Oleh: Lainy Ahsin Ningih, M.H., Alumnus S2 Ilmu Hukum Unnes, Pengajar di Pesantren-Sekolah Alam Planet NUFO Rembang
Era digital saat ini memberikan kemudahan bagi setiap individu untuk mengakses informasi melalui berbagai platform media online. Melalui media sosial seperti X, Tik tok, Instagram, dan juga Facebook, masyarakat dapat bebas mengekspresikan diri, menyampaikan pendapat, juga berinteraksi dengan orang lain dari berbagai daerah dan latar belakang. Kebebasan ini tentu memiliki sisi positif akan tetapi juga memiliki sisi negatif apabila hal-hal tersebut tidak dilakukan sesuai dengan etika dan hukum yang berlaku dan dosertai dengan kesadaran.
Guna menjaga kedamaian dan ketenteraman dalam dunia maya, etika digital menjadi faktor penting yang dapat mengatur kegiatan tersebut. Ketika berinteraksi atau mengakses dunia maya, ada prinsip dasar yang harus diterapkan, di antaranya, menghindari ujaran kebencian, tidak menyebarkan informasi palsu/hoaks, menghormati privasi orang lain, juga tidak mengandung unsur sara. Banyak sekali konflik atau permasalahan muncul disebabkan oleh unggahan yang asal-asalan dan berujung pada konsekuensi hukum yang haris ditanggung oleh pengunggah.
Selain etika, hukum juga telah mengatur perilaku di dunia digital. DI Indonesia, Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dijadikan sebagai dasar hukum yang mengawasi berbagai aktivitas digital masyarakat. Undang-undang ini memuat berbagai aspek, seperti penyebaran berita bohong (hoaks), pelanggaran privasi, dan pencemaran nama baik. Sayang sekali masih banyak masyarakat yang belum sepenuhnya memahami akibat hukum dari setiap unggahan yang dibuat.
Kasus pelanggaran hukum di ranah digital dapat memberikan dampak yang sangat serius. Misalnya kasus pencemaran nama baik, orang yang melanggarnya dapat mendapatkan tuntutan hukum dengan ancaman pidana. Kasus penyebaran hoaks juga dapat menyesatkan opini publik dan dapat memicu kepanikan. Seringkali orang tidak berpikir panjang sebelum mengunggah sesuatu dan rata-rata menggunakan akun anonim atau samaran. Padahal, dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih, akun-akun samaran tersebut dapat dilacak dan ditemukan pemiliknya.
Jika sudah demikian, maka orang tersebut harus siap dengan segala risiko dan ancaman hukum yang berlaku. Termasuk sanksi sosial di mana unggahan tersebut tentu memiliki rekam jejak yang sulit dihapus dan akan diketahui oleh banyak orang.Sebelum mengunggah sesuatu, seseorang harus berpikir dan memastikan apakah yang akan diunggah dapat memberikan akibat hukum atau tidak.
Pastikan informasi yang dibagi tidak merugikan orang lain, juga tidak melanggar norma sosial maupun hukum. Apabila ragu atau tidak yakin, maka lebih baik menahan diri dan menyimpan informasi tersebut untuk diri sendiri. Rendahnya pemahaman masyarakat terkait UU ITE menjadikan kita untuk turut menyebarluaskan serta memberikan pemahaman kepada mereka yang masih awam.
Edukasi mengenai literasi digital harus lebih gencar dilakukan guna mengurangi kasus pelanggaran hukum di dunia digital. Ketika semua masyarakat telah bijak dalam mengakses dunia digotal dan mematuhi prinsip-prinsipnya, maka secara tidak langsung kita telah menciptakan ruang online yang bermanfaat, aman, dan tidak merugikan orang lain. Dengan begitu, setiap orang tetap bisa bebas mengekspresikan diri dengan catatan-catatan yang telah ditentukan.
Salah satu cotoh kasus pelanggaran hukum di dunia maya adalah kasus pencemaran nama baik. Misal, seseorang menuliskan opini negatif tentang orang lain namun tidak ada bukti yang jelas, maka orang tersebut telah melanggar pasal 27 ayat (3) UU ITE. Kasus lain bahkan berujung dengan jeratan hukum pidana atau denda yang tidak sedikit nominalnya. Ini adalah bukti bahwa kebebasan berekspresi harus diimbangi dengan tanggung jawab agar tidak merugikan orang lain dan diri sendiri.
Cohtoh lain adalah penyebaran hoaks yang memicu kepanikan saat COVID-19 dulu. Banyak sekali informasi simpang siur tentang obat dan penyembuhan yang tidak dengan dasar ilmiah. Tersebarnya informasi ini mengakibatkan banyak orang tertipu dan bahkan mengambil tindakan berisiko atas dasar informasi tersebut. Oleh sebab itu, pengguna media sosial juga harus selektif dan tidak menelan mentah-mentah setiap informasi yang diterima.
Pemerintah memiliki peran dalam menjaga etika dan kepatuhan hukum di duni maya, yakni dengan selalu mengembangkan regulasi sesuai dengan perkembangan teknologi. Fitur-fitur yang telah ada seperti konten bermasalah, penyaringan hoaks, dll harus terus dikembangkan guna menciptakan media yang sehat, bermutu, dan bertanggungjawab.
Edukasi mengenai etika dalam mengakses dunia maya juga dapat dilakukan sejak dini di lingkungan belajar seperti di sekolah. Kurikulum yang digunakan bisa ditambah dengan menanamkan pemahaman tentang dampak sosial dan hukum dari aktivitas yang dilakukan di dunia maya. Pelan-pelan anak akan paham dan bisa bijak dalam bersosial media sehingga tidak terjebak dalam keslaahan yang dapat berakibat fatal.
Kesadaran akan etika dan hukum digital tentu merupakan tanggungjawab bersama. Setiap individu harus memahami dan menerapkan etika ini falam bersosial media. Sudah saatnya dunia digital menjadi tempat yang aman untuk berbagi informasi, berinterksi, dan mengekbangkan kreativitas. Oleh sebab itu, mari bersama-sama membangun budaya digital yang lebih bijak, beretika, dan bertanggungjawab.