Oleh: Falikhul Isbah, Mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Sunan Kudus
Krisis etika di kalangan pemimpin Indonesia seolah tak pernah benar-benar usai. Dari tingkat pusat hingga daerah, dari pejabat publik sampai pimpinan lembaga, masyarakat kerap disuguhi berita tentang penyalahgunaan wewenang, politik transaksional, gaya hidup mewah, hingga kebijakan yang lebih menguntungkan kelompok tertentu daripada kepentingan rakyat. Fenomena ini menunjukkan satu kenyataan pahit: bagi sebagian pemimpin, jabatan telah bergeser dari ruang pengabdian menjadi alat mempertahankan kekuasaan. Amanah yang seharusnya dijunjung tinggi justru berada di urutan kesekian. Sebuah ironi di negeri yang menjunjung nilai moral, agama, dan budaya luhur.
Dalam struktur ideal demokrasi, jabatan sejatinya adalah sarana untuk melayani rakyat. Namun realitas yang tampak sering kali justru sebaliknya. Jabatan dipandang sebagai “hak” yang harus dipertahankan dengan segala cara, bahkan melalui praktik-praktik yang merusak integritas. Nepotisme, jual beli jabatan, serta intervensi politik yang berlebihan menjadi bukti bahwa sebagian pemimpin lebih sibuk menjaga stabilitas kekuasaan daripada memastikan kualitas kebijakan. Ketika kepentingan pribadi dan kelompok menjadi prioritas, kepentingan publik pun terpinggirkan. Tidak jarang pula kita menyaksikan pejabat yang kehilangan sensitivitas sosial, tampil dengan gaya hidup bermewah-mewahan, memamerkan kekayaan, atau bersikap arogan terhadap kritik. Sikap semacam ini tidak hanya menciptakan jarak emosional dengan rakyat, tetapi juga menggerogoti legitimasi moral kepemimpinan itu sendiri.
Dalam tradisi bangsa—baik dalam budaya Jawa, nilai-nilai Pancasila, maupun ajaran agama—kepemimpinan selalu dipahami sebagai amanah. Amanah bukan sekadar menjalankan tugas administratif, melainkan komitmen moral yang mencakup kejujuran, keadilan, tanggung jawab, serta keberanian menolak kemungkaran. Sayangnya, amanah hari ini kerap kalah oleh ambisi. Banyak pemimpin lebih takut kehilangan jabatan daripada kehilangan integritas. Padahal, runtuhnya integritas seorang pemimpin pada hakikatnya berarti runtuh pula kepercayaan publik terhadap negara.
Krisis etika yang terus berulang ini tidak muncul tanpa sebab. Politik transaksional yang mengakar menjadikan jabatan sebagai hasil negosiasi, bukan kepercayaan publik. Ketika proses meraih kekuasaan diawali dengan transaksi, wajar jika saat berkuasa muncul dorongan untuk “membayar kembali” kepentingan tertentu. Di sisi lain, keteladanan semakin langka. Pelanggaran etika sering kali hanya berujung pada permintaan maaf, tanpa sanksi yang tegas. Budaya malu perlahan memudar. Ditambah lagi, toleransi publik terhadap pelanggaran etika tergolong tinggi. Masyarakat kerap cepat lupa, sehingga figur bermasalah dapat kembali tampil di ruang publik tanpa hambatan berarti. Semua ini diperparah oleh minimnya pendidikan karakter, di mana kecerdasan sering diutamakan dibandingkan integritas. Padahal, bangsa besar tidak hanya membutuhkan pemimpin yang pintar, tetapi juga pemimpin yang berkarakter.
Kondisi ini menunjukkan bahwa publik sejatinya tidak hanya membutuhkan pemimpin yang kompeten secara teknis, tetapi juga pemimpin yang jujur, rendah hati, dan berani mengambil keputusan demi kepentingan rakyat meskipun tidak populer. Bangsa ini membutuhkan pemimpin yang memandang jabatan sebagai ujian moral, bukan alat membangun dinasti kekuasaan. Pemimpin yang lebih takut melukai hati rakyat daripada kehilangan jabatan.
Kembalinya integritas kepemimpinan tentu tidak bisa dilepaskan dari perubahan budaya politik secara menyeluruh. Reformasi tata kelola jabatan, transparansi dalam pengambilan keputusan, serta penegakan hukum yang adil dan tanpa pandang bulu harus menjadi agenda bersama. Di sisi lain, masyarakat juga dituntut untuk bersikap kritis dan tidak mudah terjebak pada pencitraan politik yang dikemas manis di media sosial, tetapi miskin substansi dan tanggung jawab.
Demokrasi tanpa etika hanya akan melahirkan pemimpin yang pandai berjanji, tetapi miskin keberpihakan pada rakyat. Ketika jabatan lebih penting daripada amanah, kebijakan publik akan kehilangan roh kemanusiaannya. Indonesia tidak boleh terus bergantung pada pemimpin yang ramah kamera, tetapi rapuh integritas. Ke depan, bangsa ini membutuhkan pemimpin yang lebih takut kehilangan kehormatan daripada kehilangan kekuasaan. Sebab amanah bukan sekadar tanggung jawab sementara, melainkan warisan moral yang menentukan arah masa depan negeri.


















