Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
Mimbar MahasiswaOpini

Kecantikan Perempuan dalam Islam

×

Kecantikan Perempuan dalam Islam

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Oleh: Sayyida Roychana Salma, Ketua Umum Kohati-HMI Komisariat Iqbal Walisongo Semarang, Disciple Monasmuda Institute Semarang Angkatan 2022

Di era digital ini, definisi cantik semakin menyempit. Media sosial seperti Instagram, TikTok, dan Facebook telah membentuk gambaran tunggal tentang bagaimana perempuan seharusnya terlihat: kulit putih, tubuh langsing, wajah tirus, dan senyum simetris. Standar ini disebarkan secara masif dan berulang, menjadikannya seolah-olah sebagai kebenaran mutlak. Dalam dunia serba visual ini, cantik terasa menjadi sesuatu yang harus dikejar, bukan sesuatu yang dimaknai.

Example 300x600

Namun, jika kita menelusuri sejarah, kita akan menyadari bahwa konsep kecantikan sesungguhnya dipengaruhi oleh budaya, zaman, serta keyakinan masyarakat. Di Mesir kuno, Cleopatra menjadi simbol kecantikan bukan hanya karena fisiknya, tetapi karena kebersihan, keharuman tubuh, dan kecerdasan yang ia miliki. Pada masa Romawi dan Eropa abad pertengahan, tubuh perempuan yang berisi justru melambangkan kemakmuran. Di Tiongkok era Mao Zedong, perempuan cantik adalah mereka yang menolak kosmetik dan perhiasan serta aktif secara politik dan intelektual.

Di Indonesia sendiri, persepsi tentang kecantikan sangat beragam. Di beberapa daerah, seperti suku Dayak, semakin banyak anting yang dikenakan, semakin tinggi nilai kecantikannya. Di suku Karen, Thailand, leher yang panjang dianggap simbol keelokan. Ini menunjukkan bahwa kecantikan tidak pernah tunggal, tidak pernah absolut, dan selalu bersifat kultural. Namun, modernisasi dan globalisasi telah menyeragamkan pandangan tentang kecantikan. Citra perempuan cantik kini identik dengan kulit putih, rambut lurus, tubuh langsing, dan gaya hidup mewah. Gambaran ini didukung kuat oleh media sosial, iklan, selebritas, dan industri kecantikan yang terus menggiring opini publik.

Akibatnya, banyak perempuan mulai meragukan dirinya sendiri. Mereka merasa tidak cukup menarik, tidak cukup sempurna, bahkan tidak cukup berharga jika tidak memenuhi standar-standar ini. Fenomena ini melahirkan berbagai dampak psikologis seperti rendah diri, body shaming, hingga gangguan makan dan kecanduan terhadap operasi plastik. Ini bukan sekadar krisis citra tubuh, tapi juga krisis identitas.

Dalam konteks ini, Islam menawarkan perspektif yang sangat membebaskan dan menyejukkan. Islam tidak menolak kecantikan fisik, bahkan menganjurkan kebersihan, kerapian, dan perawatan diri sebagai bagian dari keimanan. Namun, Islam menempatkan kecantikan sebagai bagian dari amanah, bukan alat kompetisi. Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda:

“Wanita itu dinikahi karena empat hal: hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka pilihlah yang memiliki agama, niscaya engkau akan beruntung.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menegaskan bahwa kecantikan memang punya nilai, tapi agama yang mencakup akhlak, iman, dan kepribadian lebih utama. Cantik tidak hanya dilihat dari wajah yang cerah, tapi juga dari hati yang tenang, pikiran yang jernih, dan perbuatan yang mulia.

Dalam Islam, ada konsep “inner beauty” yang sangat dijunjung tinggi. Seorang perempuan yang sabar, jujur, penyayang, dan berilmu dinilai lebih cantik di mata Allah dan manusia sejati. Cantik bukan semata tentang bagaimana orang melihat kita, tapi bagaimana Allah menilai kita. Allah tidak melihat rupa, tetapi melihat hati dan amal perbuatan kita. Maka cantik menurut Islam bukan berasal dari fisik, melainkan dari akhlak dan kemurnian hati seseorang.

Definisi kecantikan dalam Islam bersifat holistik dan spiritual. Kecantikan bukan hanya sekadar paras yang indah, melainkan juga mencakup akhlak terpuji, tutur kata yang lembut, serta perilaku yang mencerminkan iman. Seorang perempuan yang memiliki rasa malu, rendah hati, sopan santun, dan suka menolong akan lebih dipandang mulia dalam ajaran Islam. Inilah esensi dari firman Allah dalam Surah Al-Hujurat ayat 13 bahwa yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Ketakwaan ini tercermin dalam akhlak, bukan semata-mata pada penampilan lahiriah.

Kecantikan fisik dapat memudar seiring waktu, tetapi kecantikan akhlak dan hati akan selalu memancar dan menginspirasi. Inilah mengapa dalam Islam, perempuan yang berakhlak mulia lebih dimuliakan daripada mereka yang hanya mengandalkan penampilan luar. Akhlak yang lembut, penuh kasih, sabar dalam menghadapi cobaan, serta ketulusan hati dalam menolong sesama adalah kecantikan hakiki dalam pandangan Islam.

Sayangnya, di tengah gempuran media sosial, banyak perempuan Muslim yang mulai kehilangan arah. Mereka lebih sibuk membandingkan diri dengan selebgram, merasa tertinggal dalam tren kecantikan, dan kadang melupakan jati dirinya sebagai hamba Allah yang mulia. Padahal, kecantikan dalam Islam tidak memenjarakan, justru membebaskan. Tidak ada tuntutan harus putih, harus tinggi, harus seperti boneka Barbie. Yang ada adalah tuntunan untuk menjaga kehormatan, merawat diri dengan wajar, dan mempercantik akhlak.

Studi psikologis membuktikan bahwa perempuan yang merasa memiliki kontrol terhadap definisi kecantikannya sendiri cenderung lebih bahagia dan percaya diri. Di sisi lain, mereka yang terus membandingkan diri dengan standar media akan rentan terhadap kecemasan dan depresi. Penelitian juga menunjukkan bahwa perempuan kulit hitam, misalnya, memiliki tingkat kepercayaan diri yang lebih stabil karena mereka tidak selalu menjadikan standar kecantikan dominan sebagai tolok ukur. Mereka menilai dirinya berdasarkan komunitas dan nilai budaya sendiri.

Lalu bagaimana dengan kita, perempuan Muslim Indonesia?

Kita punya pilihan: terus menjadi korban dari standar visual yang tak adil, atau membangun definisi cantik versi kita sendiri yang berpijak pada iman, akhlak, dan kekayaan budaya lokal. Kita bisa mulai dari hal kecil: berhenti membandingkan diri dengan orang lain, menyadari bahwa tubuh kita unik, merawat diri tanpa berlebihan, dan lebih fokus memperbaiki karakter daripada memperpanjang bulu mata.

Kita juga perlu membangun solidaritas sesama perempuan untuk saling menguatkan. Daripada saling menilai bentuk tubuh, lebih baik saling memuji karakter dan pencapaian. Daripada mengomentari warna kulit, lebih baik mendorong semangat belajar dan berkarya. Karena sesungguhnya perempuan yang cantik adalah perempuan yang membuat orang di sekitarnya merasa berharga.

Akhirnya, kita harus sadar bahwa media sosial hanyalah alat, bukan hakim atas nilai diri kita. Jangan biarkan likes dan komentar menentukan harga diri kita. Kembalilah pada nilai-nilai Islam yang telah sejak awal memuliakan perempuan bukan karena wajahnya, tapi karena akhlaknya dan hati yang bersih.

Cantik bukanlah beban sosial. Cantik adalah cara kita bersyukur atas ciptaan-Nya. Dan syukur terbaik adalah dengan menjaga amanah tubuh, memperkaya akal, memperindah budi, serta terus bertumbuh menjadi versi terbaik dari diri kita—bukan versi terbaik dari orang lain.

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *