Menyelami Pesan Buya Syafii Maarif (3)
Oleh Gunawan Trihantoro
(Sekretaris Kreator Era AI Jawa Tengah)
Dalam menghadapi tantangan zaman yang terus berubah, Buya Syafii Maarif menekankan pentingnya meningkatkan kearifan lokal dan kearifan nasional. Kedua aspek ini, baginya, bukan sekadar warisan budaya, melainkan fondasi utama dalam membangun masa depan bangsa yang inklusif dan bermartabat.
Kearifan lokal mengandung nilai-nilai yang lahir dari pengalaman panjang masyarakat dalam berinteraksi dengan alam, budaya, dan sesama manusia. Di tengah arus globalisasi yang deras, kearifan ini menjadi jangkar identitas, menjaga bangsa dari kehilangan jati diri.
Namun Buya Syafii juga menyadarkan kita bahwa kearifan lokal saja tidak cukup. Ia harus berjalan seiring dengan kearifan nasional, yaitu kesadaran untuk menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan kelompok atau daerah. Tanpa semangat nasionalisme yang sehat, kearifan lokal bisa berubah menjadi fanatisme sempit.
Prinsip “semua pihak harus saling menerima” yang diusung Buya Syafii membuka ruang dialog yang adil dan setara. Menerima bukan berarti menyerah, melainkan memahami bahwa perbedaan adalah kekayaan yang harus dirawat bersama, bukan ancaman yang harus dilawan.
Dalam banyak kasus, ketegangan sosial bermula dari kegagalan untuk menerima perbedaan. Entah karena perbedaan budaya, keyakinan, atau kepentingan politik, bangsa ini kerap terjebak dalam sikap curiga yang merusak rasa saling percaya.
Buya Syafii mengajarkan bahwa membangun bangsa berarti membangun kepercayaan. Tanpa saling menerima, tidak mungkin tercipta suasana yang kondusif untuk gotong royong, yang sesungguhnya adalah roh dari kebangsaan kita sejak awal kemerdekaan.
Penting untuk dipahami bahwa kearifan lokal yang dikembangkan bukan hanya budaya seremonial, melainkan nilai-nilai hidup seperti toleransi, musyawarah, gotong royong, dan kejujuran. Nilai-nilai ini menjadi modal sosial yang berharga untuk mengatasi berbagai krisis.
Sementara itu, kearifan nasional perlu terus dirawat melalui pendidikan, media massa, dan kebijakan publik yang adil. Rasa kebangsaan yang tumbuh dari keadilan sosial akan memperkuat solidaritas antarwarga negara di tengah keberagaman.
Buya Syafii mengingatkan kita untuk tidak terjebak dalam polarisasi antara pusat dan daerah. Keduanya harus dipahami sebagai bagian yang saling menguatkan, bukan saling mencurigai atau berkompetisi secara destruktif.
Dalam praktiknya, meningkatkan kearifan lokal dan nasional berarti memperbanyak ruang-ruang perjumpaan. Festival budaya, dialog lintas agama, kerja sama ekonomi antarwilayah, semua itu adalah cara konkret mempererat simpul-simpul persaudaraan kebangsaan.
Semua pihak harus menanggalkan ego sektoral dan berani membuka diri. Saling menerima bukanlah proses instan, melainkan sebuah perjalanan panjang yang penuh kesabaran, pengertian, dan sikap rendah hati untuk belajar dari satu sama lain.
Kearifan lokal dan nasional seharusnya tidak dipertentangkan. Keduanya adalah kekuatan ganda yang, bila diolah dengan baik, akan melahirkan bangsa yang kuat menghadapi tekanan global dan dinamis dalam merespons perubahan zaman.
Buya Syafii memberi teladan bagaimana menghargai kearifan lokal tanpa kehilangan visi kebangsaan. Ia tidak hanya mengagumi keragaman budaya, tapi juga memperjuangkan nilai-nilai keadilan dan persatuan dalam setiap kesempatan.
Melalui pemikiran Buya, kita diajak untuk membangun bangsa ini bukan dengan saling menyingkirkan, tetapi dengan saling menerima dan menguatkan. Sebab bangsa besar adalah bangsa yang mampu mengelola perbedaan menjadi kekuatan, bukan sumber permusuhan.
Kini, tugas kita adalah mewujudkan cita-cita itu. Meningkatkan kearifan lokal dan nasional bukan pilihan, melainkan keniscayaan. Tanpa itu, kita hanya akan menjadi bangsa yang rapuh, mudah tercerai berai saat diterpa ujian zaman.
Semangat saling menerima, sebagaimana digariskan Buya Syafii, harus kita tanamkan mulai dari keluarga, sekolah, tempat ibadah, hingga ke panggung politik. Inilah jalan panjang menuju Indonesia yang lebih dewasa, beradab, dan bermartabat.
Rumah Kayu Cepu, 26 April 2025