Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
HukumKolomOpini

Kerapuhan Demokrasi dan Supremasi Hukum

×

Kerapuhan Demokrasi dan Supremasi Hukum

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Oleh: Abdurrahman Syafrianto, M.H., Lawyer, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Unissula, Ketua Umum PW GPII Jawa Tengah.

Penangkapan dan penahanan aktivis Delpedro dan kawan-kawan imbas dari aksi demonstrasi pada akhir Agustus dan awal September 2025 telah menimbulkan gelombang protes dan kekhawatiran dari berbagai pihak. Salah duanya dari Amnesty International Indonesia dan Gerakan Nurani Bangsa (GNB) yang baru-baru ini melayangkan surat kepada Kapolri Listyo Sigit Prabowo untuk membebaskan atau setidaknya memberikan penangguhan penahanan kepada para tersangka. GBN yang dipimpin oleh Sinta Nuriyah Wahid menyebutkan bahwa para aktivis tersebut bukanlah musuh negara, melainkan generasi muda yang peduli terhadap bangsa.

Example 300x600

Peristiwa penangkapan dan penahanan aktivis ini bukan hanya sekadar kasus hukum biasa, melainkan cermin dari kerapuhan supremasi hukum dan ancaman nyata terhadap kebebasan berpendapat serta berekspresi di Indonesia. Selain itu, penangkapan dan penahanan tersebut didasarkan pada dugaan pelanggaran hukum yang lemah, sehingga menunjukkan adanya pola yang mengkhawatirkan, yaitu penggunaan instrumen hukum untuk membungkam kritik dan membatasi ruang gerak masyarakat sipil.

Amnesty International Indonesia dalam suratnya, secara tegas meminta pembebasan para aktivis karena menilai penangkapan dan penahanan mereka tidak sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Berdasarkan laporan dari berbagai sumber, polisi tidak memiliki surat perintah penangkapan yang sah dan para aktivis tidak ditangkap tangan saat melakukan tindak pidana. Kemudian alat bukti yang digunakan hanyalah aduan dan ajakan untuk melakukan aksi demonstrasi, yang secara jelas merupakan hak konstitusional warga negara yang dijamin oleh UUD 1945. Kondisi ini menempatkan Indonesia pada titik krusial, karena prinsip-prinsip dasar negara hukum dipertaruhkan.

Pelanggaran prosedur penangkapan adalah masalah yang sangat fundamental dalam kasus ini. Pasal 18 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa penangkapan dilakukan oleh penyidik dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka salinan surat perintah penangkapan yang memuat identitas tersangka, alasan penangkapan, serta uraian singkat tindak pidana yang diduga dilakukan. Tanpa surat perintah yang sah, penangkapan berubah menjadi tindakan sewenang-wenang yang melanggar hak asasi manusia. Penangkapan paksa yang tidak didasarkan pada prosedur yang benar membuka pintu bagi penyalahgunaan kekuasaan. Ini bukan hanya tentang kesalahan administratif, melainkan tentang mengabaikan fondasi keadilan yang seharusnya melindungi setiap warga negara dari perlakuan represif.

Argumen bahwa para aktivis ditangkap karena diduga melakukan tindak pidana, padahal hanya berdasarkan ajakan demonstrasi, menunjukkan logika hukum yang tumpul. Demonstrasi merupakan bagian tak terpisahkan dari demokrasi. Dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dijelaskan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Demonstrasi adalah manifestasi dari hak tersebut. Dengan mengkriminalisasi ajakan demonstrasi, aparat penegak hukum secara tidak langsung mengkriminalisasi hak konstitusional warga negara. Ini adalah langkah mundur yang berbahaya bagi demokrasi Indonesia, yang telah diperjuangkan dengan susah payah sejak reformasi.

Kasus Delpedro dan kawan-kawan bukanlah kejadian yang terisolasi. Dalam beberapa tahun terakhir dan sampai saat ini, kita telah menyaksikan pola serupa di mana aparat penegak hukum sering menggunakan instrumen hukum, seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), untuk membungkam suara kritis. Para aktivis, jurnalis, dan bahkan warga biasa yang menyuarakan ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah sering kali menjadi target. Mereka dituduh melakukan pencemaran nama baik, penyebaran berita bohong, atau provokasi, dengan bukti yang sering kali lemah dan dipaksakan.

Pola ini mencerminkan sebuah strategi represi yang halus namun efektif. Represi kini tidak hanya mengunakan cara-cara yang kasar seperti di era Orde Baru, melainkan bersembunyi di balik jubah hukum. Aparat penegak hukum tidak hanya menggunakan kekerasan fisik secara terang-terangan, mereka juga menggunakan pasal-pasal karet dalam undang-undang untuk menjerat individu-individu yang vokal. Strategi ini sangat berbahaya karena menciptakan iklim ketakutan dan ketidakpastian hukum, sehingga masyarakat menjadi enggan atau takut untuk berbicara dan mengkritik.

Penahanan para aktivis memiliki implikasi serius terhadap kesehatan demokrasi di Indonesia. Pertama, hal ini merusak kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum. Ketika polisi, sebagai garda terdepan penegakan hukum, justru melanggar prosedur yang mereka sendiri seharusnya tegakkan, maka legitimasi mereka di mata masyarakat akan makin terkikis. Kedua, tindakan ini mempersempit ruang gerak masyarakat sipil. Aksi demonstrasi adalah salah satu saluran utama bagi masyarakat untuk menyuarakan aspirasi dan mengontrol kekuasaan. Jika saluran ini dikriminalisasi, maka masyarakat akan kehilangan salah satu mekanisme penting untuk berpartisipasi dalam proses politik.

Selain itu, penahanan ini juga mengirimkan pesan yang salah kepada masyarakat luas bahwa berbicara dan mengkritik memiliki konsekuensi yang serius. Hal ini dapat menyebabkan efek chilling effect, sehingga orang-orang menjadi takut untuk menyuarakan pendapat mereka, bahkan di media sosial, karena khawatir akan menjadi target berikutnya. Efek ini tidak hanya menghambat kebebasan berekspresi, tetapi juga menghambat inovasi dan kemajuan sosial karena ide-ide baru dan kritik konstruktif tidak dapat berkembang.

Untuk memulihkan kepercayaan publik dan memastikan bahwa peristiwa serupa tidak terulang, akuntabilitas mutlak diperlukan. Pihak-pihak yang terlibat dalam pelanggaran prosedur hukum harus dimintai pertanggungjawaban. Kapolri dan institusi Kepolisian secara keseluruhan harus mengambil langkah-langkah konkret untuk memastikan bahwa prosedur hukum ditaati secara ketat. Ini bukan hanya masalah sanksi terhadap oknum, melainkan juga reformasi sistemik yang memastikan bahwa polisi beroperasi sebagai pengayom masyarakat, bukan sebagai alat kekuasaan.

Lebih dari sekadar membebaskan para aktivis, pemerintah dan aparat penegak hukum harus menunjukkan komitmen yang kuat terhadap supremasi hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM). Ini termasuk meninjau kembali pasal-pasal karet dalam undang-undang yang sering disalahgunakan, seperti UU ITE, dan memastikan bahwa hak-hak konstitusional warga negara benar-benar dihormati.

Kasus penangkapan Delpedro dan kawan-kawan adalah ujian bagi komitmen Indonesia terhadap demokrasi dan supremasi hukum. Akankah negara ini mundur ke era otoritarianisme, di mana suara-suara kritis dibungkam, atau akankah ia maju sebagai negara demokrasi yang matang, di mana kebebasan berpendapat dijamin dan hukum menjadi panglima? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan masa depan Indonesia. Tindakan yang diambil oleh pemerintah dan aparat penegak hukum dalam menghadapi kasus ini akan menjadi tolok ukur yang jelas. Sudah saatnya bagi kita semua untuk bersuara, menuntut keadilan, dan memastikan bahwa tidak ada lagi aktivis yang dikriminalisasi karena menjalankan hak konstitusionalnya. Negara ini dibangun di atas fondasi perjuangan untuk kebebasan, dan kita tidak boleh membiarkan fondasi itu terkikis oleh ketidakadilan.

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *