dengan mengakatan ‘ndasmu’.  Selain itu, soal tagar #IndonesiaGelap, Luhut merespon dengan mengatakan bahwa yang mengakatan #IndonesiaGelap itulah yang gelap, bukan Indonesia. Kemudian soal tagar #KaburAjaDulu, Wamenaker Immanuel merespon dengan mengatakan “Kabur sajalah. Kalau perlu jangan balik lagi ”, ditambah lagi dengan respon Bahlil yang meragukan nasionalisme orang-orang yang mengaungkan dan menjalankan tagar #KaburAjaDulu. 

Pemerintah terkesan mengabaikan aspirasi rakyat dengan terus melanjutkan kebijakan-kebijakan yang sejatinya perlu ditinjau ulang dan dievaluasi. Adapun kebijakan-kebijakan hukum yang paling mencolok yang kemudian melahirkan tagar #IndonesiaGelap dan #KaburAjaDulu, karena lebih banyak berdampak buruk bagi rakyat kecil adalah Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 142/P Tahun 2024, Inpres No. 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025, dan Revisi UU Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Inpres No. 1 Tahun 2025 sebagai payung hukum efisiensi anggaran yang digaungkan untuk menyukseskan program Makan Bergizi Gratis (MBG), ternyata hanya tipu muslihat. Sebab, seperti yang dikatakan oleh Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan (BP Taskin) bahwa perkiraan dari hasil efisiensi anggaran sebesar Rp 300 trliun, yang dialokasikan untuk MGB hanya Rp 24 triliun, sedangkan selebihnya akan diinvestasikan ke Badan Pengelolaan Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara).

BPI Danantara ini dibentuk berdasarkan perubahan ketiga atas UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Revisi UU BUMN disetujui menjadi UU dalam rapat paripurna DPR, pada Selasa (4/2/2025). Adapun aturan BUMN terbaru tersebut mengatur tentang tugas dan fungsi Danantara sebagai Badan Pengelola Investasi. Selain itu, pembentukan Danantara juga diperkuat oleh Keppres Nomor 142/P Tahun 2024. Danantara akan diluncurkan pada 24 Februari 2025.

Dalam Revisi UU BUMN yang menjadi payung hukum program Danantara ini terdapat  banyak kejanggalan hukum dan berpotensi menjadi ladang korupsi. Hal ini bisa dilihat dari siapa yang terlibat di dalamnya dan bagaiimana aturan mainnya. Inisiaotor yang sekaligus jadi Ketua Tim Pakarnya adalah mantan narapidana korupsi, kemudian pengawasnya bukan berasal dari penegak hukum, melainkan Ormas Keagamaan dan Presiden sebelumnya yang salah satunya adalah Jokowi yang sudah dinobatkan sebagai salah satu tokoh terkorup dunia.

Selain itu, manakala terjadi dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) di dalam tubuh Danantara,  Bapan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak bisa langsung mengaudit, kemudian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan tidak bisa langsung memeriksa, melainkan harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari DPR RI yang membidangi hal tersebut. Kemudian anehnya lagi, kerugian usaha yang dikelolah Danantara tidaklah termasuk dari kerugian negara, sehingga tidak bisa dimintai pertangjawaban hukum. Ini merupakan upaya pelenyapan hukum untuk memeras rakyat dan meraup keuntungan sebesar-besarnya untuk mereka sendiri.

Maka tidak heran jika efisiensi anggaran dan program Dinantara menjadi sorotan publik, karena dianggap sarat akan kepentingan politik dan kekuasaan. Kedua program ini dinilai berpotensi melanggengkan praktik impunitas bagi para pelaku kejahatan dan mengancam keadilan serta kepastian hukum.

Alih-alih menjadi solusi atas permasalahan yang ada, kedua program ini justru semakin memperburuk kondisi bangsa dan hukum di Indonesia. Hukum yang seharusnya menjadi panglima dalam menegakkan keadilan, kini justru menjadi alat bagi para penguasa untuk melindungi kepentingan mereka sendiri.

Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan. Indonesia yang seharusnya menjadi negara hukum sebagaimana amanat konstitusi, kini justru terjerumus dalam kegelapan hukum. Keadilan dan kepastian hukum menjadi barang langka, sementara kekuasaan dan kepentingan pribadi menjadi lebih utama.

Rakyat yang seharusnya menjadi subjek dari hukum, kini justru menjadi korban dari hukum yang tidak pasti dan tidak adil. Mereka merasa tidak memiliki harapan lagi untuk mendapatkan keadilan di negeri sendiri. Akibatnya, banyak dari mereka yang memilih untuk mencari keadilan di luar negeri atau bahkan memilih untuk tidak lagi percaya pada hukum sama sekali.

Jika kondisi ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin Indonesia akan mengalami krisis kepercayaan yang sangat parah. Rakyat akan kehilangan kepercayaan pada pemerintah dan lembaga penegak hukum. Hal ini tentu akan berdampak pada stabilitas negara dan bahkan dapat memicu konflik sosial yang lebih besar.

Oleh karena itu, pemerintah harus segera bertindak untuk mengatasi krisis kepercayaan ini. Mereka harus mendengarkan aspirasi rakyat dan melakukan introspeksi diri. Efisiensi anggaran dan program Dinantara yang kontroversial harus dievaluasi kembali dan direvisi agar sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan kepastian hukum.

Selain itu, pemerintah juga harus lebih transparan dan akuntabel dalam menjalankan kekuasaan. Mereka harus memastikan bahwa hukum ditegakkan secara adil dan tidak memihak kepada siapa pun. Dengan demikian, rakyat akan kembali percaya pada hukum dan pemerintah.

Indonesia tidak boleh terus terpuruk dalam kegelapan hukum. Hukum harus ditegakkan untuk melindungi hak-hak rakyat dan menciptakan keadilan bagi semua. Jika hukum masih menjadi alat bagi para penguasa untuk melindungi kepentingan mereka sendiri, maka Indonesia akan terus terjerumus dalam kegelapan.

Saatnya bagi pemerintah untuk bertindak dan mengembalikan kepercayaan rakyat pada hukum. Indonesia membutuhkan hukum yang adil, transparan, dan akuntabel. Dengan demikian, Indonesia dapat keluar dari kegelapan dan menuju masa depan yang lebih cerah.

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *