Oleh: Amalia Nurhaliza, Mahasiswi Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam
Di suatu desa kecil di pinggir kota, yang dikenal dengan desa sinar mentari tinggallah seorang pemuda bernama Desno. Sejak kecil, ia menggemari dunia komunikasi, ia berangan-angan menjadi seorang jurnalis yang bisa menyuarakan berbagai isu sosial yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Namun, ia menyadari bahwa di dunia nyata, kata-kata tidak selalu berkuasa dan seringkali suara mereka yang paling merana tak pernah terdengar.
Suatu sore, ketika Desno pulang dari kampus ia melewati jalan kecil yang menjadi batas desanya dengan kota. Di sudut jalan, ia mendapati sekelompok warga yang sedang berkumpul. Terlihat di tengah kerumunan itu, tampak seorang wanita tua yang sedang menangis. Ia adalah Bu Marwina, seorang petani yang selama bertahun-tahun menggarap tanah warisan keluarganya.
Penasaran, Desno mendekat dan mendengar berita buruk tersebut, tanah yang digarap oleh Bu Marwina akan diambil alih oleh perusahaan besar untuk dijadikan area pembangunan perumahan. Tanpa berpikir panjang, Desno merasa dirinya terpanggil untuk membantu permasalahan tersebut. Dengan pengetahuannya dan keinginannya menjadi seorang jurnalis, ia bertekad untuk menyoroti masalah ini melalui tulisan.
Desno mulai berusaha menggali informasi karena ia ingin memahami mencari tau bagaimana isu ini dapat diangkatnya, dan bagaimana suara dari Bu Marwina serta para petani lain dapat disampaikan ke masyarakat yang lebih luas.
Seiring berjalannya waktu, Desno mengunjungi rumah Bu Marwina dan para petani lain yang ada di kerumunan sore itu, untuk mengumpulkan cerita pengalaman dan permasalahan mereka. Ia mengajak untuk berdiskusi mengenai rasa kehilangan yang mereka alami, perjuangan mereka untuk mempertahankan tanah yang telah memberi kehidupan pada keluarga mereka selama beberapa generasi. Desno bertekad untuk tidak hanya mendengar saja, tetapi juga menginformasikan dan menyuarakan kepada orang lain.
Berbekal wawancara dan pemahaman yang mendalam mengenai permasalahan sosial ekonomi di sekitarnya, Desno mulai menulis artikel. Ia menggunakan gaya naratif yang menggabungkan fakta dengan emosi, bertujuan untuk menyentuh hati pembaca. Dalam tulisannya, Desno menukil beberapa pendapat para ahli mengenai hak atas tanah dan pentingnya melibatkan suara masyarakat lokal dalam proses pengambilan keputusan.
Setelah beberapa minggu, akhirnya artikel Desno dipublikasikan di surat kabar lokal. Ia berharap tulisannya bisa menggugah kesadaran masyarakat dan mendorong agar ada tindakan lanjut. Namun, reaksi yang diterimanya tidak seperti apa yang ia inginkan. Beberapa orang memuji artikelnya, tetapi banyak juga yang skeptis atau tidak percaya dengan isu tersebut, banyak yang mengatakan bahwa hal ini adalah bagian dari perkembangan yang tak terhindarkan.
Kekecewaan Desno semakin dalam ketika ia melihat Bu Marwina dan para petani lainnya mulai merasa putus ada. Mereka telah berjuang untuk menyuarakan isi hati mereka, tetapi suara mereka merasa seolah dilawan oleh arus pembaharuan yang sangat kuat. Galen kembali mempertanyakan efektivitas dari apa yang telah ia lakukan dengan mengangkat isu ini, apakah benar-benar bisa atau tidak untuk membuat perubahan dan menangani masalah ini?
Dengan semangat yang tak kunjung padam, Desno memutuskan untuk melakukan langkah selanjutnya. Ia mengorganisir sebuah forum diskusi di desanya, mengundang berbagai macam pihak, termasuk pemerintah daerah, perwakilan perusahaan, akademisi dan warga sekitar untuk berkumpul di balai desa . Tujuannya adalah untuk menciptakan ruang dialog antara kelompok yang memiliki konflik. Desno percaya bahwa hanya dengan melakukan dialog diskusi terbuka, jalan menuju solusi bisa mudah ditemukan.
Forum diskusi itu berlangsung cukup tegang. Perwakilan perusahaan menjelaskan contoh program yang akan dikembangkan menjadi perumahan yang mereka miliki, namun pihak warga tetap menyuarakan kekhawatiran mereka akan hilangnya tanah dan identitas budaya mereka. Desno berperan sebagai moderator, mencoba untuk tetap menjaga dialog tetap konstruktif.
Udara di balai desa berderak karena ketegangan. Deretan wajah terukir kekhawatiran dan kecurigaan, menatap perwakilan dari perusahaan pembangunan Pak Tanaka, sebagai juru bicara perusahaan, berbicara dengan jargon perusahaan yang halus mengenai pembangunan berkelanjutan dan manfaat bagi masyarakat, kata-katanya bergema hampa di ruangan yang pengap itu. Aroma keringat dan kekhawatiran tercium kuat, bercampur dengan aroma samar kopi basi dari cangkir pecah di atas meja.
Namun, Bu Marwina tetap diam, tatapannya tertuju pada lantai kayi yang sudah usang. Desno memperhatikannya, hatinya hancur, ia berharap artikel dan argumen yang disusun dengan sedemikian rupa, akan membuahkan hasil untuk penduduk desa ini, tetapi kenyataanya harus menghadapi perusahaan secara langsung terbukti jauh lebih menakutkan. Bisik-bisik pelan berdesir di antara kerumunan, bisikan ketidakpercayaan, kekecewaan dan kemarahan.
Kemudian, tanpa diduga seorang perempuan muda, Keke, berdiri tegak. Suara yang awalnya ragu-ragu, menjadi lebih kuat saat berbicara. Ia menggambarkan sejarah keluarganya di tanah itu, tangan kakeknya yang keriput karena bertahun-tahun mengolah tanah, dan kegembiraan memanen padi di bawah terik matahari keemasan. Kata-katanya sederhana, lugas, tetapi mengandung kejujuran yang tersirat dalam pernyataan Pak Tanaka yang disusun dengan seksama.
Satu per satu, yang lain mengikuti, suara mereka merangkai pengalaman bersama dan memori bersama. Seorang petani menceritakan kisah-kisah yang diceritakan ayahnya tentang tanah itu, pohon-pohon tua yang telah berdiri selama berabad-abad, hutan suci tempat generasi-generasi berdoa. Seorang wanita tua bercerita tentang tanaman obat yang tumbuh liar, pengetahuan yang diwariskan dari generasi ke generasi lain, kini terancam oleh buldoser.
Pak Tanaka bergerak tidak nyaman di kursinya, ketenangannya yang terlatih retak di bawah beban kesaksian bersama mereka. Lapisan halus pembicaraan perusahaan tidak dapat menutupi emosi mentah yang mengalir dari penduduk desa. Ruangan itu hidup dengan energi kesedihan dan perlawanan mereka bersama.
Akhirnya, Bu Marwina bangkit. Suaranya, meski lemah, mengandung kekuatan yang tenang. Ia tidak berteriak atau menuduh, ia hanya menceritakan kisahnya, matanya berkaca-kaca karena air mata yang tak tertumpah. Ia bercerita tentang leluhurnya, tentang keringat dan kerja kera yang telah merawat tanahnya, tentang hubungan spiritual mendalam yang mengikatnya dengan tanah itu. Ia tidak berbicara tentang hal atau kompensasi, tetapi tentang kehilangan-kehilangan cara hidup, hilang warisan, hilang hubungan dengan bumi yang telah menopang keluarganya selama beberapa generasi.
Keheningan pun terjadi, berat dan mendalam. Bahkan Pak Tanaka tampak terharu, wajahnya terukir campuran antara terkejut dan rasa malu. Garis-garis kaku dari sikap jiwa perusahaanya melunak, digantikan oleh empati yang ragu-ragu. Suasana berubah, ketegangan mereda, digantikan oleh harapan yang masih belum pasti. Negosiasi berikutnya sulit, tetapi dasar untuk kompromi telah diletakkan, bukan melalui argumen hukum atau strategi perusahaan, tetapi melalui kekuatan cerita bersama dan suara dari masyarakat yang berjuang untuk bertahan hidup.
Akhirnya, setelah berjam-jam berdiskusi, kedua belah pihak sepakat untuk mencari solusi bersama. Mereka menciptakan nota kesepahaman bahwa perusahaan akan memberikan kompensasi yang adil kepada warga dan memungkinkan mereka untuk terus bercocok tanam di sebagian lahan yang mereka cintai. Desno merasa bangga, bukan hanya karena artikelnya, tetapi juga karena usaha yang terus ia lakukan terbangun dari suara-suara yang awalnya tertutup.
Tak berhenti begitu saja, Desno mulai merencanakan program-program lanjutan untuk memberdayakan masyarakat desa. Ia mengajak para pemuda untuk terlibat dalam pelatihan seperti pelatihan jurnalistik agar mereka bisa untuk menyuarakan isu-isu yang ada. Desno percaya bahwa dengan memberi alat dan pengetahuan, mereka bisa menjadikan perubahan pada desa sinar mentari ini.
Seiring berjalannya waktu, desa sinar mentari itu mulai berubah, masyarakat menjadi lebih sadar akan hak-hak mereka dan lebih berani untuk berbicara. Desno melihat bagaimana jembatan komunikasi yang ia bangun tidak hanya menghubungkan warga dengan perusahaan, tetapi juga menghubungkan mereka satu sama lain.
Cerita Desno menjadi pengingat bagi kita semua bahwa setiap suara memiliki nilai. Dalam dunia yang sering kali dipenuhi dengan gangguan, penting bagi kita untuk mendengarkan dan memahami satu sama lain, terutama mereka yang berada di pinggiran. Pasalnya perubahan sejati dimulai dari komunikasi yang etis dan kesediaan untuk berdialog.