Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
Esai

Ketegasan Utsman dalam Menjaga al-Qur’an

×

Ketegasan Utsman dalam Menjaga al-Qur’an

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Oleh: Fajri Rafly, Pengajar di Sekolah Alam Nurul Furqon Planet Nufo Rembang

Sejarah Islam mencatat berbagai peristiwa penting yang membentuk perjalanan umat Muslim, salah satunya adalah penyatuan bacaan Al-Qur’an pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan. Keputusan ini memiliki dampak besar terhadap kesinambungan pemahaman Al-Qur’an dalam komunitas Muslim. Menjelang akhir hayatnya, Umar bin Khattab membentuk dewan berisi enam sahabat untuk menentukan siapa yang akan menjadi khalifah berikutnya. Setelah proses pemilihan yang cukup ketat, Utsman akhirnya terpilih sebagai khalifah, mengalahkan Ali bin Abi Thalib. Sebagai pemimpin, Utsman dikenal sebagai sosok yang pemalu, dermawan, serta memiliki sopan santun tinggi. Meski demikian, ia tetap menunjukkan ketegasan dalam menjalankan pemerintahan. Salah satu kebijakan terbesarnya adalah upaya penyatuan bacaan Al-Qur’an.

Example 300x600

Dengan semakin luasnya wilayah Islam, berbagai versi qira’at mulai bermunculan di berbagai daerah. Setiap wilayah cenderung mengikuti bacaan yang diajarkan oleh qari setempat, sehingga muncul perbedaan dalam pelafalan dan pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an. Masalah ini semakin nyata ketika Huzaifah bin Al-Yaman, seorang sahabat yang ikut serta dalam perang Armenia dan Azerbaijan, menyaksikan langsung perbedaan mencolok dalam bacaan Al-Qur’an di kalangan umat Muslim. Ia pun melaporkan fenomena ini kepada Khalifah Utsman dengan kekhawatiran bahwa perbedaan tersebut dapat memicu konflik internal di kemudian hari.

Menyadari urgensi masalah ini, Utsman segera mengambil langkah tegas dengan meminta Hafshah binti Umar untuk meminjamkan mushaf Al-Qur’an yang dikompilasi pada masa Abu Bakar. Kemudian, ia membentuk tim yang terdiri dari Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Az-Zubair, Said bin ‘As, dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam untuk menyalin dan memperbanyak mushaf tersebut. Utsman juga memberikan arahan bahwa jika ada perbedaan dalam penulisan antara Zaid dan ketiga orang Quraisy lainnya, maka harus mengikuti logat Quraisy, karena Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa mereka.

Setelah proses penyalinan selesai, Utsman mengirimkan mushaf-mushaf ini ke berbagai wilayah Islam dan memerintahkan agar semua mushaf atau catatan pribadi yang berbeda dengan mushaf resmi dibakar. Tindakan ini dimaksudkan untuk menghindari perselisihan dan memastikan keseragaman bacaan di seluruh dunia Islam.

Keputusan Utsman ini disambut baik oleh sebagian besar umat Muslim karena dianggap sebagai langkah preventif untuk mencegah perpecahan. Namun, tidak sedikit yang mengkritik kebijakan ini, terutama terkait dengan tindakan pembakaran mushaf lain yang dianggap terlalu drastis. Meski demikian, kebijakan ini terbukti efektif dalam menjaga kesatuan umat Islam dalam membaca dan memahami Al-Qur’an. Hingga saat ini, mushaf yang disusun pada masa Utsman, yang dikenal sebagai “Mushaf Imam,” menjadi rujukan utama bagi umat Muslim di seluruh dunia.

Namun, muncul pertanyaan, apakah tindakan Utsman ini adalah satu-satunya solusi yang bisa diambil? Beberapa sejarawan dan ulama berpendapat bahwa keputusan untuk membakar mushaf lain memang efektif dalam menyatukan umat Islam, tetapi juga berpotensi menghilangkan variasi qira’at yang sahih.

