Scroll untuk baca artikel
Example floating
Example floating
Example 728x250
KolomMimbar Santri

Kyai Tiga Kitab

×

Kyai Tiga Kitab

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Oleh Gunawan Trihantoro
Santri dari KH. Hasan Basri

Di sudut kota yang tenang di Kelurahan Sayang, Kabupaten Cianjur, berdiri Pondok Pesantren Bustanul Ma’arif, tempat di mana ilmu-ilmu langit ditanamkan ke dalam hati para santri. Di sanalah aku, Kang Billy, Kang Asep, dan Neng Visi mengabdikan diri untuk belajar langsung dari seorang guru yang penuh wibawa dan karomah: KH. Hasan Basri bin Kyai Mama Ijazi.

Example 300x600

Kami datang sebagai murid biasa, tapi beliau menerima kami dengan hati yang luar biasa. Selama tiga tahun penuh, selepas salat Maghrib hingga menjelang Isya, kami duduk bersila di hadapannya, mengaji tiga kitab agung: Tijan Ad-Daruri, Jurumiyah, dan Safinah al-Najah.

Kitab Tijan Ad-Daruri membuka pemahaman kami tentang tauhid. Di dalamnya, kami belajar tentang keesaan Allah SWT, sifat-sifat-Nya yang Maha Sempurna, serta hal-hal yang menjadi fondasi iman. Kajian ini meneguhkan hati kami di tengah arus zaman yang kerap mengguncang keyakinan.

Sementara Jurumiyah memperkenalkan kami pada struktur bahasa Arab. Di kitab ini kami menyusuri jalan nahwu, memahami kaidah gramatikal, agar mampu menangkap makna dalam Al-Qur’an dan hadis dengan lebih tepat. Ilmu ini bagaikan kunci bagi kami untuk membuka pintu-pintu hikmah dalam literatur Islam.

Kitab ketiga, Safinah al-Najah, adalah bekal kami dalam fikih. Ia mengajarkan hukum-hukum ibadah, mulai dari wudhu hingga shalat, dari zakat hingga haji. Dari kitab ini kami tahu bahwa agama bukan hanya kepercayaan, tapi juga tindakan yang teratur dan terukur dalam hukum.

KH. Hasan Basri bukan hanya seorang pengajar. Beliau adalah samudra hikmah yang tak terduga kedalamannya. Salah satu karomah beliau yang paling membekas adalah ketika beliau terlihat tertidur saat kami membaca, tetapi setiap kesalahan bacaan kami langsung dikoreksi olehnya, tanpa ragu dan tanpa jeda.

Awalnya kami heran, bahkan merasa tak yakin. Tapi setelah berkali-kali mengalami hal serupa, kami tahu bahwa ini bukan sekadar kemampuan biasa. Beliau tetap mendengar dan memahami tiap lafal yang kami ucapkan, meski mata beliau seolah terpejam dalam keheningan malam.

Di saat lain, beliau kerap menyampaikan nasihat dengan bahasa yang sederhana namun menggugah jiwa. Beliau tidak hanya mengajarkan ilmu, tapi juga adab. Dalam diamnya, ada pendidikan. Dalam lirih ucapannya, ada ketegasan. Dan dalam kesehariannya, ada keteladanan.

KH. Hasan Basri adalah bagian dari mata rantai keilmuan yang agung. Beliau merupakan suami dari istri pertama Rd. Cucu Maryam binti Mama Kiyai Azhuri, yang merupakan putri dari Mama Kiyai Shoheh Bunikasih.

Dari pernikahan ini, beliau dikaruniai sembilan orang anak yang menjadi penerus nilai-nilai luhur sang ayah. Anak pertama bernama H. Dadang Hasbi, disusul oleh Eeh, lalu Yeyep Hasan Saepulloh, Aah Syamsiah, Ibad Badriah, Yiyi Abdul Muhyi, Dadah Hasanudin, Iah Basoriah, dan si bungsu Dodih Abdul Qodir Zaelani.

Setiap malam selepas Maghrib, langkah kami menuju pesantren menjadi perjalanan spiritual. Tak pernah kami merasa lelah. Bahkan, meski hujan turun atau dingin menggigit, semangat mengaji di hadapan beliau tak pernah luntur.

Tiga tahun adalah waktu yang panjang, tapi terasa singkat ketika diisi dengan ilmu. Kami bukan hanya belajar membaca kitab, tapi juga membaca kehidupan. Dari KH. Hasan Basri, kami tahu bahwa ilmu bukan hanya tentang teks, tapi juga konteks dan laku hidup.

Ketika aku mengenang masa-masa itu, aku menyadari bahwa kami telah beruntung belajar langsung dari seorang ulama yang bersahaja. Tak banyak bicara, tapi penuh makna. Tak mencari pujian, tapi tulus memberi.

Kini, ketika kami harus melangkah ke dunia yang lebih luas, warisan ilmu itu tetap menyala dalam dada. Setiap bab yang dulu kami pelajari, kini menjadi cahaya dalam mengambil keputusan hidup.

Semangat mengaji tiga kitab itu tidak pernah padam. Di tengah gemuruh zaman digital, suara pelan beliau masih terngiang dalam batin kami. Seakan berkata, “Teruskan jalan ini. Ilmu yang bermanfaat akan menuntunmu pada keselamatan dunia dan akhirat.”

Kyai Tiga Kitab bukan hanya kisah kami berempat, tapi juga kisah tentang bagaimana ilmu diwariskan dengan kesungguhan, keikhlasan, dan keberkahan. Sebuah warisan yang tak tergantikan oleh apa pun di dunia. (bersambung)

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Entertainment

Oleh: Abdullah Putra Gemilang Wakil Ketua Pondok Pesantren…