Oleh: Risma Bilqis Febriyadi, Mahasiswa Fakultas Dakwah UIN Salatiga
Kebebasan berpendapat merupakan salah satu pilar utama dalam sistem demokrasi yang sehat dan terbuka. Di Indonesia, hak ini dijamin secara konstitusional melalui Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kedua pasal tersebut menegaskan bahwa setiap orang berhak menyatakan pendapat, berekspresi, serta mencari, memperoleh, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi melalui berbagai saluran yang tersedia. Dalam konteks demokrasi, kebebasan berpendapat bukan hanya hak individu, tetapi juga bagian penting dari kontrol sosial terhadap kekuasaan.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, khususnya media sosial, telah menciptakan ruang baru untuk menyalurkan pendapat dan aspirasi. Platform seperti Twitter, Instagram, Facebook, dan TikTok menjadi arena diskusi publik yang masif, terbuka, dan menyebar dengan cepat. Masyarakat dapat menyampaikan kritik terhadap kebijakan pemerintah, mengomentari pejabat publik, hingga mengorganisasi aksi sosial secara digital. Dengan demikian, media digital seharusnya memperluas kebebasan berekspresi dan memperkuat partisipasi publik dalam proses demokrasi.
Namun dalam praktiknya, kebebasan berpendapat di ruang digital Indonesia masih menghadapi banyak tantangan. Alih-alih menjadi wadah ekspresi yang sehat, media sosial kerap menjadi arena kriminalisasi bagi warga yang bersuara kritis. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), khususnya pasal-pasal mengenai pencemaran nama baik dan ujaran kebencian, sering disebut sebagai “pasal karet” karena mudah disalahgunakan untuk membungkam kritik.
Selain itu, fenomena digital seperti serangan buzzer, penyebaran disinformasi, dan rendahnya literasi digital semakin memperburuk situasi. Banyak pengguna media sosial takut menyampaikan opini secara terbuka karena ancaman hukum maupun serangan dari kelompok tertentu. Kondisi ini menimbulkan “efek jera” yang merugikan semangat demokrasi dan kebebasan sipil.
Artikel ini mengulas berbagai persoalan yang menghambat kebebasan berpendapat di Indonesia, khususnya di ruang digital. Mulai dari penyalahgunaan pasal-pasal hukum yang multitafsir, kriminalisasi suara kritis, hingga minimnya literasi digital di masyarakat. Permasalahan ini menyangkut hak dasar warga negara dan tidak boleh dibiarkan terus berlanjut. Dengan memahami tantangan-tantangan tersebut, diharapkan tercipta ruang berekspresi yang lebih adil, terbuka, dan aman.
Penyalahgunaan Pasal Karet UU ITE
UU ITE pada dasarnya dirancang untuk melindungi masyarakat dari kejahatan digital dan menjaga etika ruang siber. Namun dalam penerapannya, beberapa pasal justru sering digunakan untuk menjerat warga yang menyampaikan kritik. Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik dan Pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian kerap dijadikan alat membungkam pendapat yang tidak sejalan dengan kepentingan pihak berkuasa. Akibatnya, masyarakat menjadi takut berbicara karena khawatir dilaporkan atau dipidanakan.
Kriminalisasi Suara Kritis
Kriminalisasi terhadap mahasiswa, aktivis, jurnalis, hingga warganet semakin sering terjadi. Banyak yang dilaporkan hanya karena mengkritik proyek pemerintah, kebijakan publik, atau pejabat. SAFEnet mencatat peningkatan pelaporan terhadap aktivis digital sepanjang 2023. Salah satu contohnya adalah mahasiswa yang mengkritik proyek pembangunan di Yogyakarta dan dilaporkan atas tuduhan menyebarkan hoaks, meski data yang digunakan berasal dari laporan publik.
Serangan Digital dan Polarisasi Opini
Selain ancaman hukum, masyarakat yang bersuara kritis juga sering menjadi target serangan buzzer politik dan akun anonim. Mereka mengalami doxing, perundungan digital, hingga ancaman fisik. Situasi ini membuat ruang publik makin sempit dan penuh ketakutan. Kebebasan berekspresi menjadi tidak aman karena banyak orang memilih diam daripada menghadapi risiko serangan balik.
Rendahnya Literasi Digital
Salah satu akar masalah yang memperburuk keadaan adalah rendahnya literasi digital masyarakat. Banyak warganet belum mampu membedakan kritik konstruktif dengan fitnah atau ujaran kebencian. Di sisi lain, aparat penegak hukum juga kerap keliru menafsirkan konten digital. Ketidakpahaman ini membuat siapa pun dapat dengan mudah dilaporkan meski tanpa dasar kuat.
Dampak terhadap Demokrasi
Ketika masyarakat tidak lagi merasa aman untuk berbicara, demokrasi berada dalam ancaman serius. Demokrasi membutuhkan ruang diskusi yang bebas, di mana kritik merupakan bagian penting dari evaluasi kebijakan publik. Jika kebebasan ini terus ditekan, bukan tidak mungkin Indonesia bergeser menuju sistem yang semakin otoriter di balik wajah demokrasi formal.
Kebebasan berpendapat di era digital adalah aspek penting masa depan demokrasi Indonesia. Sayangnya, berbagai tantangan seperti kriminalisasi, penyalahgunaan regulasi, dan serangan digital membuat kebebasan ini semakin terancam. Jika kondisi ini dibiarkan, demokrasi kita akan kehilangan salah satu pondasi terpenting. Sudah saatnya seluruh elemen bangsa bergerak bersama menjaga dan memperluas ruang berekspresi, agar masyarakat tidak hanya bebas berbicara, tetapi juga aman ketika melakukannya.
Referensi
Anindita, R. (2023). Kebebasan Berpendapat dan Demokrasi Digital di Indonesia. Jurnal Demokrasi Digital, 5(2), 110–125.
CNN Indonesia. (2024, Oktober 15). Mahasiswa Dilaporkan karena Kritik Proyek Pemerintah di Twitter.
Kominfo. (2024). Etika Digital dan Regulasi Media Sosial di Indonesia. Jakarta: Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Komnas HAM RI. (2024). Laporan Tahunan Komnas HAM 2023. Jakarta: Komnas HAM RI.
SAFEnet. (2024). Laporan Situasi Hak Digital Indonesia 2023.
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
UU RI No. 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU ITE.


















