Oleh: Gunawan Trihantoro
Sekretaris Kreator Era AI Jawa Tengah dan Ketua Satupena Kabupaten Blora
Pagi itu, matahari baru saja mengintip dari balik pepohonan ketika saya melangkah ke kawasan Car Free Day (CFD) di pusat Kabupaten Blora. Udara segar dan suasana yang riuh penuh semangat menyambut langkah kaki para pengunjung. Namun, satu pemandangan membuat saya tertegun lebih lama, yakni sekumpulan anak-anak duduk bersila, tenggelam dalam dunia cerita yang tersaji dalam lembaran buku.
Mereka tidak sedang bermain gawai atau sibuk dengan permainan daring, melainkan larut dalam aktivitas membaca buku-buku anak yang digelar oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (DPK) Kabupaten Blora. Stand yang sederhana namun penuh warna itu menjadi magnet kuat bagi anak-anak dan orang tua yang hadir.
Inilah wajah baru dari gerakan literasi di Blora. Melalui inovasi yang dikembangkan oleh Kepala DPK, Mohamad Toha Mustofa, literasi tidak lagi dibatasi oleh ruang kelas atau dinding perpustakaan. Buku-buku kini hadir di tengah masyarakat, menjumpai pembaca di jalanan, di ruang publik yang semarak, seperti dalam momen CFD yang rutin digelar setiap pekan.
DPK Blora dengan tekun memanfaatkan momentum CFD sebagai media transformasi budaya baca. Di saat banyak orang lebih memilih berolahraga atau sekadar berswafoto, stand literasi justru menjadi tempat bertumbuhnya kecintaan terhadap ilmu dan pengetahuan. Buku tidak hanya dipamerkan, tapi juga dibaca, didiskusikan, dan bahkan dibacakan dengan semangat oleh para relawan dan petugas.
Yang paling menyentuh adalah antusiasme anak-anak sekolah dasar yang berbondong-bondong mendekat, memegang buku, lalu tenggelam dalam kisah-kisah yang mereka pilih sendiri. Dari cerita rakyat, fabel, hingga ensiklopedia anak, semuanya menjadi pintu masuk bagi rasa ingin tahu yang tidak terbendung. Seorang bocah bahkan terlihat mencatat sesuatu di buku kecilnya, barangkali menyusun daftar bacaan yang ingin ia selesaikan minggu depan.
DPK Blora tak hanya berhenti di situ. Inovasi juga tampak dari keberadaan pojok baca ramah anak, meja datar yang penuh dengan buku pilihan, hingga permainan edukatif berbasis literasi. Semua dirancang untuk membangun kebiasaan membaca sebagai aktivitas yang menyenangkan, bukan sebagai kewajiban semata.
Kepala DPK, Mohamad Toha Mustofa, dalam berbagai kesempatan menekankan pentingnya membawa literasi lebih dekat dengan masyarakat. Ia menyadari bahwa membangun budaya baca tidak bisa hanya mengandalkan perpustakaan yang menunggu dikunjungi. Justru perpustakaanlah yang harus keluar, menjemput pembacanya di ruang-ruang publik.
Langkah ini menjadi bukti bahwa literasi bukan hanya tentang kemampuan membaca dan menulis, melainkan tentang upaya menyemai kesadaran dan cinta terhadap ilmu. Buku menjadi medium untuk membuka cakrawala, dan CFD menjadi panggung bagi misi besar ini. Tidak mengherankan bila banyak orang tua mengapresiasi inisiatif DPK Blora, karena kegiatan ini menyatukan antara hiburan dan pembelajaran dalam satu ruang yang bersahabat.
Melihat anak-anak membaca di tengah keramaian jalanan, di bawah sinar matahari pagi, mengingatkan saya bahwa harapan itu nyata. Di tengah arus digitalisasi yang kadang melenakan, masih ada upaya-upaya konkret yang menyalakan lentera literasi. DPK Blora telah menunjukkan bahwa dengan semangat dan kreativitas, perubahan bisa dimulai dari tempat yang sederhana.
Setiap akhir pekan, stand literasi DPK menjadi semacam oasis di tengah hiruk pikuk CFD. Di sana, bukan hanya anak-anak yang mendapat manfaat, tetapi juga remaja, orang tua, bahkan lansia yang sesekali berhenti dan membuka satu dua halaman buku. Semua larut dalam pengalaman yang jarang ditemui di hari-hari biasa.
Gerakan literasi di Blora ini patut menjadi inspirasi bagi daerah lain. Car Free Day tidak hanya menjadi ruang untuk aktivitas jasmani, tetapi juga rohani dan intelektual. Saat jalanan disterilkan dari kendaraan, DPK mengisi ruang itu dengan ilmu dan inspirasi. Ini adalah bentuk nyata dari keberpihakan pemerintah daerah terhadap pendidikan dan pembangunan sumber daya manusia.
Sebagai masyarakat, kita tentu memiliki peran untuk mendukung inisiatif ini. Membacakan buku untuk anak-anak, menyumbangkan buku bacaan, atau sekadar mendampingi mereka saat membaca di lokasi CFD adalah langkah kecil yang bisa melahirkan dampak besar. Literasi adalah tanggung jawab bersama, dan jalanan Blora telah menjadi saksi awal dari gerakan ini.
Jika gerakan ini terus dijaga dan dikembangkan, bukan tidak mungkin Blora akan tumbuh menjadi salah satu kota literasi yang menginspirasi. Dengan semangat yang menular dari anak-anak pembaca itu, kita bisa percaya bahwa masa depan literasi bangsa ini sedang dibangun dari lapak-lapak buku di jalanan, dari tangan-tangan kecil yang tak henti membalik halaman. (*)