Dalam sejarahnya, Rasulullah sendiri telah mengajarkan berbagai cara membaca Al-Qur’an sesuai dengan logat dan dialek masing-masing suku yang beragam. Dengan dihapusnya variasi bacaan tersebut, kita kehilangan salah satu kekayaan intelektual Islam yang telah ada sejak masa kenabian. Oleh karena itu, meskipun keputusan ini berhasil menjaga kesatuan, tidak dapat disangkal bahwa ada warisan qira’at yang akhirnya terpinggirkan.

Selain itu, keputusan Utsman juga menunjukkan betapa pentingnya kepemimpinan yang tegas dalam menghadapi potensi perpecahan. Dalam konteks saat ini, kita dapat belajar bahwa kepemimpinan yang kuat tidak hanya mengandalkan ketegasan, tetapi juga harus mempertimbangkan berbagai aspek yang mungkin terabaikan dalam sebuah kebijakan besar. Hal ini relevan dengan banyak tantangan yang dihadapi dunia Islam modern, di mana perbedaan pendapat sering kali berujung pada konflik yang lebih besar. Ketika dihadapkan pada situasi yang mengancam persatuan, diperlukan pemimpin yang mampu mengambil keputusan strategis dengan mempertimbangkan dampak jangka panjangnya.

Lebih jauh lagi, kebijakan Utsman juga menegaskan bahwa stabilitas umat lebih diutamakan daripada mempertahankan perbedaan yang berpotensi menimbulkan konflik. Hal ini dapat menjadi refleksi bagi umat Islam saat ini dalam menghadapi isu-isu kontemporer yang sering kali memperuncing perbedaan di antara sesama Muslim. Jika pada masa lalu perbedaan bacaan dapat menjadi pemicu ketegangan, maka saat ini perbedaan dalam interpretasi ajaran Islam juga berpotensi menjadi sumber konflik. Oleh karena itu, semangat penyatuan yang diusung oleh Utsman seharusnya tidak hanya diterapkan dalam hal qira’at, tetapi juga dalam sikap umat Islam terhadap perbedaan pendapat.

Di sisi lain, langkah Utsman juga menunjukkan bagaimana Islam selalu berusaha mencari keseimbangan antara otoritas dan fleksibilitas dalam penerapan ajaran agama. Dengan mempertahankan satu mushaf resmi, Utsman memastikan bahwa umat Islam tidak akan terpecah karena perbedaan yang tidak esensial. Namun, di masa sekarang, kita juga harus belajar untuk menerima bahwa keberagaman dalam Islam adalah bagian dari kekayaan intelektual dan spiritual yang perlu dijaga. Persatuan tidak selalu berarti keseragaman mutlak, tetapi bagaimana kita bisa tetap bersatu dalam perbedaan yang ada.

Penyatuan bacaan al-Qur’an oleh Utsman bin Affan merupakan langkah strategis yang memiliki dampak jangka panjang bagi umat Islam. Meski diwarnai kontroversi, kebijakan ini bertujuan untuk menjaga kemurnian wahyu dan menghindari potensi perpecahan akibat perbedaan qira’at. Sebagai umat Muslim, kita dapat mengambil pelajaran dari kebijakan Utsman bahwa dalam menghadapi tantangan besar, diperlukan keputusan yang tegas dan berlandaskan pada kepentingan bersama.

Keberanian dan kebijaksanaan dalam mengambil keputusan inilah yang menjadikan Utsman sebagai salah satu khalifah yang berperan besar dalam sejarah Islam. Lebih dari itu, kita juga perlu memahami bahwa setiap keputusan besar akan selalu memiliki konsekuensi, baik yang positif maupun yang kontroversial. Namun, pada BB akhirnya, yang paling penting adalah bagaimana keputusan tersebut mampu menjaga persatuan dan kesejahteraan umat Islam di sepanjang zaman. Wallahu ‘alamu bi al-shawaab.

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *