Oleh: Ihda ‘Abda Ahmad, Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Salatiga
Pernahkah Anda merasa lebih mudah untuk menunjukkan identitas Anda di media sosial daripada di dunia nyata? Atau sebaliknya, Anda merasa seperti Anda berperan sebagai orang yang tidak benar-benar Anda? Media sosial telah mengubah perspektif kita tentang orang lain dan diri kita sendiri, bahkan mungkin lebih besar dari yang kita pikirkan.
Sekarang ini, identitas kita bukan hanya tentang nama, pekerjaan, atau tempat tinggal kita. Kita dapat memilih siapa kita di dunia maya. Kita menciptakan “versi terbaik” dari diri kita untuk dipertontonkan melalui foto, status, atau video. Namun, siapa yang sebenarnya kita tunjukkan? Apakah itu diri kita yang sebenarnya atau hanya bayangan?
Media sosial adalah panggung besar di mana setiap pengguna berperan sebagai aktor. Di luar layar, ada proses seleksi yang ketat: memilih foto dengan sudut yang paling menarik, membuat caption yang paling menarik, atau bahkan menghapus komentar yang tidak diinginkan. Ini semua dilakukan untuk memastikan bahwa ada likes, komentar, atau pengikut. Namun, apakah kita benar-benar menikmati kebahagiaan, atau malah semakin lelah mencari pengakuan?
Sebaliknya, cara kita berkomunikasi juga diubah oleh media sosial. Di dunia nyata, video pendek, emoji, dan pesan instan berfungsi sebagai pengganti percakapan panjang. Sangat cepat, tetapi kadang-kadang terlihat lemah. Pernahkah Anda merasa bahwa kesalahpahaman lebih sering terjadi saat berbicara melalui chat daripada saat berbicara langsung?
Ini disebabkan oleh fakta bahwa konteks dan perasaan sulit diterjemahkan dalam teks. Namun, ada manfaatnya. Sosial media memberi kita kemampuan untuk terhubung dengan siapa saja kapan saja. Platform ini menunjukkan kapasitasnya sebagai alat perubahan yang kuat, dari kampanye internasional hingga gerakan solidaritas lokal. Kita melihat orang bergandengan tangan tanpa berbicara satu sama lain.
Sayangnya, ada aspek yang tidak dapat diabaikan. Diukur dengan jumlah pengikut atau komentar, relasi sosial sering menjadi transaksional. Sekarang hubungan statistik, tidak lagi penuh makna. Fenomena ini dapat menyebabkan kesepian yang ironis di dunia maya.
Bagaimana kita harus bertindak? Kesadaran adalah kuncinya. Media sosial bukan identitas kita; gunakan mereka untuk meningkatkan pengalaman, bukan untuk menggantikan kehidupan nyata. Jadilah asli, bukan ideal.
Singkatnya, dunia maya bukan hanya menawarkan banyak peluang, tetapi juga menawarkan banyak bahaya. Pilih dengan cermat bagaimana Anda ingin tampil, berinteraksi, dan menjalin hubungan di sana. Pada akhirnya, media sosial akan berharga sebanyak yang kita gunakannya.