Oleh: Khoirunnisa Adini, Mahasiswi UIN Salatiga
Generasi Z atau yang sering disingkat dan disebut Gen Z, menurut Badan Pusat Statistika (BPS) ialah kelompok yang merujuk pada generasi yang lahir antara tahun 1997-2012. Mereka tumbuh dalam dunia yang terhubung secara digital, di mana internet, media sosial dan teknologi modern lainnya yang telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Generasi ini sering sering kali disebut sebagai “digital natives”, yaitu generasi yang sangat akrab dengan teknologi. Mereka adalah saksi dari pesatnya perkembangan teknologi yang tidak pernah dialami oleh generasi sebelumnya. Namun, dibalik segala kemudahan yang ditawarkan dunia digital menimbulkan berbagai kekhawatiran mengenai bagaimana generasi Z harus menyeimbangkan kehidupan digital mereka dengan dunia nyata.
Dunia digital memberikan banyak peluang bagi Gen Z. Mereka menggunakan media sosial seperti TikTok, Instagram, dan YouTube untuk berbagi ide, mengekspresikan diri, dan bahkan menghasilkan pendapatan. Survei Pew Research Center mencatat bahwa 95% remaja Gen Z memiliki akses ke ponsel pintar, yang menunjukkan betapa pentingnya teknologi dalam kehidupan mereka. Dunia digital juga memungkinkan mereka untuk belajar dan terhubung dengan komunitas global, sehingga memperluas wawasan dan meningkatkan kreativitas mereka.
Salah satu aspek yang paling memprihatinkan adalah hubungan sosial. Ketergantungan pada dunia digital telah mengubah cara mereka dalam bersosialisasi hingga banyak penelitian menunjukkan bahwa meskipun Generasi Z lebih terhubung secara online, mereka sering merasa lebih kesepian dan terisolasi dalam kehidupan nyata. Mereka cenderung menggantikan interaksi tatap muka dengan percakapan melalui teks, video call, ataupun di media sosial.
Meskipun teknologi memberikan kemudahan dalam menjalin komunikasi, namun jika hanya berinteraksi secara virtual dapat mengurangi kehangatan hubungan antar manusia yang biasa terjadi dalam dunia nyata. Lalu mengakibatkan, keterampilan sosial seperti empati, kemampuan membaca bahasa tubuh, dan komunikasi verbal tatap muka sering kali kurang terasah. Beberapa orang merasa lebih nyaman berbicara di ruang obrolan online dibandingkan bertatap muka dengan orang di dunia nyata, yang menyebabkan kecanggungan sosial dan menurunnya rasa percaya diri.
Salah satu aspek digital yang menonjol dalam kehidupan Gen Z adalah media sosial. Karena adanya tekanan dari media sosial untuk selalu menampilkan kehidupan yang sempurna telah menyebabkan masalah lain yaitu perasaan tidak puas terhadap diri sendiri. Platform seperti Instagram dan TikTok dipenuhi dengan gambar-gambar gaya hidup mewah, tubuh ideal, dan pencapaian yang glamor, yang sering kali jauh dari realitas kebanyakan orang. Dan dengan platform tersebut menjadi sarana utama untuk berbagi momen, pendapat serta mengekspresikan diri hingga Generasi Z cenderung membandingkan diri mereka dengan standar yang tidak realistis ini, yang dapat memicu kecemasan, stres, bahkan depresi.
Dunia maya menciptakan ilusi yang sulit dipisahkan dari kenyataan, sehingga banyak orang dari generasi ini terjebak dalam siklus perbandingan dan ketidakpuasan.Selain masalah sosial, dunia digital juga berdampak pada kesehatan mental Generasi Z. Penelitian dari American Psychological Association (APA) mengungkapkan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan dapat menyebabkan depresi, terutama ketika seseorang membandingkan kehidupannya dengan orang lain. Ketidakstabilan ini mempertegas dilema Gen Z untuk memilih apakah akan lebih memprioritaskan dunia digital atau kembali membangun relasi yang kuat di dunia nyata.
Ada fakta yang menjelaskan bahwa segala sesuatu bisa diakses dan dilihat oleh banyak dalam waktu singkat memicu penilaian orang lain dan munculnya fenomena FOMO (fear of missing out), yaitu ketakutan untuk tertinggal atau tidak dianggap relavan dalam lingkaran sosial digital mereka. Ketika batas antara dunia nyata dan digital semakin kabur, banyak Generasi Z yang kesulitan untuk meluangkan waktu bagi diri sendiri, bermeditasi, atau sekadar berhenti sejenak dari hiruk-pikuk dunia maya.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa dunia digital juga memberikan banyak manfaat bagi Generasi Z. Mereka lebih mampu memahami dan menggunakan teknologi dibandingkan generasi sebelumnya. Mereka dapat memanfaatkan platform online untuk menciptakan bisnis, menyuarakan pendapat mereka, dan membuat perubahan sosial yang signifikan.
Kampanye-kampanye sosial maupun politik seperti #PeringatanDarurat dan #Pilpres2024, yang sebagian besar dipromosikan melalui platform digital, menunjukkan betapa kuatnya peran generasi ini dalam memanfaatkan teknologi untuk perubahan positif.
Di sisi lain, dunia nyata menawarkan pengalaman-pengalaman yang tidak dapat digantikan oleh teknologi. Interaksi tatap muka, hubungan emosional yang nyata, dan perasaan langsung dari kegiatan fisik seperti olahraga atau seni adalah aspek-aspek yang tidak bisa diduplikasi oleh dunia digital. Di sinilah tantangan besar Generasi Z muncul pertanyaan, bagaimana menyeimbangkan kedua dunia ini? Mereka harus mampu memanfaatkan teknologi dan dunia digital tanpa kehilangan koneksi dengan dunia nyata. Dengan demikian, bahwasannya teknologi hanyalah alat bukan pengganti kehidupan nyata.
Generasi Z perlu belajar bagaimana menggunakan teknologi dengan bijak, menjaga batasan, dan memastikan bahwa kehadiran mereka di dunia digital tidak mengganggu interaksi mereka di dunia nyata. Keseimbangan ini bisa dicapai melalui pendidikan digital yang baik, pengembangan keterampilan sosial, dan kesadaran diri. Mungkin diperlukan dukungan dari generasi sebelumnya untuk membantu Generasi Z menemukan keseimbangan ini, dengan cara mengajarkan pentingnya kualitas interaksi manusia dan betapa berharganya waktu di luar layar.